Suli sakit?

1342 Words
Sejak kejadian di warung Mang Ikin sore itu, aku tidak lagi membantu di warungnya alhasil penghasilanku berkurang karena hanya dua warung saja yang masih menggunakan jasa bersih-bersihku. Keadaan Mama juga semakin membuatku bingung kadang terlihat sehat tapi kadang tiba-tiba sakit lama sampai tidak bisa berjualan, karena itu kehidupan kami jadi semakin susah apalagi sekarang aku sudah kelas tiga SMP, kebutuhan biaya sekolahku juga semakin meningkat. Tapi aku tidak mau kalau harus putus sekolah. Aku bingung apa yang harus aku lakukan, tidak ada siapapun yang bisa mengerti aku. Aku merasa benar-benar sendiri, tidak ada tempat bersandar bagi diriku yang sebenarnya tidak terlalu kuat. Kadang aku merasa sangat lemah, ingin rasanya menangis agar beban ini terasa lebih ringan tapi menangis pun percuma hanya akan dimarahi Mama. Bukannya aku tidak punya sahabat, ada seorang teman yang begitu baik dia selalu sekelas denganku sejak kelas satu. Namanya Amira, dia berasal dari keluarga baik-baik itulah yang membuatku tidak pernah menceritakan padanya siapa aku sebenarnya, aku terlalu takut kehilangan sahabatku satu-satunya. Bukan tidak mungkin orang tuanya akan melarang kami berteman seperti saat aku masih sekolah dasar dulu, atau mungkin dia sendiri yang akan menjauhiku. Selama ini dia hanya tau Mamaku berdagang makanan ringan di dekat rumah. Aku baru pulang sekolah kala itu, menyusuri gang kecil yang hanya bisa dilintasi pejalan kaki saja saat seorang tetanggaku berseru. "Dina Mama lu pingsan, noh mau dibawa kerumah sakit!" Bagai ada yang melolosi tulang-tulangku satu persatu, tubuhku terasa lemas saat melihat tubuh kurus Mama dibopong seorang tetangga. "Ayo cepet ikut!" Seru tetangga yang lainnya melihatku hanya mematung melihat mereka berlari kecil menuju mobil kijang tua di ujung gang. Setelah beberapa lama perjalanan yang aku lewati penuh ketakutan, aku takut Mama tidak tertolong, aku takut hidup sendirian di dunia ini. Akhirnya rumah sakit yang kami tuju terlihat, mobil terparkir di tempat khusus pembawa pasien unit gawat darurat. Dengan sigap para perawat memindahkan tubuh Mama dari dalam mobil ke atas sebuah tempat tidur khusus yang memiliki roda di bawah lalu mendorongnya ke sebuah ruangan yang tertutup pintu kaca, aku tidak diperbolehkan masuk malah diminta kebagian pendaftaran pasien. Aku tidak mengerti, maka Pak Midi selaku ketua RT yang melakukannya, yang aku bisa hanya menangis dan berdoa semoga Mama akan baik-baik saja walaupun aku tidak tahu apakah doa untuk Mama akan diterima. Tidak lama kemudian Pak Midi mendekatiku. "Dina, agar Mama kamu bisa dirawat di sini kamu harus bayar biaya pendaftaran dan deposit dulu. Apa kamu atau Mama punya tabungan?" Tanya Pak Midi pelan-pelan. Aku hanya menggeleng pelan, belakangan ini Mama memang jarang berjualan hingga uang tabungan kami habis untuk bayar sewa rumah dan makan sedangkan uang yang kudapat dari hasil bersih-bersih hanya cukup untuk ongkos ke sekolah bahkan di sekolah pun aku jarang jajan. "Ya udah, nggak apa-apa. Pake uang Bapak dulu ntar kalau Mama udah sehat bisa jualan lagi baru diganti ya." Aku sangat lega mendengar pernyataan Pak Midi, aku langsung meraih dan mencium punggung tangannya. "Terima kasih ya, Pak." "Iya, Bapak ke tempat pendaftaran dulu." Jawabnya. Aku di temani beberapa tetanggaku setia menunggu di depan UGD, kenapa lama sekali belum ada perawat atau dokter yang keluar. Mungkin satu jam waktu yang sudah terlewat, beberapa tetanggaku juga sudah ada yang pamit pulang saat ada seorang perawat menemui kami. "Suster, bagaimana Mama saya?" Aku langsung menghampiri dan bertanya sambil menggoyang-goyangkan lengannya. "Ibu Sulinah sudah sadar, sebentar lagi akan dipindahkan keruangan rawat inap." Perawat itu menjawab dengan ramah. "Sebenarnya dia sakit apa sus?" Tanya Pak Midi mewakili rasa ingin tahu kami semua. "Untuk mengetahui penyakitnya kita harus menunggu hasil uji laboratorium, Pak. Mungkin bisa sampai tiga hari lagi." Kami hanya manggut-manggut mendengar penjelasan perawat itu. "Kamu anak Ibu Sulinah?" tanyanya padaku, aku hanya mengangguk, "Mari, temani Ibu kamu ke ruang perawatan." Ajak perawat itu, aku menurut mengekori langkahnya meninggalkan Pak Midi dan yang lainnya yang sudah berencana pulang. Aku mengikuti langkah para perawat yang mendorong tempat tidur Mama, tidak tega melihat Mamaku terlihat begitu lemah dengan selang infus di yangan dan selang oksigen terpasang di hidungnya, pandangan matanya terasa kosong saat melirikku. Sampailah kami pada sebuah ruangan yang lebih besar dengan sekitar 10 ranjang terjajar rapi di sisi kanan dan kiri hanya disekat dengan tirai yang tergantung. Para perawat meninggalkan kami setelah memberikan penjelasan bagaimana memanggil perawat dengan sebuah bel, memberi tahu di mana kamar mandi dan di mana aku bisa membeli makanan atau minuman. • Ini sudah hari ketiga Mama dirawat, aku terpaksa membolos sekolah tanpa pemberitahuan. Setiap hari ada saja para tetangga yang menjenguk, membawakan baju ganti untukku dan Mama juga membawakan aku makanan. Meskipun kami tinggal di tempat yang dianggap kotor oleh khalayak ramai, tapi di dalamnya terdapat solidaritas yang tinggi. Kami semua saudara, saling gotong royong jika sedang dalam kesusahan. Keadaan Mama sudah lebih baik, wajahnya sudah sedikit bercahaya, batuk dan pileknya sudah membaik, persendiannya juga tidak terasa sakit lagi. Aku lega sekali melihatnya itu artinya Mama akan segera diizinkan pulang. Aku baru selesai menyuapinya makan siang saat seorang suster memanggil lalu mengantarku ke ruangan dokter. "Kamu anaknya Ibu Sulinah?" Tanya dokter lelaki itu setelah aku duduk di kursi berhadapan dengannya hanya terpisahkan sebuah meja. "Iya, dok," jawabku. "Kalian punya keluarga lain?" Tanyanya lagi, membuatku bingung kenapa dokter harus bertanya begitu. "Saya punya kakak, dok. Tapi nggak tau sekarang di mana." Terangku, dokter itu menghela nafas seolah ada sesuatu yang berat yang akan dia katakan. "Begini ... Siapa nama kamu?" "Nama saya Dina, dok." "Oke, Dina. Kamu harus kuat, apa yang akan saya sampaikan ini sesuatu yang berat." Jantungku berdebar kencang, terasa ada kabut yang menyelimuti kedua mataku. Firasatku berkata ada hal buruk terjadi pada Mama. "Ada apa dengan Mama saya, dok?" Tanyaku, mendesaknya untuk bercerita. "Dina, dari hasil pemeriksaan. Mama kamu positif terkena HIV AIDS." Bernada datar tapi kata-kata dokter paruh baya itu berhasil membuat dunia ini berguncang tapi hanya aku yang bisa merasakannya. Hiv aids, sebuah penyakit yang tidak bisa disembuhkan menyerang sistem imun tubuh, dan menular melalui hubungan seksual salah satunya itulah yang sedikit aku tahu tentang penyakit itu dari pelajaran di sekolah. "Dina kalau boleh saya tau, apa pekerjaan Mama kamu?" Tanya Pak dokter sedikit ragu. "Mama saya ... PSK, dok." Ia menghela nafas, lalu melanjutkan pertanyaannya. "Sejak kapan?" "Saya nggak tau, dok. Yang saya tau sedari kecil saya sudah di tempat itu." Aku menerangkan di sela-sela isakan. "Ya sudah, biar saya bicara langsung sama Mama kamu, ya." Kata dokter bernama Hardian, yang aku tahu dari tulisan yang menempel pada jas putih yang ia kenakan. "Ayo." ajaknya, lalu aku mengikuti langkahnya menuju temoat di mana Mam terbaring lemah. Sesampainya di ruangan Mama, dokter Hardian dan seorang perawat menutup kelambu hingga kini kami bagai berada di ruangan tertutup. "Ada apa ini, dok?" Tanya Mama bingung, aku menarik kursi dan duduk di sisinya. "Begini, Bu. Ini hasil tes laboratorium Ibu." Dokter Hardian meminta sebuah amplop putih pada perawat yang berdiri mendampinginya lalu memberikannya pada Mama, Mama membukanya sekilas membaca lalu menggeleng tidak mengerti. "Kasih tau saja, dok. Saya sakit apa?" Tanya Mama sambil melihat kearah kami bergantian. "Anda positif HIV AIDS, Bu." Terang dokter Hardian pelan, lalu seketika Mama histeris, menangis meraung-raung. "Nggak ... Nggak mungkin! Dokter pasti salah ...." Mama meracau, aku memeluknya berusaha memberikan kekuatan. Setelah beberapa saat dokter Hardian membiarkan Mama menangis, lalu setelah tenang dokter Hardian kembali bertanya. "Saya sudah tau apa pekerjaan Ibu," Mama menunduk mungkin malu sambil terus terisak, "yang mau saya tanyakan, apakah Ibu menjalani pekerjaan itu sejak sebelum Dina lahir? Jika iya, maka kami juga harus melakukan pemeriksaan terhadap Dina, karena besar kemungkinan Dina juga mengidap penyakit yang sama." Panjang lebar dokter Hardian menjelaskan, Mama memelukku erat kami menangis bersama. "Iya, dok. Sebelum mengandung Dina saya udah kerja begitu." Tersengal, Mama mengatakan itu. "Ya kalau begitu, Dina kamu ikut suster ke laboratorium ya." Mendengar perkataan dokter Hardian aku dan Mama saling berpandangan. "Saya permisi dulu ya, Ibu dan Dina harus sabar, penyakit ini memang tidak bisa disembuhkan, tapi gejalanya bisa di atasi dengan minum obat teratur." Pamit dokter Hardian pada kami. "Ayo Dina, ikut saya." Ajak suster cantik itu, mengantarku ke laboratorium, sample darahku diambil untuk diperiksa. Hatiku sangat berdebar menanti hasilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD