Akhir-akhir ini Mama sering terlihat tidak enak badan, Mama sering batuk dan demam. Namun Mama selalu menolak jika kuajak kepuskesmas ataupun ke klinik untuk berobat.
Seperti pagi ini, sebelum berangkat sekolah aku biasa membeli dua bungkus nasi uduk untuk sarapan kami.
Sepulang membeli nasi aku melihat Mama muntah-muntah di kamar mandi, badannya juga mengigil. Lemas dan pusing yang ia keluhkan.
"Mah, Dina anterin ke puskesmas ya?" tawarku dengan perasaan cemas menyelimuti hati.
"Mama nggak apa-apa ntar minum obat warung juga sembuh!"
Selalu jawaban seperti itu yang Mama berikan, walaupun sedang sakit Mama tetap ketus padaku. Namun, aku sudah terbiasa, karena seperti itulah Mama tidak bisa menjadi orang yang lembut. Kecuali pada para tamunya di warung.
***
"Dina! kalau kamu mau melamun sebaiknya keluar dari kelas saya!"
Lantang suara Pak Vino guru matematika yang berdiri di depan papan tulis, matanya tajam mengarah padaku yang sedang memikirkan keadaan Mama.
"Maaf, Pak."
Ucapku lirih.
Mama adalah satu-satunya yang kumiliki saat ini, aku sangat takut jika sedikit saja hal buruk terjadi padanya. Apalagi sekarang, ia sering sakit, tubuhnya terlihat semakin kurus.
.
"Mah, Dina mau bersih-bersih di warung Mang Ikin dulu ya. kalau Mama masih sakit, nggak usah jualan dulu Dina masih ada tabungan kok buat makan."
Pamitku pada Mama yang masih meringkuk di atas kasur tipis tanpa ranjang.
"Kamu ngelarang Mama dagang, emang punya tabungan berapa? paling buat makan sehari aja abis. terus buat bayar kontrakan rumah, kontrakan warung ama makan tiap hari pake apa?" Jawab Mama tanpa melihat kearahku sedikitpun, ia memegangi kepalanya yang mungkin masih terasa pusing.
Aku tidak bisa menjawab karena yang Mama bilang memang benar.
"Tapi, Mah ...." Lemah aku berusaha menyela, tujuanku hanya meminta Mama beristirahat.
"Udah sana berangkat. Uhuk ... uhuk ...."
Mama terbatuk-batuk lagi sambil memegangi dadanya, sedih sekali aku melihatnya.
.
Aku telah selesai membersihkan dua warung, kini tinggal warung ketiga, warung Mang Ikin. Sengaja aku bersihkan belakangan karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari warung Mama hingga setelah selesai dari warung Mang Ikin aku bisa langsung ke warung Mama.
Sudah pukul empat sore, saat aku melirik jam yang melekat di dinding triplek itu.
Mang Ikin sedang berbaring telentang di kursi panjang dalam warungnya dengan lengan kanan menutupi wajahnya yang mulai keriput, Mang Ikin lelaki paruh baya, mungkin seusia dengan Om Alex hanya saja tubuhnya kurus memang menghabiskan sepanjang harinya di warung tidak seperti kebanyakan orang yang menyewa rumah petak untuk tidur di siang hari.
Yu Roh, istrinya. Biasanya kalau sore begini baru berangkat kepasar.
"Eh, Neng Dina."
Mang Ikin terbangun mendengar suara sapu lidi yang mulai kugesekkan dengan tanah.
"Iya, maaf ya, Mang."
Jawabku. Merasa tidak enak karena telah mengganggu tidurnya.
"Mamang denger si Suli lagi sakit ya?
Mang Ikin menanyakan keadaan Mama.
"Iya, Mang."
Jawabku tanpa menghentikan kegiatan menyapu dengan membelakanginya.
"Kalo nggak dagang, nggak dapet duit dong."
Tanyanya lagi.
"Iya tapi walaupun dikit Dina 'kan nyapu juga dapet duit, Mang."
"Kalau gitu, Dina kerja sama Mamang aja. ntar Mamang kasih duit banyak."
Aku berhenti menyapu, tahu pekerjaan apa yang Mang Ikin maksudkan. Aku terkejut saat membalikkan badan dan mendapati Mang Ikin sudah berdiri tepat di belakangku.
"Nggak, Dina nggak mau!"
Tegasku. berusaha menghalau tangannya yang berusaha membelai wajahku.
"Udahlah Dina, nurut aja sama Mamang. ntar kamu juga seneng."
Kini Mang Ikin mencekal lenganku. Dengan sekuat tenang aku memukulkan gagang sapu yang kupegang ke badan kurusnya, bertubi-tubi hingga Mang Ikin kewalahan dan menghentikan aksinya berganti mulutnya yang memaki-maki diriku, aku berlari keluar warungnya menuju rumah.
Di belakang Mang Ikin ternyata mengejarku sambil berteriak-teriak spontan aksinya menjadi tontonan orang yang langsung berkerumun di depan kontrakanku.
Aku memasuki rumah dengan ketakutan lalu mengunci pintu dari dalam, Mama terkejut dengan kedatanganku.
"Kamu kanapa Dina?"
Aku hanya menangis.
"Suli ... Suli! keluar lu. liat nih anak lu mukulin gua."
Teriak Mang Ikin di depan pintu, dasar tidak tahu malu dia yang melakukan kejahatan dia yang marah!
Mama bergegas membuka pintu.
"Apaan sih, Mang?"
Tanya Mama terkejut melihat kerumunan orang yang siap menjadi penonton.
"Liat nih anak lu mukulin gua pake sapu!"
Teriak Mang Ikin menunjukkan memar bekas pukulanku.
"Dina ...."
Panggilan Mama, aku mendekat dengan takut.
"Bener kamu mukul Mang Ikin?"
Tanya Mama tegas, aku hanya mengangguk.
"Kenapa?"
"Tadi, Mang Ikin mau pegang-pegang aku. Mang Ikin mau berbuat kurang ajar sama aku, Mah."
Mendengar penjelasanku, Mang Ikin menciut mungkin malu karena di belakangnya para tetangga malah berbisik-bisik menyalahkan dirinya.
"Heh lu denger ya Ikin. harusnya gue yang marah ama elu! harusnya gue nyuruh nih orang-orang ngeroyok elu karena udah berbuat jahat ama anak gue!"
Ucap Mama membelaku.
"Lagian kalo gue mau ngelepasin anak gue bukan ama orang tua bangka kayak elu. tapi gue cari orang kaya yang mau bayar mahal! awas aja ya kalo elu berani ganggu dia lagi."
Ujar Mama penuh penekanan pada Mang Ikin yang lalu pergi nyelengos begitu aja.
Aku bersandar di balik dinding triplek yang sudah mulai mengelupas, tiba-tiba hatiku hancur.
Ternyata Mama membelaku bukan untuk menjagaku tapi untuk dijual pada orang yang mau membayar mahal.