Prolog
"Dasar l***e! Sana cari mangsa lain, jangan laki gue!" bentak Bu Marta, warga komplek depan perkampungan kumuh tempat tinggalku. Aku dan Mama biasa melewati komplek itu jika berjalan menuju sekolahku.
Malam ini entah kenapa Bu Marta datang ke warung Mama dan menarik lengan suaminya yang sedang duduk di samping Mama sambil meminum minuman berbusanya. Aku hanya bisa diam dalam tangis melihat pemandangan itu.
"Eh, Bu! Saya enggak pernah ya godain laki situ! Laki situ aja yang dateng ke sini minta dilayani, situ udah enggak bisa ngelayanin kali!" jawab Mama tidak kalah kerasnya. Bu Marta terlihat semakin kalap dan berusaha menampar Mama tapi berhasil dicekal suaminya.
"Ayo, Mah. Kita pulang. Malu diliatin orang," ajak lelaki tua itu pada istrinya.
Bu Marta menurut meski masih mengumpat sepanjang jalan
"Dasar pel.acur murahan!" Perkataan Bu Marta yang masih terngiang di telingaku.
Rasanya masih takut, tapi rasa penasaran pun sama besarnya di benakku, aku mengelap meja bekas minuman yang tertumpah saat Bu Marta menarik suaminya tadi. Mama masih duduk di kursi memijit keningnya, mungkin pusing karena ulah Bu Marta.
"Mah?" panggilku ragu.
"Hem ...." Mama hanya berdeham menjawab panggilanku.
"Mah, biasanya kalo orang jualan makanan 'kan dipanggilnya Mbak, atau Yayuk ... Tapi kenapa Mama jualan minuman dipanggilnya pela.cur? Emang pela.cur itu apa, sih?" rasa penasaran membuat pertanyaan ini lolos begitu saja dari mulutku.
Seketika mata Mama membola, terasa ada amarah di sana.
"Denger ya, Dina! Kamu masih kecil, enggak usah tanya-tanya begitu! Entar kalo udah gede juga tau sendiri! Sekarang pulang sana udah malem!" bentak Mama padaku. Aku hanya diam tapi semua ini terekam jelas di ingatan.
Aku berjalan memutari meja besar di mana dagangan Mama tertata, mencari-cari keberadaan wanita muda anak kandung Mama juga, mataku berbinar melihatnya sedang berbincang dengan seorang pria muda di kursi depan. Mereka duduk tak berjarak, aku bisa melihat tangan pria itu bergerak maju mundur membelai pa.ha kakakku yang memakai rok pendek.
"Mbak, anterin aku pulang, yuk!" seruku membuat pria itu berdecak kesal.
"Bentar, ya, Mas. Aku anterin dia pulang dulu, biar enggak ganggu," kata Mbak Wida berpamitan pada pria itu.
***
Mbak Wida meninggalkanku di rumah kontrakan sendiri, memintaku untuk segera tidur sementara ia kembali lagi ke warung Mama.
Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan demi bayangan tentang semua yang kulihat kembali berputar di otakku.
Namaku Andina Amilli usiaku sekarang sembilan tahun. aku anak kedua Mama. kakakku perempuan bernama Wida Dahlia. aku bersekolah di sekolah dasar kelas tiga, kalau kakakku sudah bekerja bersama Mama. Aku tidak tau apa pekerjaan mereka. kalau aku tanya mereka menjawab menemani teman mereka mengobrol.
Oh iya, aku tidak punya Papa. Mama bilang Papaku sudah lama meninggal, sejak aku masih bayi. aku tinggal di sebuah rumah kontrakan, terbuat dari bilik triplek hanya dua buah ruangan untuk tidur dan memasak. sedangkan kamar mandi ada di luar digunakan bersama dengan tetangga kontrakan lainnya.
Mamaku memiliki sebuah warung tidak jauh dari kontrakan kami, satu warung kecil menggunakan tenda sebagai atapnya di sana terdapat banyak banyak sekali warung seperti punya Mama tapi semua warung itu akan tutup kalau siang hari.
Kalau malam warung Mama ramai oleh Mbak-Mbak cantik, semuanya aku kenal karena kalau sore hari aku akan ke sana untuk bermain, tapi kalau sudah mulai malam Mama memintaku pulang bersama kakakku, aku tidak tahu alasannya padahal semakin malam warung Mama akan semakin ramai, akan banyak orang datang dan musik mulai dimainkan dengan speker-speker besar.
Mama bilang aku tidak boleh tidur terlalu malam karena esok pagi aku harus sekolah, padahal aku tidak suka sekolah. Karena di sekolah aku suka diejek teman-teman dan orang tua teman-temanku dengan kata-kata yang belum bisa aku pahami.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka katakan, tapi aku merasa tidak nyaman dengan tatapan dan senyuman sinis orang-orang padaku.
Apa sebenarnya salahku, padahal aku merasa tidak pernah berbuat salah.