Selesai ujian, mereka semua kembali berkumpul di apartemen Naira. Ada hal penting yang harus dibahas. Hal penting ini bukan hal yang pasti menggembirakan apabila sudah disampaikan. Justru membuat mereka semua yang mendengar akan merasa frustasi dan kepala mereka akan langsung dipenuhi dengan rencana-rencana selanjutnya dan juga kemungkinan buruk yang akan terjadi ke depannya. Kalian tahu apa itu?
Raka diberitahu oleh orangnya kalau si Kembar berhasil meloloskan diri. Kepolisian Sydney sedang mengupayakan yang terbaik untuk bisa mendapatkan kembali dua laki-laki itu—Andi dan Andri. Meski bukan pion utama dari kasus itu, setidaknya dengan tertangkapnya Andi dan Andri mereka bisa mengupas satu persatu kasus itu hingga akarnya. Tapi sekarang itu semua hanya menjadi angan-angan saja. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Andi dan Andri bisa melarikan diri. Dibantu kepolisian luar negeri ternyata juga tidak menjamin segalanya.
“Lo gak bercanda kan, Ka?” Naira sampai berkata demikian saking tidak percayanya. Hilang sudah semua harapan mereka bahwa kasus itu nyaris menemukan titik terangnya.
Dave langsung memijat pelipisnya. Itu benar-benar kabar yang tidak mengenakkan. Sungguh.
“Lantas apa yang mereka lakukan kenapa Andi dan Andri bisa melarikan diri?” Tanpa sadar suara Alva meninggi. Dia dan semuanya juga sebenarnya tidak mau percaya denga napa yang terjadi. Kenapa bisa si kembar itu meloloskan diri?
“Gue juga gak tau, Al. Andi dan Andri dibawa dengan menumpang kapal pesiar yang menuju Indonesia. Ada empat orang yang bertugas untuk menemani. Keempatnya sudah diamankan untuk diselidiki apakah mereka ikut andil dalam membantu si kembar melarikan diri.”
Alva memukul udara. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing sekarang. Masih jelas di ingatanya senyum lebar Mala. Atmosfer ingin melanjutkan kembali kehidupan beberapa hari lalu terasa jelas dalam diri Mala. Gadis yang frustasi dan memilih untuk bunuh diri itu sudah mulai bisa menemukan kembali gairah kehidupan dan mulai bisa menerima keadaan. Lantas, dengan berhasilnya Andi dan Andri melarikan diri, mereka akan semakin jauh dari kebenaran.
Naira benar-benar tidak mengerti. Kenapa ini bisa terjadi coba? Dia sudah berusaha sekuat mungkin mencari di mana keberadaan Andi dan Andri, dan hanya dalam hitungan jam semuanya gagal.
“Ini sudah lebih dari sepuluh jam dan belum ada kabar sama sekali dari mereka.”
Deva melihat jam dinding. Jika sudah lebih dari sepuluh jam belum juga ada kabar, persentase keberhasilan mereka akan semakin menurun.
Kalau sampai satu kali dua puluh empat jam mereka belum juga menemukan Andi dan Andri, maka fix, mereka harus segera mencari cara lain untuk menyelesaikan kasus ini. Segera.
Farah juga ikut kalap. Masalah semakin lama bukan semakin muncul sinar terangnya justru malah semakin runyam. Entah kapan dan bagaimana masalah ini bisa diselesaikan, belum ada yang tahu. Mereka baru saja menyelesaikan ujian selama dua hari dan masalah semakin bertambah. Lihatlah, belum ada satu pun masalah lain yang terpecahkan selain diketahuinya pemilik mobil alias Pak Handoko. Dan sekarang, mereka yang seharusnya bisa segera membongkar apa yang Bu Ratna lakukan menjadi gagal. Bicara soal Bu Ratna, dia pasti tahu sesuatu bukan tentang bebasnya Andi dan Andri.
Farah berdiri. “Hei, jika Andi dan Andri berhasil meloloskan diri, bukankah itu artinya Bu Ratna campur tangan?”
“Itu yang kita semua harapkan, Farah,” Dave berdiri dari tempat duduknya. “Tapi setelah gue ke sana dan mengintrogasi Bu Ratna, terlihat Bu Ratna sama sekali tidak melakukan apa pun.”
“Kamu bisa aja gak tau, Dave.”
Dave menggeleng. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku, menyalakan, mengetuk, menggeser, kemudian menunjukkannya ke semua.
“Itu …?” suara Farah tertahan. Dia tidak salah lihat, bukan? Di layar ponselnya terlihat Bu Ratna yang duduk di meja kerjanya sambil membolak-balik lembar kertas ujian mereka tadi siang.
“Gue sempat naruh CCTV mini di dalam rumah Bu Ratna dan juga alat sadap di mobil Bu Ratna kemarin. Satu harian ini gue pantau, tapi Bu Ratna sama sekali tidak ada ngelakuin apa pun kecuali memeriksa hasil ujian kita,” terang Dave. Saat dia berkunjung ke rumah Bu Ratna kemarin, saat Bu Ratna pergi ke dapur untuk menyiapkan minum untuknya, Dave pergi ke kamar BU Ratna untuk meletakkan CCTV mini yang dia bawa di sana. Satu lagi ditelakkannya di ruang tamu. Soal penyadap, Dave letakkan di mobil Bu Ratna saat dia pulang.
“Kalau Bu Ratna turun tangan, seharusnya dia menerima telepon dari seseorang yang mengabari kalau anaknya berhasil diselamatkan.” Deva menjentikkan jarinya. “What time did you put that down?” tanya Deva.
Dave menyebutkan kapan dia datang ke rumah Bu Ratna.
Deva berpikir sejenak, “Baru delapan jam, artinya Bu Ratna sudah diberi kabar dua jam sebelum lo datang dan meletakkan CCTV di sana. Farah bener, Bu Ratna pasti adalah satu di antara orang-orang yang berusaha menyelamatkan Andi dan Andri.”
“Terus sekarang kita harus gimana?” Naira yang bertanya.
Alva terlihat memikirkan sesuatu.
“Untuk sekarang, lo terus pantau pergerakan Bu Ratna, Dave.”
Dave mengangguk.
“Untuk lo, Nai, coba cari tahu siapa orangtua Mala. Kita harus gali lebih dalam tentang Mala supaya tahu motif apa yang mendasari kenapa Mala dijadikan target pembunuhan.”
Naira mengangguk, kembali ke laptopnya. Jarinya dengan cepat menari di atas keyboard.
***
Dua puluh jam sudah berlalu. Sekarang sudah pukul lima pagi dan Agung serta Rudi belum juga tidur. Mereka masih siaga di ruang kerja, menunggu telepon dari dari kepolisian Sydney. Kemungkinan bahwa mereka akan berhasil mendapatkan si kembar kian menipis karena waktu terus berjalan. Semakin banyak waktu yang terlewatkan begitu saja tanpa ada kabar menggembirakan, artinya si kembar dan orang yang membantunya melarikan diri semakin jauh jaraknya. Itu tidak bisa dipungkiri. Dan itulah yang sejak tadi Agung cemaskan. Dia tidak tahu harus bilang apa pada Raka nanti kalau si kembar benar-benar hilang dari tangan mereka.
Rudi menguap, matanya sudah panas sejak tadi, mengantuk hendak tidur. Namun dia segan karena Agung tetap terjaga.
“Kalau ngantuk tidur saja, Rud,” ujar Agung yang saat itu memijat pelipisnya.
Dua jam lagi berlalu. Rudi akhirnya mengabaikan rasa hormatnya. Dia sudah tidak tahan lagi menahan rasa kantuknya dan memutuskan untuk tidur. Sedangkan Agung sudah kehilangan rasa kantuknya. Dia terus berharap bahwa si kembar itu bisa ditemukan kembali.
Detik berikutnya setelah dia mengucapkan harapannya dalam hati, telepon di depannya pun berderit. Refleks, Agung menerima telepon itu.