2. Diminta Menikah

1538 Words
“Apa?” Raka berdiri tak terima. Ia langsung mendekati Aira, tetapi Doni menahan dadanya. “Gadis itu berbohong! Saya bahkan belum pernah menyentuhnya!” “Dia udah ngaku. Apa ada yang bisa menolak ucapan korban?” Doni menyeringai di depan Raka lalu mendorongnya d**a pria itu keras-keras. Ia mengedarkan pandangan. “Pria ini yang sudah melecehkan putri saya dan memukuli saya waktu saya berusaha menolong Aira.” Raka membuang napas panjang, tak mengerti dengan permainan ini. Ia menyugar rambut lantas berkata, “Kalau gitu, panggil polisi. Kita bisa melakukan visum pada gadis itu.” Kedua mata Aira spontan melebar. Tidak! Ia sudah cukup malu ketika hampir separuh dari tetangganya tahu apa yang terjadi dengannya. Ini menjijikkan, ia tak mau ada lebih banyak orang yang tahu. Bahkan jika itu polisi. Ia tak percaya mereka bisa menolongnya. Aira langsung menggeleng, duduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya. “Kamu bohong, kamu harus katakan yang sebenarnya!” Raka kembali bicara pada Aira, tetapi Aira justru menangis lebih keras. Itu membuat Raka semakin frustasi. “Ayah kamu ... pelakunya. Bukan saya!” “Berhenti menyalahkan suami saya!” seru Yeni dengan nada tak terima. “Saya yakin bukan suami saya pelakunya. Aira sudah mengaku dan saya mau kamu tanggung jawab!” Raka tersenyum miring dengan semua kekonyolan ini. Ia membuang napas dengan berat lalu menggeleng. “Saya panggil polisi sekarang juga. Akan lebih baik jika ada ....” Kedua netra hitam Raka mengedar. Ia mencari keberadaan CCTV yang sayangnya tak ada di sini. “Apa yang dikatakan putri saya pasti benar,” kata Yeni lagi. Ia menarik tangan Aira dan menunduk agar ia bisa melihat wajah Aira. “Benar, pria itu yang udah jahat sama kamu? Bilang sama Mama!” Aira tak menjawab, tetapi ia mengangguk pelan. Ia merasa bersalah pada pria itu. Namun, ia tak punya pilihan lain. Ia akan kena pukul dari ayahnya jika ia membuat masalah. Dan ia sudah tak tahan dengan pukulan demi pukulan itu. “Dia berbohong!” teriak Raka lagi. “Tenang, Mas Raka!” Dedi kini berdiri karena warnanya semakin tidak terlihat tenang. Ia tak mau ada adegan main hakim sendiri. Apalagi, Raka adalah warga baru di kawasan itu. “Lebih baik mengaku saja dan selesaikan semuanya dengan kekeluargaan.” “Mengaku apa? Saya beneran ... saya bahkan nggak nyentuh dia!” Rahang Raka mengetat. “Aira bilang Anda pelakunya. Dan pak Doni adalah saksinya. Ibu Yeni benar, Anda harus bertanggung jawab,” kata Dedi. “Kalau gitu, panggil polisi!” tantang Raka. “Jangan!” Kali ini, Aira angkat bicara. Ia menggeleng dengan pilu. “Saya nggak mau ada polisi.” Raka mendesis seraya menatap Aira dengan ekspresi mencela. Ia merasa begitu sial sudah berniat menolong Aira. Kini, ia yang justru dituduh melakukan hal senonoh pada gadis itu. Entah apa yang ada di kepala gadis itu? “Kalau begitu, kita selesaikan semuanya baik-baik, jangan ada kekerasan lagi!” Dedi menoleh pada Doni dan Raka yang sama-sama babak belur. “Pak Raka harus tanggung jawab sama Aira. Kami nggak mau ada warga m***m di sini.” “Apa? Kenapa saya harus ... jangan bilang saya harus menikahi gadis itu! Saya nggak mau!” hardik Raka tak terima. Aira juga menggeleng. Ini gila! Ia tak percaya pada sebuah pernikahan setelah melihat kehidupan ibu dan ayah tirinya. Ia tak akan menikah jika ia bisa. Lebih baik ia hidup seorang diri selamanya. Ia sudah lulus sekolah dan yang ia inginkan adalah segera minggat dari rumah ini. “Ya, dia harus menikahi putri saya. Bagaimana jika dia hamil?” Yeni menginterupsi perdebatan. Raka membelalak sempurna. Ini lebih dari gila! Ia ingin mengumpat keras-keras pada wanita hamil itu. Tidak, ia menahan dirinya untuk tidak melayangkan kata kasar pada wanita itu. “Dia nggak akan hamil. Saya nggak pegang dia sama sekali,” sanggah Raka. Kasak-kusuk di belakang mereka mulai menggema. Doni tersenyum kecut, ia tak begitu suka dengan apa yang diucapkan istrinya. Ia belum mendapatkan tubuh Aira seutuhnya, dan kini, Raka akan menikahi Aira? Namun, pilihan apa yang ia miliki? Jika ia ketahuan sebagai pelaku pelecehan, ia mungkin harus mendekam di penjara. “Tapi tetap saja, Anda harus bertanggung jawab!” hardik Yeni pada Raka. "Itu tak masuk akal! Wanita itu benar-benar membual," pikir Raka dalam hati. “Saya nggak ....” “Nikahi putri saya!” Yeni kembali bicara dengan kedua mata basah dan tangan terkepal. Kesepakatan itu terjadi dengan cepat. Raka tak punya pilihan lain. Walaupun ia benci dengan ibu Aira, tetapi ada sesuatu di sana. Ketika menatap dirinya, ia bisa merasakan keputusasaan di matanya. Seperti, dia meminta tolong. Ah, itu konyol. “Barangkali, wanita itu hanya ingin melindungi pria busuk yang menjadi suaminya. Dasar sialan!” Raka tak terlihat setelah beberapa saat. Semua warga meninggalkan rumah Doni dengan cepat dan kini hanya suara tawa Andi yang terdengar dari kamarnya. Itu sungguh konyol bagi Aira. Dengan tubuh limbung, Aira berjalan pelan menuju kamarnya yang ada di dekat dapur. Ia ingin mengunci diri, tetapi Yeni lebih dulu merangsek masuk. Aira melayang tatapan sengit pada ibunya. “Apa yang Mama lakuin? Kenapa Mama ngomong kayak gitu? Om itu nggak salah apa-apa. Mama tahu siapa pelakunya! Apa Mama masih mau tutup mata? Ini bukan yang pertama kalinya terjadi! Tapi ... tapi Mama selalu ngebela pria itu!” “Pria itu suami Mama dan dia ayah kamu!” teriak Yeni dengan nada tertahan. Ia membalik badan sekadar untuk mengunci pintu kamar Aira agar Doni tak mendengar obrolan ini. “Dia bukan ayah aku! Dia iblis!” Aira tak tahan lagi. Ia begitu marah sekarang. “Dia suka mukul aku, Ma. Dia suka pegang-pegang aku. Hari ini aku hampir diperkosa sama dia! Dan Mama masih bisa bilang dia ayah aku?” Yeni mendekati putrinya, menarik lengan kecilnya lalu membawanya duduk di atas ranjang. “Dengerin Mama. Mama udah sering kasih tahu kamu, pakai baju yang longgar di depan papa kamu. Jangan berduaan ....” “Aku nggak godain pria itu, Ma! Aku nggak pernah mau berduaan sama dia dan aku nggak pernah mau ngerebut suami Mama! Jadi tolong, jangan ngomong kayak gitu ke aku!” Aira menepis tangan Yeni. Tangisnya kembali pecah karena ucapan sang ibu yang seolah-olah menyudutkan dirinya yang tak bisa menjaga diri. “Seharusnya Mama tahu, aku korban di sini!” “Dia bisa minta maaf sama kamu, Ai. Kamu tahu itu. Papa nggak setiap hari kayak gini,” ujar Yeni seraya mengusap punggung Aira. Aira meremang. Tidak setiap hari begini. Otaknya mengulang kata-kata ibunya. Itu mungkin benar. Itu tak terjadi setiap hari, tetapi setiap hari bagi Aira seperti neraka. Ia harus berhati-hati, menjaga dirinya untuk tidak didekati Doni. Bahkan jika bisa, ia tak ingin masuk ke rumah ini lagi. “Aku nggak butuh permintaan maaf papa!” seru Aira seraya berdiri. Frustrasi, ia mengusap wajahnya kasar. “Dan pernikahan tadi ... aku nggak mau. Aku takut!” “Ai, Mama tahu kamu selalu pengen pergi dari rumah ini. Dan ini kesempatan kamu. Pria itu adalah golden ticket kamu,” kata Yeni. “Tapi pria itu orang asing, Ma. Aku nggak kenal sama sekali.” “Mama udah lihat, dia kayaknya baik dan nggak aneh-aneh. Dia tetangga baru kita, rumahnya cuma beberapa meter dari sini, jadi kamu nggak usah khawatir,” kata Yeni lagi. Aira menggeleng. “Mama keterlaluan! Mama juga nggak kenal dia, tapi Mama mau aku nikah sama dia. Gimana kalau dia ternyata jahat? Gimana kalau dia lebih b***t dari papa?” Yeni membuang napas panjang. Ia memiliki firasat, tetangga barunya adalah pria baik. Dia hanya sesekali terlihat dengan seekor kucing berwarna kelabu. “Kalau begitu, kamu harus bisa bikin dia senang. Kamu harus jadi istri yang baik buat dia.” Aira mengepalkan tangannya. Ia tak pernah ingin menjadi seorang istri. Tidak, ia tak tertarik dengan pernikahan. “Kenapa Mama nggak pernah sekali aja mau dengerin aku? Aku korban dari papa. Aku cuma mau kita pergi, Ma. Aku mau Mama ada di sini aku, bukan pria itu.” “Mama nggak bisa, Ai. Kamu lihat, Mama hamil! Mama juga punya Andi. Mereka adik-adik kamu,” ujar Yeni dengan nada melunak. “Mama butuh papa kamu.” “Mama nggak mikir, gimana kalau bayi itu perempuan kayak aku? Gimana kalau dia juga jadi korban kayak aku?” tanya Aira. Yeni menggeleng pelan. “Itu nggak akan terjadi. Mereka laki-laki. Kembar.” Aira mendengkus panjang. Ia melemas seketika dan kembali duduk di sebelah ibunya. “Tapi aku juga putri Mama. Kenapa Mama nggak pernah ada di sisi aku?” “Mama cinta sama papa kamu. Dan Mama butuh dia. Mama nggak bisa menghidupi adik-adik kamu seorang dori,” kata Yeni tegas. Ia berdiri lalu membuang napas berat. “Masalah selesai, Ai. Kamu hanya harus menikah dengan Raka dan kamu bisa memulai kehidupan baru kamu.” Aira tak bicara lagi karena ibunya sudah meninggalkan kamarnya. Ia hanya menatap dingin pintu yang kembali tertutup itu. Jika ia membenci ayah tirinya, ia kini merasa bahwa ia lebih membenci ibunya. Aira berjalan limbung ke kamar mandi, membiarkan air shower membasahi tubuhnya. Ia mulai menangis. Aira menggigil, bukan karena air yang terasa dingin. Namun, karena ia terlalu takut dengan kata pernikahan. Ia takut, pria itu jahat dengannya. Raka, ia bahkan menuduhnya sudah melakukan hal tercela—di depan semua orang. Ia yakin, Raka akan membencinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD