Di tempat lain, Raka baru saja masuk ke rumahnya. Ia mengumpat keras begitu melihat Memei sedang menekuni wadah makanannya yang kosong melompong. Memei langsung menoleh ketika menyadari kehadiran Raka. Kucing itu mengeong lirih lalu berlari pelan ke arah sang tuan. Dengan lembut, kucing itu menggesekkan tubuhnya ke kaki Raka.
“Hei! Semua ini gara-gara kamu!” Raka berjongkok dan mengangkat tubuh Memei. Ia menuding wajah polos kucingnya dan memamerkan ekspresi kesal. “Kalau kamu nggak kabur ke rumah itu, aku nggak bakal kena sial kayak gini. Kamu kucing bego!”
Raka mencampakkan Memei ke lantai lalu ia berdiri. Dengan sengit ia kembali menuding Memei. “Kamu nggak bakalan dapat makan malam! Atau sarapan besok! Nggak! Kamu nggak bakal aku kasih makan lagi!”
Raka mendengkus keras lalu berlari menaiki anak tangga. Ia menutup pintu keras-keras lalu berbaring di atas ranjang. Desah napasnya terdengar, dadanya terlihat kembang-kempis karena ia masih sangat marah dengan apa yang baru saja terjadi. Raka menarik lengan kanannya ke atas kening lalu perlahan ia membuang napas. Amarahnya pelan-pelan surut ketika ia ingat wajah menyedihkan Aira.
"Sial! Sial!" Raka mengetatkan kepalan tangannya ketika ia ingat betul bagaimana gadis itu menangis dengan bibir terluka dan pakaian yang nyaris sobek itu. "Aku harus nikah sama cewek itu?"
Raka terduduk kemudian ia menarik laci nakas. Diambilnya sebuah pigura foto yang menampilkan gambar mesra dirinya dengan seorang wanita cantik. "Kamu pasti menertawakan aku kalau kamu tahu aku harus nikah sama cewek korban pelecehan kayak Aira! Kenapa hidup aku sial banget?"
Raka kembali menyurukkan pigura itu ke dalam laci. Entah bagaimana, ia masih menyimpan foto mantan istrinya di sana. Ia membenci Yumna, wanita itu. Namun, ia lebih membenci takdir yang harus ia jalani sekarang.
"Apa aku harus bilang sama mami dan papi kalau aku mau nikah?" Raka membuang napas panjang lalu menggeleng. Pria berusia 28 tahun itu kembali berbaring. Bayang-bayang wajah sedih Aira kembali terlintas di benaknya. "Kenapa dia bodoh banget dan nggak mau jujur? Dia pasti terlalu malu. Tapi akhirnya ... aku yang harus tanggung jawab? Oh, sial!"
Raka menoleh ke arah pintu ketika ia mendengar cakaran demi cakaran di sana. Ia mendesis lantas bangun dan membuka pintu. Ia menunduk pada kucing kelabu miliknya itu. "Maaf aku udah marah-marah sama kamu. Kamu lapar?" Memei mengeong pelan hingga akhirnya Raka menunduk dan menggendong binatang berbulu itu. "Oke, ayo makan."
***
Hari-hari berlalu dengan lambat di kehidupan Aira. Dan hari ini adalah hari pernikahannya dengan Raka, pria yang hanya ia ketahui namanya itu. Aira yang sama sekali tak menginginkan pernikahan, tentu saja memberontak selama beberapa hari terakhir. Ia mencoba kabur, tetapi pintu dan jendela kamarnya dikunci dari luar. Bahkan, Yeni yang mengantarkan makanan setiap pagi, siang dan malam.
Aira tak punya pilihan lain. Pagi itu, ia duduk dengan gugup di depan seorang perias yang sedang memoles wajahnya. Jantung Aira sama sekali tak bisa bekerja dengan normal. Apalagi ketika ia mulai mendengar kedatangan banyak orang di luar kamarnya.
"Mbak, jangan gerak-gerak dong! Nanti riasannya nggak bagus," kata si perias.
Aira tak peduli dengan riasan, ia sangat ingin kabur sekarang. Namun, bahkan kakinya tak mau bergerak karena saking gemetarnya ia.
"Mbak Ai tuh cantik, tapi kayaknya Mbak gugup banget ya nyampe pucet gini," ujar si perias sambil tersenyum. "Ayo, saya bantuin pakai kebaya."
Aira berdiri lemas ketika dua orang membantunya berpakaian. Ia menoleh ke arah cermin besar di sebelahnya. Yah, ia terlihat cantik sekarang. Selama ini ia tak pernah berdandan. Ia pergi ke mana-mana dengan bedak tabur dan deodorant saja. Dan kini, ia merasa sedikit takjub dengan perubahan di wajahnya. Seperti ia sedang melihat orang lain.
Aira menggeleng pelan. Ia tak boleh terlena, ini adalah hari yang buruk. Ia akan menikah dan ia akan tinggal dengan pria itu. Oh, entah apa yang menunggu Aira di kehidupan pernikahannya nanti? Membayangkan saja membuat Aira merasa ingin pingsan.
"Kamu cantik banget, Ai," ujar Yeni yang baru masuk ke kamarnya. Aira mencebik, ia ingin membenci ibunya. "Raka udah datang. Dia pasti senang bisa menikah dengan gadis secantik kamu."
Aira baru tahu kemarin bahwa ia akan menikah dengan pria berstatus duda cerai. Itu lebih menakutkan daripada mimpi buruk manapun. Ia bisa saja bernapas lega karena akhirnya ia bisa keluar dari rumah ini yang artinya ia tak perlu terlibat lagi dengan ayahnya yang m***m. Namun, ia akan mulai tinggal dengan seorang duda? Seorang duda! Pria itu pastinya sudah sangat berpengalaman dengan wanita dan seks. Tidak! Aira semakin gemetar membayangkan hal itu.
"Mama, aku mules," ujar Aira putus asa.
"Kamu cuma gugup. Ayo keluar, temui calon suami kamu," ajak Yeni. Ia menarik tangan Aira sementara putrinya itu masih membeku. "Miko datang. Dia yang jadi wali kamu hari ini."
Miko! Saudara laki-lakinya yang pergi entah ke mana sejak lima tahun lalu. Kedua mata Aira spontan basah. Ketika Miko masih tinggal di rumah ini, semuanya baik-baik saja. Doni tak berani menyentuh tubuhnya, tapi semua berubah sejak Miko pergi. Miko menjalani kehidupan sendiri dengan istri dan anaknya di luar kota. Miko bahkan tak peduli dengannya yang sesekali ingin bercerita tentang penderitaannya di rumah ini.
"Ayo, Ai!" desak ibunya lagi.
Dengan langkah super berat, akhirnya Aira pun meninggalkan kamarnya. Ia berjalan ke ruang tamu yang sudah disulap dengan dekorasi ala pernikahan. Aira tak berani mengangkat dagunya hingga ia didudukkan di sebelah Raka yang mengenakan jas putih.
"Ai, Mas minta maaf."
Aira baru mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara Miko. Miko kini telah berusia 24 tahun, tetapi ia terlihat jauh lebih dewasa dari usianya. Miko pasti menjalani hidup yang berat di luar sana setelah ia memutuskan untuk kabur dari rumah bersama pacarnya yang kini sudah menjadi istrinya.
"Harusnya Mas bisa jaga kamu dari b******n seperti dia!" Kedua mata Miko terpaku pada Raka.
Aira mengikuti arah tatap sang kakak. Ia bisa merasakan Raka membalas tatapan Miko. Dan itu menakutkan. Raka bisa saja menyangkal dan mengatakan pada Miko bahwa Doni adalah pelaku yang sebenarnya. Namun, pria itu terlihat bungkam.
"Apa kamu harus menikah dengan pria berengsek ini? Apa kamu hamil duluan hingga harus nikah?" tanya Miko dengan suara tertahan.
Aira menggeleng keras. "Ini ...." Dengan gugup Aira menoleh pada Raka yang telah membuang muka dari Miko dan darinya. Ini lebih mengerikan. Raka membencinya karena ia telah membuatnya menjadi tersangka. Wajahnya yang telah dirias pun memucat dan ia merasa ingin muntah karena kegelisahan yang menyerang dirinya.
Raka mendengar napas tak teratur Aira. Ia bisa merasakan ada yang tak beres dengan gadis ini. Yah, dia korban pelecehan seksual dan dipaksa menikah. Gadis ini sama sekali tidak normal!
"Apa kamu baik-baik saja menikah dengan b******n ini?" tanya Miko pada Aira lagi.
Raka melayangkan tatapan mencela pada Miko. Ia ingin mengumpat keras. Ia ingin menyalahkan Miko atas apa yang dialami oleh Aira. "Di mana sang kakak ketika adiknya mendapatkan perlakuan menjijikkan dari ayah tiri mereka? Oh, sialan!"
"Aku bakal jaga adik kamu, jangan khawatir." Raka ingin berkata kasar, tetapi itu yang mendadak keluar dari bibirnya ketika ia melihat wajah memelas Aira.
Miko menelengkan kepalanya. Ia tak percaya pada Raka. Ia hanya mendengar secuil kisah palsu yang diceritakan oleh ibunya. Namun, ia tak protes lagi karena penghulu sudah datang.
Raka tak bisa melihat Aira seperti ini. Ia mengambil botol air mineral yang ada di sebelahnya lalu membuka dan mengulurkannya pada Aira. Gadis itu menoleh gugup, tentu saja dengan kepala menunduk. Aira jelas menghindari tatapannya.
"Minum dulu. Relaks, Ai." Itu adalah pertama kalinya Raka memanggil nama Aira. Ia ingin mengusap punggung gadis malang itu, tetapi ia tak melakukannya karena ia yakin gadis itu akan histeris. "Minum dan tenangkan diri kamu."
Aira menuruti ucapan Raka. Ia mulai meneguk air dingin itu lalu membuang napas panjang. Ia bisa merasakan tatapan semua orang tertuju padanya ketika prosesi akad nikah dimulai. Jantung Aira berdegup kencang. Ia tak ingin percaya, ia telah menikah dengan Raka, seorang duda yang tak lain adalah tetangga barunya.
"Cium tangan suami kamu," bisik Yeni.
Aira menatap gugup pria yang kini berstatus sebagai suaminya itu. Melihat ketenangan di wajah Raka, ia pun segera mengambil tangan besar pria itu. Raka terkesiap karena tangan Aira yang begitu dingin. Seperti es! Bahkan bibirnya! Kecupan dingin dan singkat di punggung tangannya membuat Raka kalang kabut. Gadis ini benar-benar tidak normal.
"Apa kamu baik-baik aja?" tanya Raka pada Aira yang menggeleng. Kini giliran ia yang harus mendaratkan kecupan di kening istrinya. Namun, sesuatu benar-benar tidak beres. Aira begitu ketakutan ketika menyentuh bahunya. Raka tidak heran, gadis ini sudah mengalami hal buruk dalam hidupnya di usianya yang masih belia. Jadi, ia menarik mundur dirinya dan hanya menyentuh pelan puncak kepala Aira yang dihiasi dengan tiara kecil.
Raka hampir merasa lega karena Aira terlihat tenang sekarang, tetapi gadis itu justru tiba-tiba menutup matanya dan ambruk begitu saja di pangkuannya. Dia pingsan!
"Ai!" panggil Miko dan beberapa orang lainnya.
Doni mendekat, ia mengulurkan tangannya ke arah Aira, tetapi Raka dengan cepat mencengkeram tangan kasar Doni. Raka melayangkan tatapan tajam pada pria keji itu. "Jangan sentuh dia! Dia istri aku!"
"Aku cuma mau bantu," kata Doni.
"Nggak perlu. Di mana kamar Aira? Biar aku yang bawa dia ke kamar."