Bab. 6. Safiya Tetap Menolak Dijodohkan.

1425 Words
"Nona ...!" Suara Pak Leo akhirnya membuyarkan pandangan kedua manusia beda jenis kelamin itu. "Ah, iya, Pak, saya baik-baik saja," jawab Safiya menoleh ke arah sopirnya. Tatapan gadis itu juga tertuju pada lelaki yang tak sengaja dia tabrak. "Maaf!" Safiya mengambil paper bag yang terjatuh kemudian meninggalkan lelaki itu. "Dasar wanita aneh!" gumam Samir. Masih dengan memandang ke arah Safiya yang sudah melangkah jauh. "Aneh, tapi dia cantik." celetuk Radit sahabat sekaligus rekan kerja Samir di perusahaan papanya. Samir melotot ke arah sahabatnya itu kemudiian meneruskan langkah. Bahkan ia melupakan tujuan utamanya datang ke mall. "Samir, kau ini mau kemana?" tanya Radit yang mulai kesal mengikuti langkah sahabatnya. "Owh, iya. Aku mau ganti ponselku," jawab Samir yang salah memilih jalan. "Gara-gara ditabrak cewek cantik langsung pikun," celetuk Radit lirih, namun masih terdengar jelas oleh Samir. "Kalau kamu asal bicara lagi, aku pukul pakai sepatu!" Samir benar-benar kesal kepada Radit. Radit malah tertawa karena kalimat ancaman dari sahabatnya itu. Keduanya masuk ke toko ponsel dengan brand ternama. Samir tak butuh waktu lama, untuk menentukan pilihannya. Dia mengutarakan apa yang akan dia beli, setelah merasa cocok dengan barang yang dia pilih, Samir melakukan p********n. "Ayo kembali ke perusahaan!" ajak Samir setelah selesai dengan urusannya. "Ayo, setidaknya cari makan siang dulu karena aku lapar," jawab Radit. "Iya, aku tahu, Radit!" Kedua lelaki itu mencari restoran di gedung yang sama. Samir masuk ke restoran yang menyediakan makanan jepang. "Kau bisa menelan makanan Jepang tidak?" tanya Samir kepada sahabatnya. "Pertanyaanmu tidak bermutu!" Radit menjawab dengan menatap kesal ke arah bos sekaligus sahabatnya. ___ "Pak, apa pun yang terjadi hari ini, jangan beritahu Ayah dan Kakak ya?" Safiya benar-benar memohon kepada lelaki paruh baya yang bertugas menjadi sopirnya. "Iya, Non. Mengenai mata Anda yang sudah bisa melihat lagi, saya tidak akan beritahu siapa pun," jawab Pak Leo dengan menatap yakin ke arah Safiya. "Terima kasih ya, Pak!" "Jangan berterima kasih, Non. Ini sudah tugas saya." Safiya merasa lega karena Pak Leo mau menjaga rahasianya. Dia tak akan risau lagi mengenai itu, dan untuk ayahnya, ia tak akan memberitahu berita bahagia ini, karena merasa tak ada gunanya. Perjalanan kembali ke rumah, siang itu terasa begitu cepat. Tepat jam dua siang, ia sampai. Rencana Safiya, dia akan istirahat dulu sebentar, sebelum dia membuat beberapa akun sosmed untuk menghapus rasa sepi yang selama ini ia rasakan. "Kembali bersandiwara seperti sedia kala." Safiya bergumam lirih. "Pokoknya hati-hati jangan sampai membuat orang rumah curiga, Nona," ucap Pak Leo. "Iya, Pak. Tolong bawakan barang-barangku ke kamar!" titah Safiya sopan. "Siap, Non." Safiya berjalan lebih dulu, masuk ke dalam rumah. Sampai di ruang tengah, suara Iqbal menginteruksi. "Aku bilang aku akan bicara, kenapa kamu malah baru pulang?" tanya Iqbal dengan suara khas orang marah. Langkah kaki Safiya berhenti, dia menyuruh sopirnya lebih dulu membawa barangnya ke kamar. Tatapan Iqbal tertuju pada barang yang dibawa sopir adiknya. "Ada peningkatan, orang buta bisa belanja," ucap Iqbal dengan kalimat meremehkan. "Kakak, sebenarnya kenapa? Kamu kesel karena aku puang telat, atau iri karena aku beli sesuatu?" tanya Safiya dengan nada lembut. "Ish, siapa yang iri, aku bisa kemana saja sendirian, tidak seperti kamu yang selalu saja merepotkan orang sekitar." "Aku belanja kebutuhan wanita, Kak. Tidak mungkin aku memyuruhmu kan?" Safiya berbalik arah menuju Iqbal yang duduk di sofa ruang tengah. Rasanya, ia harus menunda waktu istirahat untuk menuruti keinginan kakaknya. Kalau tidak penting, tentu saja Iqbal tidak akan segusar sekarang. "Katakan, ada apa?" tanya Safiya yang mulai duduk di sofa kosong depan kakaknya. Helaan nafas panjang terdengar berat, keluar dari bibir lelaki berwajah tampan itu. Iqbal menatap wajah adiknya dengan begitu lekat. Rasanya, tenggorokan pun kering nan tercekat. Bagi pemuda itu, dia tak ada wewenang untuk mengurusi keinginan ayahnya. Hanya saja, desakan Hamzah sedikit membuat dirinya terbebani. "Ikuti saja keinginan ayah, kalau kamu ingin melihat dunia lagi." Perkataan Iqbal membuat Safiya menatap wajah tampan itu dengan berkaca-kaca. "Kak, sekali saja aku ingin kau memberikan dukungan kepadaku." Air mata Safiya tumpah, rasa sedih kembali menyelimuti hatinya. "Aku pernah semalaman tak bisa tidur hanya mengingat kapan aku membuatmu kecewa atau terluka? Sepanjang malam, aku memgingat kenangan masa kecilku, dan aku tak menemukan ingatan, di mana aku kurang ajar terhadapmu." "Lalu, kenapa kau membenciku? Kau tak mau menganggap aku saudara kandungmu. Dengan alasan aku adalah penyebab ibu tiada." "Memangnya, aku yang meminta dilahirkan dengan menukar nyawa ibu? Aku tidak pernah tahu rencana Allah seperti apa, Kak? Dan kamu selalu menyalahkanku atas takdir Allah yang tertuju pada ibu." Safiya merasa lega karena mengungkapkan perasaan kesalnya kepada kakaknya. Tetapi, dia juga tak mau melihat wajah tampan itu merasa bersalah. Dan setelah penglihatan itu kembali, ia bisa melihat reaksi sekecil apa pun dari lawan bicaranya. Safiya menghapus air matanya, dia menghembuskan nafas agar dadanya tak merasa sesak. "Keinginanku kau membelaku itu musnah, Kak. Sejak kecil pun, kalau aku tiada kamu akan merasa bahagia." "Tidak, bukan begitu, Safiya!" Iqbal menyanggah sangkaan adiknya. Safiya tersenyum miris dengan pandangan lurus ke depan. "Kau tak mau mengakuinya. Ayah pun aku rasa juga punya pikiran yang sama." "Jangan ngaco!" Iqbal kembali menyangkal, hal itu membuat gadis cantik tertawa terpingkal dengan air mata berlinang. Jemari lentik itu menghapus kembali air mata yang membuat pipi mulusnya basah. "Itu faktanya, Kak." Safiya menjeda ucapannya, menarik nafas dalam karena merasa sesak. "Seharusnya, sebagai kakakku satu-satunya, kau bisa membelaku dan memberikan kasih sayangmu itu, Kak. Tapi, kau sama saja dengan ayah, akan memeberikan kebaikan kalau kau membutuhkan sesuatu dariku." "Safiya, aku pun tak menginginkan kau nikah muda. Terlebih dengan kondisi kamu seperti ini. Setidaknya kau turuti kemauan ayah agar penglihatanmu sembuh," jawab Iqbal yang berdiri dari duduknya dan menkoyak kedua pundak adiknya. Wajah ayu yang sedikit memerah karena tangis itu menengadah. Menatap dari jarak dekat wajah yang mirip dengannya dalam versi pria. 'Akhirnya, kau mau mendekat ke arahku, Kak. Meski dengan cara yang tak aku suka,' monolog Safiya dalam hati. "Bagaimana bisa kau menganggap enteng sebuah perjodohan, Kak?" Safiya menjawab dengan suara lantang penuh dengan pertanyaan. Membuat gaduh rumah yang biasa sepi meski ada orang yang menghuni. Bahkan, para asisten rumah tangga pun merasa penasaran dengan apa yang terjadi di ruang tengah. "Aku ingin melihat kau bisa melihat lagi, Safiya. Kalau kau bisa melihat, setidaknya kau bisa melakukan apa pun. Dan ini adalah kesemptan dirimu untuk pergi dari situasi yang beberapa tahun ini membelenggu dirimu," jelas Iqbal. "Tapi aku baru mau berusia dua puluh tahun, Kak. Kalau aku menikah, bagaimana nasibku. Aku juga ingin menyelesaikan kuliah dan mengejar mimpiku," ucap Safiya dengan nada frustasi. "Kau bisa bicarakan dengan calon suamimu. Aku rasa dia orang baik. Kalau kau bisa melakukan perjanjian dengannya, apa pun yang kau impikan akan terwujud," jelas Iqbal. "Saat ini, keputusanku sama, Kak. Aku tidak mau menikah. Bilang saja kepada ayah, atas keptusanku. Aku tidak takut kalau dia akan murka." Setelah mengatakan itu, Safiya berdiri dan meninggalkaj Iqbal seorang diri. Sambil berkacak pinggang, lelaki itu mengusap kasar rambut tebalnya. "Dasar keras kepala!" umpat Iqbal dengan nada kesal. ____ "Samir, apa jawabanmu mengenai perjodohan yang papa sudah atur?" tanya Akmal serius ke arah putranya. "Pa, apa tidak ada perempuan yang lain?" Samir menjawab dengan sebuah pertanyaan menatap kesal ke arah papanya. "Apa karena dia buta?" tanya Akmal "Iya. Kalau dia menerima pinangan kita, papa akan bawa dia ke luar negri untuk operasi. Kata ayahnya, saat umur enam belas tahun, Safiya kena percikan kembang api," jelas Akmal lagi. "Dia masih umur 19, Pa." "Kamu jangan banyak alasan, Samir. Dia gadis yang cantik dan baik. Aku yakin, kalian akan bisa bahagia. Mama kamu saja sudah punya keyakinan setelah aku memperlihatkan foto gadis itu," ucap Akmal tak mau dibantah. Samir hanya diam sambil memainkan jemarinya di dagunya. Papanya ini, kalau punya keinginan tak pernah bisa dibantah. 'Aku berharap, gadis itu menolak perjodohan ini,' gumam Samir dalam hati. "Boleh aku lihat fotonya?" Samir menatap serius ke arah Akmal. "Tentu saja," jawab Akmal sambil mengambil ponsel dari saku jasnya. Setelah beberapa saat, ia memberikan ponsel itu kepada putranya. Samir menerima dan menatap layar ponsel tanpa kedip. Semua gerak Samir tak luput dari Akmal yang terus memperhatikan. "Seperti gadis yang menabrakku tadi siang," gumam Samir yang terdengar jelas oleh papanya. "Kau mengenalnya?" tanya Akmal penasaran. Samir menggeleng, "Hanya mirip, kan belum tentu orang yang sama, Pa!" Samir memberikan ponsel milik papanya, Akmal berdiri dari duduknya, ia akan kembali ke ruanganya untum menyelesaikan pekerjaan. "Lusa kita akan bertemu dengan gadis itu. Awas saja kalau kau berlasan ini dan itu!" "Iya!" Samir menjawab dengan suara datar. Lelaki itu mengusap wajahnya, sebenarnya dia tak mau dijodohkan. Hanya saja, dia tak punya cara untuk menolak. Samir berharap, gadis itu yang menolak, agar pernikahan paksa ini tak terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD