Prolog
Begitu jarum pendek jam tangan Farah berhenti tepat di angka enam, Farah dan mamanya sampai di area SMA Kencana Indonesia. Belum ada murid yang terlihat. Gerbang yang berwarna putih itu pun masih tertutup rapat. Jarak beberapa langkah dari gerbang itu, terdapat sebuah pos kecil tempat satpam berjaga.
Farah membuka helmnya, lalu menyerahkan kepada mamanya.
“Udah dong cemberutnya, ntar hilang tau cantiknya,” ujar Kaila sambil mencubit gemas pipi anak gadisnya.
“Maafin Mama, ya. Gara-gara Mama kamu harus pergi sekolah sepagi ini.”
“It’s okay, mom. Farah paham kok.”
“Terima kasih anak Mama. Ya udah, Mama berangkat dulu ya?”
“Oke, Mam.” Farah mengambil tangan Kaila lalu menciumnya.
“Belajar yang rajin ya. Mama yakin kamu pasti bisa mempertahankan gelar juara kamu.”
Farah menghela napas panjang sebelum membalas perkataan Mamanya.
“Semoga, Ma. Farah juga belum yakin.”
Kaila menyalakan motor bermerk Scoopy yang baru kemarin sore jadi miliknya.
“Mama berangkat, ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Ma.”
Setelah mamanya sudah tidak terlihat, Farah melangkahkan kakinya malas mendekati gerbang sekolah. Satpam yang berjaga terlihat melambaikan tangannya ke arah Farah sambil tersenyum ceria.
“Kok lesu amat, Neng? Semangat mudanya harus ditunjukin. Lihat bapak,” Satpam itu melompat-lompat sembari memperagakan beberapa gerakan senam yang familiar, “Ayo Neng, ikutin bapak. Satu, dua, tiga. Ayo, Neng, buruan!”
Farah hanya memperhatikan dari atas ke bawah melihat satpam itu begitu semangat di pagi hari, sedangkan dirinya merasakan aura kemalasan yang begitu kuat.
“Masih lama, Pak?”
“Jangan khawatir, Neng. Tua-tua begini, badan Bapak masih segar bugar.”
“Maksud saya gerbangnya masih lama dibuka, Pak?”
“Oh, sebentar,” Sang satpam melihat jam tangannya, “Lima belas menit lagi, Neng.”
Farah teringat akan artikel yang dibacanya tadi malam. SMA Kencana Indonesia beroperasi mulai pukul setengah tujuh, dan gerbang akan ditutup kembali empat puluh lima menit setelahnya.
“Ngomong-ngomong, Neng udah sarapan?”
“Belum, Pak. Soalnya tadi juga buru-buru.”
“Bapak punya roti sama teh manis hangat. Neng mau?”
Farah berpikir sejenak sebelum menjawab. Rasanya tidak ada salahnya untuk menerima penawaran dari satpam itu. Toh lagian ia juga belum sarapan, daripada kelaparan nanti di kelas.
“Oh boleh, Pak. Tapi maaf ya, Pak, jadi ngerepotin.”
“Oh gak papa, Neng. Bapak malah seneng kalo ada yang nemenin.”
Satpam itu pun mengeluarkan bangku panjang mirip yang ada di tempat-tempat warung bakso, lalu mempersilahkan Farah duduk.
“Terima kasih, Pak.”
Satpam itu kembali lagi dengan dua gelas teh dan beberapa potong roti.
“Silahkan dimakan, Neng.”
“Iya, Pak.”
“Kelihatannya, Neng orang baru, ya?”
Farah meneguk habis teh di mulutnya.
“Iya, Pak. Baru pindah kemari dua hari yang lalu.”
“Aslinya?”
“Saya dari Medan, Pak. Keluarga dari Alm. Papa kebetulan ada di Jakarta Utara.”
“Saya salut sama kamu.”
“Salut? Salut kenapa, Pak?”
“Jarang sekali ada orang yang masuk ke SMA ini di semester akhir begini.”
“Maksud bapak?”
Farah mulai tertarik berbincang lebih dengan Pak satpam.
Satpam itu tersenyum, “Nanti kamu juga bakal tau.”
“Ya udah, Neng. Bapak tinggal sebentar ya, mau ke kamar mandi,” ucapnya sambil memegang perut.
“Oh, iya Pak.”
Sekitar dua menit berlalu, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahu Farah. Farah tersentak kaget.
“Siapa kamu?”
Ternyata yang menepuk bahu Farah adalah seorang gadis berambut sebahu. Matanya sayu, wajahnya pucat sekali. Farah menatap lamat-lamat gadis itu dari atas ke bawah, bajunya juga sedikit kotor dan kusut.
Tanpa meminta izin terlebih dahulu, gadis itu menarik tangan Farah secara paksa, sehingga tangan Farah sedikit terasa sakit.
“Kamu siapa?” tanya Farah kedua kalinya. Tapi tetap saja, Farah tidak mendapat jawaban.
Gadis itu berhenti di depan gerbang, ia merogoh sakunya, mengeluarkan kunci, lalu membuka gerbang. Begitu gerbang terbuka, tangan Farah kembali ditarik untuk mengikutinya. Tak lama setelah itu, Gadis tersebut menjatuhkan Farah di dekat pohon besar.
“Aduh, “ ringkih Farah memegang sikunya yang berdarah.
Tanpa ada sepatah kata pun, Gadis tersebut meninggalkan Farah. Kali ini dia tidak lagi berjalan, melainkan berlari keluar gerbang. Kelihatannya gadis itu mencoba kabur, terlihat dari larinya yang super cepat.
“Tolong.”
Saat mencoba berdiri, Farah mendengar ringkihan orang meminta tolong. Suara itu masih terdengar samar-samar. Farah menajamkan pendengarannya.
“To-long, sa-ya.”
Semakin jelas. Farah melihat ke belakang, ia yakin suara itu berasal dari balik pohon besar yang ada di belakangnya. Setelah berhasil berdiri, Farah langsung mendekati pohon tersebut. Semula ia ketakutan. Perlahan dengan langkah kecil, akhirnya ia berhasil mendekati pohon.
Farah terjerembab ke tanah, seketika tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Ia berusaha menjauh dari apa yang dilihatnya. Kakinya berusaha mendorong tubuhnya dari objek mengerikan itu. Satpam yang beberapa menit lalu berbicara dengannya sekarang tengah berlumuran darah di sekujur tubuhnya, tangannya memegangi pisau yang menancap di leher dan juga dadanya.
“To-long saya, Neng,” Suaranya terbata-bata memanggil Farah.
Farah ketakutan, ia syok bukan main. Darahnya serasa mengalir dua kali lebih cepat dari biasanya begitu juga detak jantungnya.
Tangan satpam itu bergerak perlahan menunjuk ke arah tembok di sebelah kirinya. Farah menyipitkan matanya untuk melihat lebih fokus, ada sobekan kain putih di atas tembok.