"Kau sudah bicara dengan Safiya?" tanya Hamzah kepada Iqbal setelah sampai rumah.
"Sudah, Yah!" lelaki berwajah tampan itu menjawab singkat, bahkan datar.
Tatapan Hamzah tertuju pada Iqbal yang asik dengan ponselnya. "Lalu apa jawabanya?"
Iqbal mendesah kasar, menatap wajah serius ayahnya, lalu menjawab. "Dia tetap tidak mau dijodohkan, Yah."
"Kurang ajar tuh anak! Sudah buta masih saja nyusain mau seenaknya sendiri," ucap Hamzah penuh dengan amarah.
"Jangan terlalu keras padanya, Yah! Dia juga anak ayah kan? Kenapa harus terus menerus menggunakan kekerasan bila menyangkut, Safiya, Yah?" tanya Iqbal dipenuhi rasa penasaran.
Mata Hamzah langsung menyorot ke arah wajah putranya. Baru kali ini Iqbal memprotes apa yang dia lakukan.
"Kenapa kau membela orang yang memb*n*h ibumu?" tanya Hamzah dengan sorot mata yang tak bersahabat.
Iqbal menunduk bukan karena takut, dia hanya merasa ayahnya ini semakin menjadi menyalahkan adiknya. Dan hari ini, dia seolah ditampar oleh kenyataan yang diungkap Safiya siang tadi.
"Ayah, ibu meninggal karena sudah takdirnya. Garis hidup yang harus berakhir saat Safiya lahir. Apa ayah pikir pitrimu itu mau dilahirkan, kalau dia tahu nyawa ibunya harus tiada?" Iqbal sedikit mengeraskan suaranya dengan emosi tertahan.
Hamzah hanya diam saja, lelaki itu mungkin saja sedang berpikir kalau apa yang dikatakan putranya ada benarnya.
"Ayah punya banyak uang, kenapa harus Safiya menerima pinangan Samir dulu baru ia bisa dioperasi?"
Iqbal berdecih, dia tak bisa menahan segala kegundahan yang ia tahan sejak siang tadi. Ucapan Safiya sungguh berdampak luar biasa untuknya.
"Jadi, kau sekarang mulai menyayangi adikmu?" tanya Hamzah seraya tak percaya.
"Terserah ayah mau bicara apa. Aku hanya berharap, perjodohan ini tidak terjadi. Kau harusnya malu menukar penglihatan anakmu demi ikatan persahabatan yang tak ayah tahu bagaimana endingnya," jawab Iqbal langsung pergi meninggalkan ayahnya.
"Ck. Anak yang aku harapkan bisa mewakili semua perintahku, pada akhirnya malah mencelaku demi adiknya yang buta itu," gerutu Hamzah.
Lelaki paruh baya itu mulai beranjak untuk ke kamar putrinya. Masih ada waktu satu hari lagi, hingga ke acara pertemuan dua keluarga.
"Kau harus mau, Safiya!"
Hamzah menatap pintu bercat hitam itu dengan perasaan tak menentu. Sedetik dua detik berlalu, lelaki itu menekan handel pintu untuk membukanya.
"Dikunci," gumam Hamzah.
"Safiya .... Ayah ingin bicara. Buka pintunya!"
Lelaki itu masih setia berdiri di depan pintu kamar putrinya.
"Ucapan Iqbal ada benarnya. Aku harus merubah sikapku, kalau anak ini mau menurut padaku," gumam Hamzah.
Suara kunci dibuka mulai terdengar, tak lama Safiya membuka pintu itu dan memberikan ruang agar ayahnya masuk ke dalam kamarnya.
"Ada apa, Yah? Bukankah ayah tak pernah menginjakkan kaki ke kamarku, meski aku sakit?"
"Kau ingin aku meminta maaf atas semua perlakuan ayah padamu?" Hamzah akan menuruti apa maunya Safiya, asal perjodohan tetap terlaksana.
Sayangnya, gadis itu hanya diam seribu bahasa dengan wajah datarnya.
"Safiya ...?"
"Aku mendengarnya, Yah. Silakan katakan apa tujuanmu ke kamarku?" tanya Safiya.
"Terimalah pinangan sahabat ayah untuk putranya. Kalau ibumu masih ada, dia pasti menceritakan apa yang sebanarnya terjadi, sehingga ada perjodohan ini, Safiya."
Safiya menoleh dan mengangkat pandangannya ke arah Hamzah. "Jangan bawa-bawa orang yang sudah meninggal, Yah!"
"Tapi semua benar, Safiya."
"Dan mau ayah bilang padaku ratusan kali pun, aku tak akan menerima perjodohan ini."
Hamzah merasa kesal kepada putrinya. Hanya saja, ia tetap diam tidak mengutarakan kemarahan di depan Safiya.
"Kau tak mau melihat lagi?" tanya Hamzah dengan suara pelan penuh dengan harapan.
"Mau, Yah. Tapi aku tak mau jika penglihatanku harus ditukar dengan perjodohan," jawab Safiya lugas.
"Apa aku harus memohon bersimpuh di kakimu, Safiya?" tanya Hamzah lagi.
Safiya mundur dua langkah dari tempatnya berdiri. "Tidak perlu, Yah! Silakan keluar dari kamarku, aku sedang tidak ingin diganggu!"
"Ayah minta maaf kalau perlakuan ayah selama ini membuat kamu sedih bahkan sakit hati, Safiya. Tapi, aku tahu kamu adalah anak yang baik, meski aku besarkan dengan tidak baik."
"Aku sangat yakin kalau kamu pasti menuruti semua inginku. Katakanlah kalau ayah ini serakah, tapi semua ini sudah menjadi sebuah perjanjian yang harua segera ditepati."
Setelah mengatakan itu, Hamzah berlalu dari kamar Safiya. Hanya selang beberapa detik dari pintu kamar yang tertutup, Safiya duduk bersimpuh di lantai dengan air mata mulai menggenang.
"Ya Allah, kenapa aku selalu mendapat ketidak adilan dari orang tuaku sendiri? Sekalinya aku diinginkan dan diakui, aku harus menuruti semua keinginannya."
Safiya menangis sendirian, memeluk tubuhnya sendiri. Mengobati luka hatinya sendiri. Tak ada satupun yang tahu, betapa hancur dan rapuhnya hatinya.
___
Sedangkan di kamarnya, Hamzah duduk di sofa dengan penampilan berantakan. Besok sore, adalah waktu yang di tentukan sahabatnya untuk bertemu. Sedangkan Safiya, masih belum menyetujui apa yang dia mau.
"Iqbal benar, semua memang salahku. Seandainya saja aku tak menyalahkan Safiya atas kematian ibunya, semua tak akan rumit seperti saat ini," ucap Hamzah penuh dengan penyesalan.
Sayangnya, luka putrinya sudah terpatri di sanubari. Sulit diobati, apalagi sekadar mencari simpati. Hamzah menghembuskan nafas panjang. Meski detik ini dia ungkap rasa sayang untuk putri semata wayang pun terasa mengambang.
Tak akan masuk ke hati Safiya dengan begitu mudah. Karena luka batik tak akan sembuh di obati dengan cara apa pun. Kecuali rasa ikhlas dan tulus.
Tatapan mata Hamzah tertuju pada foto mendiang istrinya. Mata yang biasa memancarkan ketegasan kini terlihat sayu seolah menyimpan ribuan luka yang tak terlihat.
"Kau marah padaku kan?" Hamzah tertawa lirih dengan wajah menunduk.
Selang beberapa saat, lelaki paruh baya itu mengangkat kembali wajahnya. "Dia menjadi putri yang aku sisihkan. Aku tak menepati kata terakhirmu, yang ingin aku menjaga serta memberikan seluruh cinta pada Safiya."
"Hal yang aku pikir tak akan terjadi, kini mulai menyeruak dan akhirnya menuntut diriku untuk memohon padanya, Dania."
"Akmal menelponku dan membahas masalah perjodohan beberapa tahun silam. Dia bahkan akan memberikan penglihatan itu untuk Safiya. Tapi, aku terlanjur membuat putrimu kecewa, dia menolak untuk dijodohkan dengan seribu alasan."
"Tinggal beberapa jam lagi, dan aku masih belum bisa mendapatkan persetujuan Safiya. Apa yang harus aku lakukan, Dania?"
Hamzah merasa frustasi karena tak ada yang membantu merayu Safiya. Anak sulungnya saja tak bisa diandalkan, karena Iqbal sejak dulu tak pernah respeck ke adiknya itu.
___
Di lain tempat, Samir yang tahu jika papanya pulang terlambat langsung menuju rumah. Dia tak nongkrong di kafe seperti yang sering dilakukan. Sore ini tujuannya adalah rumah.
Sampai di halaman rumah, ia memarkirkan kendaraan mewah itu dengan asal. Melempar kunci kepada satpam untuk membenarkan letak mobilnya.
"Tolong parkirkan dengan benar ya, Pak!"
"Siap, Den Samir."
"Samir, Pak. Enggak usah pakai Den segala," Samir selalu protes kalau disebut dengan kata Den.
Satpam hanya nyengir tak mengikuti kemauan majikannya.
Langkah Samir terburu-buru masuk ke dalam rumah, orang yang paling ingin ia temui adalah mamamya.
"Mama ...!" Samir memanggil sengan senyum lebar.
Wanita anggun yang memakai dres warna abu itu mengangkat pandangannya, hingga tatapannya tertuju pada putranya.
"Ucap salam dulu, Samir!"
"Kelamaan, Ma. Darurat."
Santi menggeleng pelan, kadang merasa kesal dengan sikap putranya. Meski sudah dewasa, terkadang sikapnya melebihi anak balita.
"Ma, aku mau ngomong penting!" Samir menatap serius ke arah mamanya.
Santi mengeryit merasa aneh dengan Samir yang mendadak serius.
"Ada apa?" tanya Santi mencoba tenang.
"Kalau aku menolak perjodohan ini, apa boleh?" tanya Samir dengan ekspresi was-was.
"Kamu sudah punya cewek lain?" tanya Santi.
Samir menggeleng dengan tatapan tertuju pada mamanya.
"Lalu kenapa kau menolak?" tanya Santi menatap serius ke Samir.
"Dia buta, Ma. Masa papa dan Mama tega nikahin aku dengan gadis cac@t?" Samir sengaja bicara lirih di akhir kalimat.
Santi mengangguk paham. Putranya merasa malu karena punya pendamping tak sempurna secara fisik.
"Dia juga tak mengingikan di posisi seperti itu, Samir. Mama yakin, dia juga pasti menolak perjodohan ini," jawab Santi.
Senyum simpul terpatri indah di bibir Samir. "Lebih bagus dong kalau menolak."
Santi secara reflek menjewer telinga putranya, hingga Samir mengaduh.
"Aduh, Ma!"
"Semua sudah perjanjian papa dan ayahnya gadis itu, Sayang. Sebelum perusahaan papamu berjaya, ayahnya Safiya adalah penolong dari segala kesulitan yang kami hadapi."
"Suka tidak suka, kamu tetap akan menikah dengan gadis itu. Lagi pula, papa kamu berjanji akan mengobati penglihatan Safiya, sebelum kalian menikah," jelas Santi.
"Jadi, penawaran aku gagal, Ma?" Samir bertanya dengan wajah dibuat sesendu mungkin.
Santi mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan sang putra.
"Mama sama papa aneh, mau aja punya menantu yang punya keterbatasan. Biasanya, orang tua akan melihat bebet bobot dulu, enggak asal cari cewek," gerutu Samir masih terdengar tidak enak dipendengaran Santi.
Hembusan nafas panjang keluar dari bibir wanita itu. Tatapan serius tertuju pada Samir. Membuat lelaki berparas rupawan itu sedikit merasa takut.
"Dia buta karena kecelakaan waktu remaja, Samir. Kau tahu semua kisahnya dengan jelas. Jangan buat gadis itu semakin terkucilkan jika nanti ada pertemuan dengan sahabat papa!"
"Iya, Ma!" Samir akhirnya hanya bisa pasrah akan kesepakatan kedua orang tuanya. Dia masih berharap, Safiya yang menolak perjodohan itu, gagal.
'Harapan satu-satunya ada pada gadis itu,' gumam Samir dalam hati.