Raka mengangkat begitu saja tubuh lemas Aira. Ia mengumpat keras dalam hati. Istrinya, yah, gadis yang ia nikahi beberapa menit lalu benar-benar ketakutan dengannya. Ia baru menyentuh bahunya. Ia bahkan tidak memiliki niat jelek, tetapi gadis itu justru pingsan.
"Di sini," ujar Yeni membuka pintu kamar Aira.
Raka langsung masuk ke sana. Ia menjangkau minyak kayu putih yang kebetulan ada di atas meja kecil lalu kembali ke ranjang kecil Aira.
"Tolong jangan berkerumun, dia butuh udara," kata Raka pada semua orang yang ikut melihat. "Apa-apaan ini? Ini bukan tontonan!"
Raka membuang napas panjang ketika hampir semua orang meninggalkan kamar Aira. Semua orang, kecuali Miko yang masih memberinya tatapannya tajam.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Miko sengit. Ia membelalak ketika melihat Raka mulai membuka kebaya ketat Aira. "Kamu seenaknya pegang tubuh Ai!"
"Aku cuma longgarin baju Aira. Dia nggak bisa napas," jawab Raka tanpa mengindahkan pertanyaan Miko yang tak masuk akal. Miko mengira ia adalah pelaku pelecehan terhadap adiknya dan Miko membencinya. Sial! Raka benar-benar merasa sial.
"Aku tahu kamu udah jadi suami Ai, tapi ... aku peringatkan kamu supaya kamu nggak main-main sama adik aku!"
Raka melemparkan tatapan mencela pada Miko selama sedetik. "Kamu baru pulang ke rumah ini setelah kamu pergi beberapa tahun? Kamu nggak tahu apapun tentang apa yang sudah terjadi sama Aira."
"Apa? Mama udah bilang ...."
"Dia berbohong. Kamu nggak tahu fakta sebenarnya. Bukan aku yang seharusnya kamu tatap sengit kayak gitu. Ada orang lain yang seharusnya kamu curigai!" hardik Raka.
"Apa maksud kamu?" Kedua tangan Miko mengepal. Aira tak pernah bercerita apapun.
"Aku hanya orang asing bagi Aira. Aku nggak pernah menyentuh adik kamu sebelum ini," ujar Raka lagi.
Ia kembali menggosokkan minyak kayu putih ke telapak kaki Aira yang sedingin es, lalu ke tangan dan perutnya. Ia meletakkan botol itu di depan hidung Aira agar gadis itu bisa menghidunya.
"Daripada kamu di situ, lebih baik kamu tanya lagi sama ibu kamu apa yang terjadi sebenarnya. Atau ayah kamu!" seru Raka. Dengan lembut ia menepuk pipi Aira, tetapi gadis itu bergeming. "Sial!"
Miko kini meremang. Ia segera meninggalkan kamar Aira untuk mencari tahu apa yang tak ia ketahui. Sementara itu, Raka yang frustasi dengan pingsannya Aira memutuskan untuk ke dapur. Ia membuat teh manis hangat lalu segera kembali ke kamar istrinya.
Kedua mata Raka bertemu tatap dengan Aira yang rupanya sudah sadar. Gadis itu duduk dengan kedua kaki tertekuk rapat ke dadanya.
"Nggak usah takut!" ucap Raka. Ia tak mendekat karena ia tak mau Aira menggila. "Aku bawakan kamu teh manis. Kamu bisa minum."
Aira mengangguk pelan, tetapi ia tak menatap wajah Raka. Ia yakin setengah mati bahwa pria itu membencinya karena ia sudah menuduhnya dan mereka akhirnya terjebak dalam hubungan pernikahan.
"Minum!" suruh Raka. Ia kini berdiri di sebelah tempat tidur Aira. Ia mengulurkan gelas berisi cairan hangat itu pada Aira yang dengan ragu akhirnya menerimanya.
Raka bernapas lega ketika Aira mau minum. Ia dua kali lebih lega karena wajah Aira yang semula putih pucat kini menampakkan sedikit ronanya.
"Apa kamu sudah berkemas?" tanya Raka seraya mengedarkan pandangan ke isi kamar Aira. Kamar itu begitu kecil, tetapi sangat rapi dan bersih.
"Berkemas?" Aira bertanya takut-takut.
"Ya. Baju-baju dan barang pribadi kamu. Kamu harus ikut aku sore nanti," ucap Raka. Hati-hati ia duduk di ujung ranjang. Ia merasa gila meminta Aira untuk tinggal bersamanya. Namun, pilihan apa yang ia punya? Tak ada! Semua tetangga akan mengawasi gerak-geriknya mulai hari ini karena ia dianggap sebagai pelaku pelecehan. Sungguh sial!
"Ikut ke mana?" tanya Aira lagi.
"Rumah aku tentu aja," jawab Raka.
Aira yang semula merasa bersalah pada Raka kini menjadi was-was. Ia akan tinggal di rumah pria itu—suaminya. Ia akan meninggalkan rumah ini, yah, itu adalah impiannya. Namun, rasanya sangat menakutkan jika ia harus tinggal di rumah asing bersama pria asing.
"Apa yang diinginkan pria itu? Apa pria itu berniat jahat sama aku atau sebaliknya? Gimana kalau dia dendam sama aku gara-gara kemarin?" Batin Aira bergejolak. Kedua tangannya mencengkeram gelas teh dengan erat.
"Siapin tas dan baju kamu. Apa kamu perlu bantuan?"
Aira mengangkat dagunya lalu menggeleng pelan. "Aku bisa sendiri."
"Oke. Aku tunggu di luar. Kamu bisa siap-siap," ujar Raka seraya berdiri. "Mereka mau kita makan siang bersama. Setelah itu kita bisa pergi dari rumah ini."
"Apa rumah Om jauh?" tanya Aira. Ia tak tahu bagaimana memanggil pria itu, tapi ia tahu pria itu cukup dewasa dibandingkan dirinya.
Raka berjengit mendengar panggilan Aira untuknya. Ia ingin protes, tetapi mungkin tidak sekarang. "Rumah aku cuma di ujung gang ini."
"Oh." Aira mengangguk. Ibunya sudah bercerita. Raka adalah tetangga baru mereka yang tinggal di rumah paling ujung di tikungan. Rumah itu paling besar di antara rumah-rumah yang ada di sana. Namun, tetap saja Aira merasa takut. Ia tak mau berdua saja dengan pria itu.
"Kalau kamu udah ngerasa lebih baik, buruan packing," ujar Raka sebelum meninggalkan kamar.
***
Aira tak pernah memiliki banyak impian. Sejak ayah tirinya bersikap buruk, ia mengubur mimpinya. Ia lebih baik mati, terkadang ia berpikir seperti itu. Dan terkadang, ia sangat ingin pergi dari rumah. Jika ditanya hal apa yang paling ia inginkan, mungkin itu adalah jawabannya.
Dan hari ini, Tuhan memberinya jalan meskipun ini adalah jalan yang paling aneh menurutnya. Ia merasakan pelukan ibunya yang cukup hangat, ia bisa melihat kedua mata basah ibunya.
"Kamu pasti baik-baik saja di sana," ujar Yeni pada Aira. Ia menoleh pada Raka. "Tolong jaga Aira, Nak Raka."
Raka hanya mengangkat bahu. Jujur saja, ia tak tahu bagaimana menjaga gadis yang rapuh ini. Menikahi Aira mungkin adalah cara yang dipilih sang ibu untuk menyelesaikan semuanya. Entah itu menyelamatkan Aira dari perbuatan suaminya ataukah untuk melindungi perbuatan busuk suaminya. Raka tak bisa menebak modus ibu mertuanya itu.
Aira memeluk Andi selama beberapa saat. Dari semua orang, ia paling menyayangi Andi, adik laki-lakinya yang mungkin akan memiliki nasib jauh lebih baik darinya.
"Boleh aku main ke rumah Mbak?" tanya Andi.
"Ya." Aira menjawab lirih karena ia tak tahu harus menjawab apa. Ia memiliki rumah lain sekarang, bukan ini. Namun, rasanya sangat aneh menyebut rumah Raka sebagai rumahnya.
Andi bersorak girang lalu kembali pada ibunya. Sementara itu, Aira melotot waspada karena Doni mendekat ke arahnya, membuka lengan untuk memeluknya.
"Kami harus pergi," kata Raka seraya berdiri di depan Aira. Ia menutupi akses bagi Doni untuk memeluk Aira. "Papa nggak usah deket-deket Aira lagi."
Aira bisa merasakan pergelangan tangannya di genggam erat oleh Raka. Lalu tak lama, ia pun dibawa keluar oleh pria itu. Aira menoleh untuk melirik tangannya yang digenggam oleh Raka sementara tangan kanan Raka menenteng tas kecil miliknya.
Raka membuka pintu mobilnya, ia memasukkan tas Aira ke jok belakang dan membiarkan Aira duduk di depan. Ia berdebar keras, karena ini pertama kalinya ia akan membawa pulang seorang wanita. Dan wanita itu adalah istrinya, seorang gadis aneh yang sama sekali tidak ia kenal dengan baik. Ia hanya tahu satu hal tentang Aira, gadis itu begitu rapuh.
Mereka sama sekali tidak bicara sepanjang perjalanan karena rumah mereka yang super dekat. Rumah mereka hanya dipisahkan oleh dua rumah lainnya, jadi itu adalah perjalanan yang sangat singkat.
Aira menatap was-was rumah besar Raka ketika ia turun. Kedua kakinya sangat ingin berlari karena ia tak mau masuk ke rumah ini dan tinggal berdua saja. Namun, ia juga tak punya tempat tujuan.
"Ayo masuk," kata Raka seraya mengambil kunci dari bawah pot. Ia masih membawa tas Aira di tangan kanannya.
"Om tinggal sama siapa aja?" tanya Aira penuh harap. Barangkali ia tak perlu berduaan dengan Raka, pikirnya.
"Panggil mas aja. Aku cuma 4 tahun lebih dua dari kakak kamu," kata Raka yang tak ingin dianggap sebagai om-om.
"Ehm, oke," tukas Aira resah.
"Ayo. Keburu sore," kata Raka seraya mengedikkan dagu. "Cuma ada aku sama Memei di sini."
"Memei?" batin Aira. "Ehm, apa dia ... anak Mas Raka?" Rasanya lebih baik jika Raka memiliki seorang anak perempuan, barangkali ia bukan pria seperti ayahnya.
"Apa kamu pikir ... aku udah tua?" Raka yang baru saja memutar kenop pintu membalik badan dengan kesal. Ia dipanggil om dan kini ia dianggap sebagai bapak-bapak.
"Ya, lebih tua dari aku," jawab Aira apa adanya.
"Kamu hampir 19 tahun dan aku baru 28 tahun. Oke?" Aira mengangguk di tempatnya berdiri. "Kamu panggil aku mas dan aku panggil kamu Ai. Oke?" Raka membuang napas panjang ketika melihat Aira mengangguk lagi.
"Jadi, siapa Memei?" tanya Aira lagi.
"Tenang aja, dia cuma kucing. British shorthair cat," jawab Raka. Ia membuka pintu rumahnya lalu menoleh lagi. "Kamu tahu, ini semua gara-gara Memei. Dia kabur ke rumah kamu hari itu dan aku cuma mau ambil dia. Tapi ... aku dengar kamu."
Aira memucat. Ia tahu Raka harus menanggung tuduhan itu. Ia kembali merasa bersalah sekarang. Namun, itu bukan masalah besar. Ia semakin memucat ketika melihat binatang berbulu abu-abu muncul dari balik pintu.
"Kamu kenapa?" tanya Raka cemas. "Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu. Ayo masuk. Ini Memei."
"Aku takut, Mas. Aku takut sama kucing."
"Sial!" batin Raka. Ia benar-benar menikah dengan gadis yang aneh. Ia mengerti jika gadis itu takut padanya atau pada hal lain. Namun, gadis itu ternyata juga takut pada kucing. Hanya seekor kucing!