Seperti biasa, Memei menyambut kepulangan Raka dengan mengeong lalu berjalan mendekat ke arah tuannya. Namun, kali ini ada hal berbeda. Aira yang memang takut dengan kucing langsung berlari kecil ke arah Raka lalu memeluk lengannya erat.
"Bego!" batin Raka yang merasakan tubuhnya ditempeli oleh tubuh mungil Aira. "Ini cuma kucing, Ai. Dia nggak galak."
Aira menggeleng di lengan Raka. "Tapi aku takut."
"Oke. Kamu lepasin aku dan aku bakal gendong dia. Dia belum kenal kamu," kata Raka. Ia menepuk lembut punggung tangan Aira untuk meyakinkan gadis itu bahwa Memei bukan makhluk berbahaya.
Sayangnya, tidak seperti yang Raka ucapkan, bagi Aira binatang berbulu itu baru saja menatapnya tajam dan bahkan menyeringai seram. Ah, bahkan tatapan seekor kucing saja bisa mengintimidasi. Apalagi ketika tiba-tiba Memei mendekat lalu menggosokkan tubuhnya ke kaki Aira. Gadis itu sontak menjerit dan memeluk lengan Raka lebih erat.
"Sial!" Raka mengumpat lagi dalam hati.
Dengan cepat, Raka mengangkat tubuh Memei. Ia melepaskan diri dari Aira lalu melambaikan tangan. "Aku masukin kandang aja. Nggak apa-apa, Ai. Ayo masuk aja. Kalau kamu jerit-jerit gitu nanti dikira orang aku ngapa-ngapain kamu. Aku nggak mau ada skandal lainnya."
Aira membeku di tempatnya. Ia masih berdebar dengan pernikahan ini. Ia juga masih ketakutan dengan kucing kelabu tadi. Namun, ia lebih takut jika ada orang yang berpikir macam-macam gara-gara ia menjerit tadi. Ia tak ingin lebih menyusahkan Raka.
"Ayo, Ai," ajak Raka lagi.
Aira mengangguk pelan. Karena Raka sudah menggendong kucingnya, ia pun membawa tasnya yang tergeletak di depan pintu. Dengan canggung ia masuk ke rumah Raka. Spontan, kedua mata Aira langsung mengedar untuk melihat isi rumah. Tentu saja, rumah itu jauh lebih bagus dibandingkan dengan rumah orang tuanya.
Aira menatap setiap perabot yang ada di ruang tamu, lalu ke dinding di mana ada beberapa lukisan, lalu ke anak tangga. Ia pun mendongak untuk melihat lantai dua rumah ini. Ini mungkin bukan rumah mewah, tetapi ia tahu semua yang ada di sini sangat bagus.
"Udah aku masukin kandang," ujar Raka membuyarkan pikiran Aira.
Kedua pipi Aira langsung memanas karena ia kembali berdua saja dengan Raka. Ia mencoba untuk memalingkan wajahnya, tetapi Raka langsung menelengkan kepalanya lalu berjalan ke arah pintu depan yang masih terbuka.
Pria itu menutupnya! Aira mencengkeram tali tas dengan erat. Ia merasa was-was dengan aksi Raka. Ayah tirinya juga demikian, ketika mereka berdua saja di rumah seperti seminggu yang lalu. Ayahnya mengunci pintu depan lalu hal mengerikan pun terjadi.
"Jangan takut," ucap Raka yang menyadari ketakutan di wajah pucat Aira. "Kamu bisa duduk dulu. Kamu mau minum?"
"Nggak usah," jawab Aira cepat.
"Oke. Duduk!" Raka lebih dulu duduk di sofa empuknya. Ia lalu melambaikan tangan pada Aira.
Terlihat sekali bahwa Aira sangat gelisah dan itu menganggu Raka. Ia tak ingin membuat takut gadis itu, tetapi sebaliknya. Mendadak ia merasa begitu konyol. Kenapa ia yang harus mengurus gadis asing di depannya? "Ah, semua ini gara-gara pernikahan sialan tadi!"
"Ayo bicara sebentar," ujar Raka membuka obrolan.
Di depan Raka, Aira berdebar keras. Gadis itu takut jika Raka akan memarahinya atas tuduhan yang ia berikan. Atau atas pernikahan yang tak masuk akal ini.
"Kamu nggak usah takut di sini. Kamu juga nggak perlu takut sama aku. Aku nggak akan menyakiti kamu," kata Raka sungguh-sungguh. "Siapa yang tega menyakiti gadis rapuh seperti Aira? Hanya pria berengsek yang bisa melakukan itu!"
"Ehm. Ya." Aira merespon singkat meskipun ia masih berdebar.
"Ada tiga kamar di sini. Dua di lantai atas, yang satu kamar aku. Dan satu kamar lagi di lantai satu. Itu kamar tamu, ada di dekat dapur." Raka menunjuk ke arah pintu yang ada di sisi belakang. "Kamu mau tidur di mana?"
Aira menatap Raka bingung. Tapi ia langsung berkata, "Aku nggak mau tidur sama Mas." Dan ia langsung memalingkan wajahnya yang merah padam.
"Aku nggak meminta kamu tidur di kamar aku. Maksud aku ... kamu bisa tidur di kamar kosong di lantai dua atau di kamar tamu. Kamu bisa pilih. Atau kamu mau lihat-lihat dulu," kata Raka menyarankan.
Aira menggeleng. "Di lantai satu aja, Mas." Akan lebih baik jika ia bisa menjaga jarak, sejauh mungkin dengan Raka, dengan pria manapun, pikir Aira.
"Oke. Aku antar ke sana kalau kamu mau istirahat atau mandi. Ada kamar mandi di sana." Raka pun berdiri lalu melambai lagi. "Ayo, Ai."
Aira berdiri dengan limbung. Ia segera mengangkat tasnya lalu mengikuti langkah Raka. Ia menatap Raka yang sedang mengotak-atik gagang pintu.
"Maaf, tapi kuncinya rusak." Raka menoleh pada Aira yang terlihat bingung. "Aku udah minta tukang kunci buat benerin tapi belum datang. Apa kamu masih mau tidur di sini?"
"Itu nggak bisa dikunci dari dalam?" tanya Aira bingung.
"Bisa, tapi nanti kamu nggak bisa buka pintunya. Harus dibuka dari luar," jawab Raka. Ia membuang napas panjang. "Aku nggak tahu cara benerinnya. Kalau aku tahu, pasti udah aku benerin sekarang. Tapi aku mau kamu tahu, di sini aman. Aku nggak akan menerobos masuk kamar ini."
"Janji?" tanya Aira dengan berdebar.
"Ya. Aku janji. Tukang kuncinya baru bisa datang besok sore. Jadi, kamu nggak perlu cemas. Besok pasti udah normal," tutur Raka.
Aira mengangguk. Ia tak ingin protes. Setelah Raka melebarkan daun pintu, ia pun segera masuk.
"Istirahat aja. Kamu bisa tidur dan nanti kita makan malam bareng," ujar Raka sebelum meninggalkan pintu kamar Aira.
Aira membuang napas panjang lantas membalik badan untuk menutup pintu. Dari sana, ia bisa melihat Raka berjongkok di depan kandang kucing yang bernama Memei itu dan sepertinya sedang berbicara dengan kucing. Sungguh aneh, pikir Aira. Pria dewasa seperti Raka berbicara dengan kucing. Aira tak ingin memikirkan hal itu lagi, ia segera menutup pintu lalu melihat sekelilingnya.
"Wah, kamar tamu aja besar," gumamnya takjub. Ia kembali menoleh ke pintu karena pintu tersebut tak terkunci. Ia tak bisa membohongi dirinya, ia merasa cemas karena di rumah orang tuanya ia selalu menjaga pintu itu terkunci rapat. Jika tidak, ia yakin Doni akan menyelinap. Itu menakutkan.
Aira duduk di tepi ranjang dan sekali lagi ia merasa takjub dengan kasur empuk di bawah bokongnya. Ia menyentuh lembut seprei putih di sana lalu mencoba untuk lebih tenang. Tak ada suara apapun di luar sana, semua aman seperti yang dikatakan oleh Raka. Pria itu mungkin adalah pria baik, pikir Aira. Jadi, ia tak perlu khawatir.
"Sebaiknya aku mandi," gumamnya seraya membuka resleting tas. Tak banyak yang bisa ia bawa dengan tas itu dan ia mendadak bingung jika ia butuh sesuatu nantinya. Ia tak mau menginjakkan kakinya di rumah Doni. Tidak. Jika bisa ia ingin bersembunyi di kamar ini selamanya. Namun, itu juga tak mungkin.
"Perut aku," guma Aira seraya menunduk dan meremas perutnya.
Aira ingat, ia tak bisa makan sejak kemarin karena terlalu gugup menghadapi pernikahan. Tadi pagi, ia hanya bisa minum segelas s**u dan selembar roti tawar lalu siang tadi bersama-sama dengan semua orang, Aira pun tak bisa makan banyak.
"Apa magh aku kambuh?" Aira menggeleng pelan ketika ia merasakan hal lain. "Ah, mens."
Aira menoleh ke kamar mandi. Tentu saja, ia harus mengecek apakah ia benar-benar sedang datang bulan. Jika benar, ia dalam masalah. Ia tak membawa pembalut di tasnya. Dan ia cemas ia akan butuh bantuan Raka.
"Ya ampun, gimana nih?" Aira mondar-mandir di kamar mandi usai mengecek. Hari pertama datang bulan baginya sangat mengerikan. Tak hanya nyeri yang mendera, tetapi juga aliran darah yang keluar begitu deras. Ia butuh pembalut.
Aira tak punya pilihan lain untuk keluar dari kamar. Tidak, ia hanya mengeluarkan kepalanya dan mengecek di mana Raka. Mungkin, ia bisa meminta izin untuk pergi ke warung. Namun, ia ingat ia bahkan tak membawa uang. Ia tak punya uang!
"Kamu ngapain?"
Aira terkesiap. Ia baru menolehkan kepalanya ke kanan dan Raka muncul dari sisi kiri, dari dapur.
"Kamu butuh sesuatu?" tanya Raka yang mengamati wajah pucat Aira. Gadis itu terlihat ketakutan atau sedang menahan sakit. Pucat, yang jelas ia tak memiliki rona di wajahnya. "Kamu nggak bakalan pingsan kayak tadi, 'kan?"
Aira menggeleng. Meskipun perutnya sakit, ia tak pernah sampai jatuh pingsan. "Itu ... aku boleh ke warung bentar?"
"Warung? Apa kamu udah laper?" tanya Raka bingung.
Aira menggeleng lagi. Ia meremas daun pintu ketika rasa sakit dan aliran darah terasa semakin mendera. "Aku mau beli sesuatu. Aku ... berdarah."
"Kamu butuh plester? Kamu terluka?" Raka masih menatap bingung Aira yang hanya menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Nggak, Mas. Tapi ... aku lagi dapet." Aira bicara malu-malu sementara Raka langsung melotot. "Aku mau beli pembalut. Aku nggak bawa dari rumah."
"Oh." Hanya itu yang keluar dari bibir Raka. Sudah satu setengah tahun sejak ia tidak tinggal dengan Yumna, mantan istrinya. Dan sekarang, ia dihadapkan pada problematika bulanan wanita, menstruasi!
"Boleh aku ke warung?" tanya Aira lagi.
"Ya." Raka mengangguk.
"Tapi aku nggak punya uang," ujar Aira lirih. Ia semakin malu saja dan perutnya juga semakin menyiksa.
"Kamu di rumah aja, biar aku yang beli. Kamu kayak mau pingsan," kata Raka yang melihat Aira menggigit bibir bawahnya, terlihat sekali gadis itu sedang menahan nyeri.
"Apa?"
"Aku bilang biar aku yang beli buat kamu. Bilang aja yang seperti apa yang biasa kamu pakai," ujar Raka.
"Oh. Mas Raka serius?" tanya Aira tak percaya.
"Ya, tunggu di rumah. Aku beliin buat kamu."