Wida anak sulungku tumbuh menjadi gadis yang cantik, banyak yang meliriknya saat membantuku di warung.
Ada yang memberi tawaran mahal untuk kesuciannya tapi dia menolak malah lebih memilih berpacaran dengan Rian yang jelas-jelas berkantong kempet, alasannya cinta. Padahal dia sama sekali tidak tahu apa itu cinta, cinta tidak akan bisa membuatnya bertahan hidup di dunia yang kejam ini.
Ada yang bilang kejamnya dunia tidak lebih kejam dari diriku yang tega menjual kehormatan anak kandungnya sendiri, tapi aku ataupun anak-anakku tidak punya pilihan. Kami sama-sama tidak berpendidikan, pekerjaan apa yang bisa didapat?
Kami hanya punya satu modal, yaitu kecantikan yang bisa membuat lelaki beruang menghamburkan hartanya untuk kami.
Apa kabar dengan kehormatan? Apa gunanya kehormatan kalau perut lapar?
Akhirnya Wida mengikuti jejakku, mungkin karena dia mulai sadar kebutuhan hidup tidak bisa dibeli dengan cinta.
Sampai ada dewi fortuna yang membawa seorang pengusaha kaya mampir ke warungku dan tergila-gila pada Wida. Keberuntungan sepertinya sedang betah berada di hidup kami Om Alex meminta Wida menjadi istri simpanannya.
Semuanya berjalan mulus, hidup kami bagai di istana dengan kemewahan dalam genggaman, sampai kejadian itu terjadi.
Entah darimana istri si Alex itu tau tentang kami, dia mengambil semua yang telah kami miliki.
Bagai terjatuh dari awang-awang, hidup kami kini berantakan, kembali hidup miskin. Apalagi sekarang aku sudah semakin tua kondisiku sudah berbeda dari beberapa tahun yang lalu, banyak pelanggan mulai meninggalkanku mencari kupu-kupu baru yang lebih muda dan cantik dariku.
Aku hanya menyandarkan hidup kami pada hasil berdagang warung, yang kadang ramai kadang sepi berbeda dengan hasil menjajakan diri.
Terlebih lagi karena si Wida pergi banyak pelanggan warungku yang berpindah tempat karena sudah tidak ada primadona lagi di warungku.
Sebenarnya aku sangat marah, ditinggal suaminya yang sudah tua bangka bukan mencari lelaki yang lebih kaya malah kabur dengan pacarnya yang miskin itu.
Tapi mau bagaimana lagi, toh dia juga sudah pergi tidak ada seorangpun yang tahu di mana mereka sekarang. Sekarang harapanku satu-satunya adalah Dina. Dia lebih cantik dari Wida pasti akan jadi primadona juga, tapi sekarang dia masih terlalu kecil.
Kelakuannya juga berbeda dengan Wida, Dina anak yang keras kepala selalu membantah omonganku. Terakhir dia malah minta sekolah, tapi buat apa sekolah dengan biaya mahal kalau akhirnya kembali lembah hitamlah yang menjadi jalan hidupnya.
Dina selalu membuatku pusing dengan ocehannya yang selalu sok pintar hasil didikan gurunya di sekolah, padahal di sekolah hanya diajarkan jadi orang pintar bukan orang kaya, banyak kok orang pintar yang jadi pengangguran.
.
Ini sudah siang, tapi merayu Mama untuk mendaftarkanku sekolah menengah pertama bukanlah hal mudah.
"Mah, ayo dong ... ini hari terakhir pendaftaran Mah."
Rengekku pada Mama yang masih enggan bangun dari tidurnya.
"Dina! 'kan Mama udah bilang nggak usah sekolah."
Seru Mama. aku kembali menangis.
"Malah nangis! oke, Mama daftarin kamu sekolah tapi buat ongkos sama jajan kamu Mama nggak mau ngasih ya!"
Tegas Mama setelah bangkit dari tempatnya berbaring.
Mataku kian berbinar mendengar perkataan Mama, lama menunggu Mama selesai mandi dan bersiap-siap akhirnya kami menuju sebuah SMPN terdekat tapi tetap saja harus ditempuh dengan menaiki sebuah angkutan umum.
Sampai saatnya Mama harus mengisi formulir pendaftaran Mama harus mengisi biodata Ayahku, kolom jawaban
itu bisa Mama isi dengan mudah karena secara administrasi aku terdaftar sebagai anak dari Bapak Subroto, padahal aku sama sekali tidak mengenalnya Mbak Wida bilang Bapak sudah menikah lagi dan pergi entah kemana.
Hingga biodata Mama, saat harus mengisi kolom tentang pekerjaannya Mama berhenti dan melihat kearahku ada kilat kekesalan di sana.
Berdagang.
Itulah yang Mama tulis, karena memang benar Mama memiliki warung yang menjual berbagai macam minuman, minuman yang belum pernah aku tahu bagaimana rasanya.
.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan bahkan tahun telah berganti dengan seragam biru putih selalu membalut tubuhku.
Aku merasa sangat bahagia di sekolah, merasa memiliki kehidupan yang normal seperti teman-temanku yang lain.
Tidak ada yang tahu kalau aku berasal dari komplek esek-esek kalau ada yang tanya di mana rumahku maka aku akan menyebutkan nama komplek perumahan yang lain, begitupun jika jadwal belajar kelompok maka otakku langsung berputar mencari alasan agar tidak bertempat di rumahku.
Meskipun lelah menyebunyikan identitas tapi aku bahagia karena keinginanku menuntut ilmu bisa terlaksana.
Dan ... aku sadar sedari dulu aku memang berbeda dengan anak lainnya jika mereka hanya menggunakan waktunya untuk bersekolah tidak sama hal nya denganku, perkataan Mama dulu tidak akan memberiku ongkos dan yang jajan kalau aku bersekolah. Dan perkataan Mama bukan isapan jempol belaka.
Mama sama sekali tidak mau mengeluarkan uang untuk apapun itu yang berhubungan dengan sekolahku, alhasil aku harus bekerja.
Ya, aku bekerja untuk mengumpulkan uang jajan, ongkos naik angkot dan keperluan sekolah lainnya.
Pukul satu siang aku biasanya aku sudah pulang sekolah, selasai berganti pakaian, makan dan memcuci piring yang menjadi tugas harianku di rumah. aku langsung berangkat ke komplek warung esek-esek membantu siapapun yang membutuhkan tenagaku untuk menyapu, mencuci gelas, atau berbelanja kepasar dari hasil jual tenaga itulah aku bisa mendapatkan rupiah walaupun tidak banyak tapi lumayan bisa menutupi kebutuhan sekolahku.
Biasanya tugasku baru selesai saat siang hampir berganti malam karena memang bukan hanya satu warung yang mempekerjakanku.
Jika tugasku di warung orang lain sudah selesai maka aku akan membantu di warung Mama lalu pulang untuk makan malam, belajar lalu tidur begitulah keseharianku.
.