“Kita baru selesai satu hari, Alva. Om Agung gak bakalan ngizinin kita buat terlibat mencari tahu siapa wanita itu,” Naira angkat bicara setelah Alva mengutarakan pemikirannya bahwa mereka akan mencari tahu identitas wanita yang dijatuhkan dari lantai atas Gedung sekolah.
Usai pulang ujian, mereka semua berkumpul di apartemen Naira. Itu semua keinginan Alva agar mereka berkumpul di sana. Alva sudah menjelaskan siapa wanita itu. Mulai dari pertama kali dia bertemu dengan wanita itu di rooftop rumah sakit, mengetahui penyebabnya hendak bunuh diri, hingga hilangnya wanita itu secara tiba-tiba.
“Gue setuju sama Alva,” ujar Raka.
“Ka, come on. Bokap lo gak bakal ngizinin kita buat ngelakuin itu. Lo gak inget pesan bokap lo? Bokap lo nyuruh kita semua belar. Fokus.”
“Kalo gitu, kita gak perlu izjn.”
Dave menjentikkan jarinya. “Gue setuju.”
Deva mengangkat tangan, nyengir. “Also.”
Hanya Farah yang tidak melakukan apa-apa selain menyimak mereka berlima.
“Ayolah. Gue paham kenapa kalian mau mecahin teka-teki ini, gue juga. Gue juga mau. Tapi ini udah bukan ranah kita lagi. Gue setuju apa yang Om Agung bilang kemarin.”
“Tapi kita gak bisa diam terus-terusan, Nai,” Alva berkata. “Kita harus bisa mecahin kasus ini. Toh, polisi juga bakal kebantu. Mereka juga diuntungkan.”
Dave menjentikkan jarinya lagi. “Gue setuju.”
Deva angkat tangan. “Also.”
Naira meraup wajahnya frustasi. “… terus sekarang lo semua maunya gimana?” Entahlah. Naira lawan empat orang, dia kalah suara. Lagipula, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Naira ingin sekali memecahkan teka-teki ini secapatnya. Teka-teki itu bukan hanya membuat Naira gila hingga terbawa mimpi, sahabat-sahabatnya yang lain juga merasakan hal serupa.
“Kita mulai dari data diri.”
“Lo punya fotonya?” Raka bertanya dibalas anggukan oleh Alva.
***
Raka pulang pukul tujuh malam. Itu artinya dia sudah terlambat lima jam.
“Dari mana kamu, Ka?” tanya Marsita. Raka mengira mamanya itu belum pulang dari firmanya. Ternyata Marsita sudah duduk manis, menyemil keripik kentang sambil menonton televisi.
“Dari rumah Naira, Ma.”
“Ngapain? Belajar bareng?”
Cepat-cepat Raka mengangguk. Syukurlah mamanya menyimpulkan seperti itu. Setidaknya itu membuat Raka tidak susah payah harus merangkai kata agar terdengar meyakinkan.
“Cepat mandi. Makan malam sudah mau siap.”
Raka mengangguk, masuk ke dalam kamarnya di lantai dua.
***
“Gue juga gak tahu ada hubungannya atau tidak. Tapi entah kenapa firasat gue bilang kalau Mala (nama perempuan yang sempat hilang di rumah sakit lalu muncul kembali tanpa nyawa dijatuhkan dari lantai atas gedung sekolah) ada hubungannya dengan kematian Ratih dan Maya.”
“Gue juga berpikiran seperti itu,” sambung Raka yang dibalas anggukan oleh Alva. “Ingat laki-laki bertopeng yang jatuhin Mala?”
Naira, Farah, Dave, dan Deva mengangguk bersamaan. Hampir semua murid yang berbaris tadi pagi melihatnya. Berpakaian serba hitam dan dan mengenakan topeng dengan warna serupa, laki-laki itu langsung melarikan diri begitu Mala mendarat di tengah lapangan.
“Tapi kita gak bisa ambil kesimpulan kalau laki-laki itu suruhan Pak Handoko. Orang suruhan yang berpakaian seperti itu, itu sangat klasik dan biasa. Orang mana saja bisa berpakaian seperti itu.”
Apa yang Naira katakan benar. Alva dan Raka mengangguk bersamaan, setuju dengan itu. Semakin banyak berasumsi tanpa adanya data yang valid justru membuat kasus ini kian rumit. Mereka harus punya bukti yang kuat terlebih dahulu sebelum memastikan siapa yang menyuruh dan siapa otak dari semua kasus itu.
Ketika semua sudah pulang, Naira masih berkutat dengan laptopnya. Kalian tahu apa yang sedang dia lakukan? Dia tengah berusaha membobol CCTV sekolah yang temp hari tidak bisa dia bobol. Entahlah, Naira tidak tahu keamanan jenis apa yang sekolahnya pakai sampai-sampai CCTV-nya tidak bisa dibobol. Sekolah mereka benar-benar menyimpan banyak misteri. Mulai dari kenapa kasus pembunuhan terjadi di sekolah nomor satu di Indonesia dan nomor empat di dunia itu. Sekolah yang seharusnya memiliki penjagaan ketat, kasus pembunuhan satpam itu seharusnya tidak layak terjadi. Dan akhirnya diketahui bahwa itu hanya rekaan belaka.
Untuk identitas Mala, Naira sudah berhasil mengantonginya. Urusan mencari hal-hal semacam itu Naira jagonya. Sejak kecil dia memang suka berselancar di dunia computer. Jarinya lihai menari=nari di atas keyboard. Itu adalah kelebihan yang nyaris jarang dimiliki orang lain. Memiliki kelebihan semacam itu membuat Naira sangat bersyukur.
Ketemu!
Segera Naira menghubungi Alva. Laki-laki yang berposisi sebagai kepala ghost genius itu pasti akan tersenyum gembira begitu Naira memberi tahu di mana posisi terakhir Mala.
***
“Apa?” Agung nyaris berteriak kalap setelah mendengar kabar yang tidak mengenakkan. Agung pikir dengan tertangkapnya si kembar semua akan berjalan lancar sampai selesai. Nyatanya salah, si kembar berhasil lolos. Teman Agung dari kepolisian Sidney sudah mengabarinya lima jam lalu bahwa anak buahnya sudah membawa si kembar menumpang dengan kapal pesiar yang menuju Indonesia. Mendengar itu membuat Agung merasa sudah bisa setidaknya menghirup udara segar bahwa kasus yang sedang dia selidiki akan segera berakhir. Itu hanya angan-angan saja. Entah siapa gerangan orang yang bisa membawa kabur si kembar.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Agung di seberang sana menggunakan saluran telepon.
Teman Agung menghela napas kecewa. “Aku juga tidak tahu, Agung. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Sekarang empat anak buah yang kutugaskan untuk membawa si kembar sudah kuamankan. Mereka akan aku selidiki.” Dia menjawab dengan menggunakan bahasa inggris.
“Baiklah. Aku harap si kembar itu bisa segera ditangkap kembali. Urusan di sini akan semakin runyam jika mereka berdua berhasil kabur.”
Sambungan telepon diputus. Agung memijat pelipisnya. Kepalanya kembali dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak mengenakkan. Di kepalanya sekang sudah terbayang bagaimana rumitnya menyelesaikan kasus itu nanti jika si kembar lepas dari tangan mereka. Kalau begini sudah jelas, bukan sembarang orang yang menjadi otak dari semuanya. Orang ini pastilah sangat hebat dan juga berpengalaman. Satu lagi, dia juga pasti memiliki koneksi yang super luas. Bahkan sudah kelas mancanegara.
“Ada apa, Gung?” tanya Rudi ketika melihat Agung tampak frustasi.
“Yang benar?” Rudi juga kaget setelah diberitahu bahwa si kembar berhasil lolos.
“Lalu bagaimana sekarang?”
“Temanku akan berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan mereka kembali. Kita harus berdoa agar mereka bisa menangkap si kembar atau kita akan semakin kekurangan jam tidur.”