Bab 41. Hari Ujian

1073 Words
Masa yang menjadi kekhawatiran Agung akhirnya tiba. Masa yang membuat Agung mengambil keputusan bahwa keenam murid yang menjadi pilar SMA Kencana Indonesia harus berhenti dari kegiatan menyingkap teka-teki di sekolah mereka. Raka, tengah menarik napas dalam di kamarnya. Hari ujian sudah tiba. Hari yang menjadi horor bagi Sebagian murid yang anti dengan kata belajar. Dave dan Deva sudah berangkat mengendarai taksi lebih pagi dari biasanya karena takut terlambat. Farah diantarkan mamanya dengan sepeda motor. Alva menjemput Naira terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah. Lima belas menit sebelum ujian dimulai, mereka semua sudah berkumpul di kelas. “Kerahkan semua kemampuan kalian. Jangan buat sekolah heboh,” Raka berkata mantap. Kalian penasaran apa yang dimaksud heboh? Kita tunggu nanti. Ini ujian pertama Farah di SMA Kencana Indonesia. Fakta bahwa dia memiliki skor iq lebih tinggi daripada Alva masih menyebar hanya di kalangan teman-teman seangkatannya. Dia tidak tahu apakah itu kabar baik atau buruk, tapi yang pasti teman-teman sekelasnya tengah berbisik-bisik di pojok kelas. “Dia yang iq-nya 148 itu, ya?” saalah satu murid angkat bicara. Matanya tak teralihkan barang sedetik pun dari wajah Farah. “Iya, benar,” murid lain menimpali. “Kira-kira apa dia bisa menggeser ghost genius?” “Gue yakin iya. Menurut lo gimana?” “Gue enggak yakin, sih.” “Kantin?” “Deal!” Ujian bahkan belum dimulai, mereka sudah mengadakan taruhan. Siapa yang menang akan menjadi bandar di kantin. Lima menit menjelang ujian, terdengar pengumuman dari toa sekolah. “Seluruh murid SMA Kencana Indonesia diharapkan untuk berkumpul di lapangan.” “Lets go, guys!” Mereka berenam pergi ke lapangan. Sepanjang koridor tatapan mata murid-murid, itu adalah hal biasa yang mereka alami. Di hari-hari biasa saja jika mereka berlima berjalan, para murid-murid memandangi mereka, apalagi sekarang saat menjelang ujian. Terlebih lagi sekarang ada anggota baru—Farah. Hampir seribu murid, semuanya berbaris rapi di halaman yang luas. Seragam putih-putih, membuat pemandangan baris-berbaris itu jika dilihat dari atas pasti sangat apik. Mereka berbaris sesuai kelas masing-masing. Di tengah, podium untuk kepala sekolah tertimpa sinar matahari. Tidak seperti sekolah-sekolah biasa lainnya, SMA Kencana Indonesia adil. Bukan hanya murid saja yang berjuang menahan terik matahari, para guru setiap kali mengikuti upacara di luar, mereka juga merasakan hal yang sama seperti yang murid-murid rasakan. Kepala sekolah—Prof. Gunawan Kencana memberi sambutan sepatah-dua kata. Arahan untuk mengerjakan ujian dan imbauan agar mengerjakan soal ujian dengan jujur dan percaya pada diri sendiri. Sambil mendengarkan, Farah masih terbayang bagaimana seramnya tes beberapa minggu lalu, saat dia baru mendaftar menjadi murid SMA Kencana Indonesia. Sepuluh menit, sambutan selesai. Murid-murid menjerit histeris. Dari lantai atas, tiba-tiba terlihat seseorang yang memakai pakaian serba hitam. Tahu apa yang menyeramkan? Dia melambaikan tangan kepada para murid yang mendongak setelah menjatuhkan perempuan yang mengenakan pakaian pasien dari lantai atas sana. Para guru menyibak kerumunan. Pak Eko dan guru-guru lain semuanya langsung ambil tugas. Mereka semua menghalau murid untuk masuk ke kalas masing-masing. Dari ruang kontrol, salah seorang guru memberi imbauan melalui toa sekolah, menyuruh murid untuk segera meninggalkan lapangan. Di dekat perempuan yang terjatuh dengan posisi telungkup, kepalanya mengalirkan darah segar, matanya terbuka lebar. Perempuan itu, perempuan yang sejak dua hari terakhir membuat Alva tidak bisa tidur. Pak Eko mendorong tubuh Alva, menyuruhnya untuk meninggalkan lapangan. Alva kehilangan ekspresinya, matanya menatap kosong sambil terus menjauh dari lapangan. *** Di dalam ruangan, Deva menyikut lengan Dave, menyuruhnya untuk melihat Alva yang terus diam. Alva memang biasa diam dan irit bicara, tapi yang ini kelihatan beda sekali. Dave menggeleng tidak tahu. “Selamat pagi, Anak-anak!” sapa Pak Rahmad. Dia hari ini bertugas sebagai pengawas ujian di ruangan kelas 11 IPA 1 “Kumpulkan semua tas dan buku-buku kalian ke depan. Yang boleh ada di atas meja hanya alat tulis.” Suara kursi didorong mendominasi. Murid-murid berjalan ke depan membawa tas mereka untuk diletakkan di depan. Satu-dua murid menitip. Setelah keadaan kelas senyap, Pak Rahmad membagikan kertas soal dan lembar jawaban. Pak Rahmad kembali seusai membagikan semuanya. “Sebelum ujian dimulai, mari berdoa sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Doa dimulai.” Dua menit kemudian. “Doa selesai. Kerjakan dengan tenang dan hikmat.” Pertempuran pun dimulai. Ujian mungkin bagi Sebagian orang adalah perkara biasa. Namun bagi murid, ujian adalah pertempuran yang sangat berat. Bukan hanya berusaha untuk memperebutkan nilai tinggi, akan tetapi ada Sebagian yang ditunggu rotan di rumah kalau sampai mendapat nilai jelek. Nilai untuk murid-murid SMA Kencana Indonesia adalah yang terbaik di Jakarta. Itu tidak diragukan lagi karena SMA Kencana Indonesia menerapkan sistem hanya calon-calon murid yang skor ig-nya memenuhi syarat saja yang boleh masuk. Kelas benar-benar senyap. Suara jarum jam terdengar. Sesekali suara gesekan kertas mendominasi ruangan. *** Waktu Dave datang ke rumah Bu Ratna. “Siapa mereka berdua, Bu?” Dave bertanya lagi setelah satu menit Bu Ratna tidak juga memberi jawaban atas pertanyaan Dave. Pertanyaan yang paling simpel, tapi kalau dijawab semua akan jadi berantakan. Dave menyeringai, tampaknya dia mulai bisa mengambil kendali Bu Ratna. “Murid saya.” “Murid?” Hei, Bu Ratna sudah berubah ekspresi wajahnya. Sekarang seringaian terlihat di bibir Bu Ratna. Guru yang terkenal seram dan menakutkan itu kian bertambah aura seramnya saat menyeringai. “Iya, mereka berdua murid saya.” Bu Ratna berdiri, berjalan menuju kamarnya, kemudian kembali membawa map kuning, meletakkan di atas meja. “Silakan baca. Ini adalah riwayat tempat-tempat saya mengajar.” Sial! Dave membaca satu persatu. Dia langsung bungkam. Bu Ratna pernah mengajar di taman kanak-kanak. Bu Ratna melipat tangannya ke depan, memasang wajah penuh kemenangan. “Bagaimana? Kamu sudah percaya kalau mereka berdua murid saya dulu?” Dave terdiam. Foto yang Dave tunjukkan adalah foto Bu Ratna dengan Andi dan Andri kecil. Naira mendapatkan foto itu kemarin. Dave sudah bangga diri dan yakin akan bisa membuat Bu Ratna terpojok, ternyata dia salah. Justru Dave-lah yang terpojok sekarang. Berdasarkan berkas-berkas Bu Ratna, maka tidak ada lagi yang bisa untuk diprotes. Meski itu hanya alibi saja, tetap Dave kalah dalam posisi ini. Foto itu menampilkan Bu Ratna yang duduk di satu lutut, merangkul Andi dan Andri yang tengah memegang piala, tersenyum senang. “Terima kasih atas kunjungannya, Dave. Sudah mau pulang?” Bu Ratna terlihat menahan tawanya. Harus Bu Ratna akui, Dave mempunyai nyali besar untuk datang ke rumahnya, untuk memojokkannya. Itu harus diapresiasi. Belum ada sejarahnya sejak Bu Ratna mengajar di SMA Kencana Indonesia murid yang berani menantang Bu Ratna seperti Dave ini. Dave, resmi kalah telak. Dia harus melakukan persiapan yang lebih matang lagi ke depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD