Samir merebahkan tubuhnya di kasur empuk miliknya. Pikirannya mulai melayang memikirkan nasib dirinya yang akan hidup dengan orang asing tanpa rasa cinta.
Terlebih gadis itu buta, dan dia harus menunggu papanya membawanya untuk mencari donatur mata lebih dahulu.
"Kalau papa kekeh dengan rencana perjodohan ini, aku juga punya permintaan untuk menerima semua keinginan papa," ucap Samir dengan senyum tipis mengembang di bibirnya.
Lelaki muda itu seolah punya cara jitu untuk menghadapi segala hal mengenai perjodohan itu.
"Kita lihat apa papa akan menuruti apa yang aku mau atau tidak? Kalau tidak pun, bukan aku yang rugi," gumam Samir.
Dia mulai bangkit dari tempat tidurnya, mulai gerah dengan semua baju kerja yang masih menempel, Samir memutuskan untuk mandi agar merasa lebih fres. Melihat ke jam dinding, papanya sebentar lagi akan sampai rumah.
Tentu saja, dia akan dipanggil untuk bicara mengenai perjodohan itu lagi. Karena acara pertemuan dengan sahabat papanya, akan dilakukan besok malam di sebuah restoran ternama.
Samir adalah anak muda generasi milenial, seharusnya, dia tak akan mendapati acara perjodohan seperti jaman Siti Nurbaya. Nyatanya, dia dan gadis itu terjebak dalam situasi yang tak mereka inginkan.
Setelah beberapa menit berada di kamar mandi, Samir keluar dengan handuk warna putih menutup bagian bawah tububnya. Sisa-sisa air masih terihat jelas, membawa aroma mint segar pada sabun yang ia gunakan.
Langkahnya menuju ruang ganti, memilih baju santai untuk ia kenakan di rumah. Setelah itu, dia mengeringkan rambut tebalnya menggunakan handuk. Membiarkan rambut itu berantakan, namun semakin membuat ketampanan Samir bertambah.
Baru keluar dari ruangan ganti, Samir sudah dikagetkan dengan kedatangan mamanya secara mendadak.
"Ada apa, Ma? Bikin kaget saja?" Samir memang kaget dan bukan pura-pura.
"Syukur kalau sudah mandi. Papa kamu baru sampai, tapi pengen bicara denganmu sekarang," jawab Santi dengan menatap wajah putranya.
"Sudah aku duga!" Samir mengungkapkan felling yang sejak tadi ia rasa.
"Ayo turun, sekalian mama buatkan kopi!" ajak Santi.
"Aku rapikan rambut dulu, Ma!"
Santi mengangguk, kemudian meninggalkan kamar putranya. Sedangkan Samir masih merasa aneh dengan papanya. Siang tadi, sudah bicara di kantor, sekarang harus ada pembicaraan ulang.
___
Aroma kopi menguar memenuhi ruang tengah sebuah rumah mewah berlantai dua. Di sana sepasang suami istri duduk bersisian sambil melihat acara sebuah tv.
Tak lama, orang yang ditunggu pun datang, mulai mengambil tempat duduk di hadapan kedua orang tuanya.
"Ada apa, Pa?" tanya Samir secara terang-terangan ke pokok masalah.
Tatapan Akmal fokus pada wajah tampan yang sudah terlihat segar. "Mama bilang kamu menolak dijodohkan dengan Safiya karena dia buta."
"Kalaupun iya, kalian tak akan pernah membiarkan aku menolaknya," jawab Samir dengan nada bicara pasrah.
"Ini masalah perjanjian abadi, Samir. Kebetulan Allah memberikan kita anak sepasang yang memang sesuai dengan kesepakatan perjodohan," jelas Akmal.
"Kalau begitu, aku juga punya persyaratan untuk menerima semua keinginan kalian berdua," ucap Samir dengan nada serius.
Pasangan suami istri itu saling tatap, kemudian, Akmal bertanya apa yang diinginkan putranya.
"Apa itu?"
"Aku mau menikah dengan gadis itu, kalau papa sudah membawa dia operasi mata."
Akmal tak merasa kaget dengan kemauan anaknya. Karena dia memang merencanakan itu sejak awal. Meski dia sedikit aneh dengan sahabatnya, yang tetap membiarkan putrinya terus dalam kegelapan. Akmal, eggan bertanya.
"Siap. Itu sangat mudah untuk papa lakukan. Besok kalau kita sudah sepakat mengenai tanggal pertunangan, maka esoknya, papa akan bawa Safiya ke luar negeri untuk berobat.
"Satu lagi, Pa. Aku akan membeli apartemen untuk tempat tinggalku setelah menikah," ucap Samir seolah dia harus mengutarakan apa yang dia mau sebagai pertukaran dengan persetujuan perjodohan.
"Kenapa apartemen? Tidak beli rumah saja?" tanya Santi.
"Sebelum punya anak, akan lebih enak di apartemen, Ma," jawab Samir menatap lembut ke arah mamanya.
Wanita cantik di usia yang tak lagi muda itu menoleh ke arah suaminya, seolah mencari solusi untuk keinginan Samir.
"Tidak masalah. Itu juga termasuk investasi. Masalah rumah, itu harus dibahas bersama Safiya karena kalian yang akan menempati," sahut Akmal.
Samir mengangguk, kemudian obrolan berlanjut ke masalah pekerjaan. Samir yang masih belajar menangani bisnis, diminta lebih giat, agar gelar CEO segera dia dapatkan.
___
Seperti biasa, rumah mewah itu selalu sepi meski banyak orang yang menghuni. Sarapan pagi ini pun tak ada yang spesial, atmosfer dingin menyelimuti, tak ada percakapan apa pun.
Hingga saat semua santapan habis, Safiya yang pertama kali berdiri, mengambil tongkat bersiap untuk pergi. Karena dia sengaja menghindari percakapan yang mungkin saja terjadi.
Namun, pergerakannya terhenti, saat suara tegas itu menginterupsi.
"Duduk dulu, Safiya! Ayah ingin bicara sebentar!"
Seolah tak ingin dibantah, lelaki itu juga memberikan tatapan serius ke dua anaknya. Dengan ragu, Safiya kembali melipat tongkatnya, lalu duduk kembali.
"Ayah ingin meminta kejelasan. Kau tahu kan, malam ini, kita akan menghadiri undangan makan malam dengan sahabat Ayah?" tanya Hamzah menatap serius ke arah putrinya.
Kedua tangan Safiya mengepal erat di pangkuannya. Harus berapa kali ia sampaikan, kalau dia tak mau menerima perjodohan itu.
"Safiya ...?" Hamzah memanggil untuk mendapatkan jawaban yang masih ia tunggu.
"Maaf, Ayah. Aku tetap menolak perjodohan itu," jawab Safiya jujur dengan tatapan lurus.
"Kau harus mau dengan perjodohan itu karena mata kamu akan sembuh," ucap Hamzah tak mau mendengar penolakan.
Ssfiya tertawa pelan, hal itu membuat dua lelaki beda usia itu heran.
"Untuk apa semua itu, Ayah? Tanpa pengobatan apa pun, aku sudah bisa melihat!"
Pernyataan Safiya tentu saja membuat dua orang itu kaget.
"A-apa maksudmu?" tanya Iqbal yang mulai berdiri dan mendekat ke arah Safiya.
Safiya menoleh, menatap ke wajah tampan yang sayangnya membenci dirinya.
"Wajahmu tampan, Kak. Sayangnya, aku tak suka karena wajah kita sangat mirip," ucap Safiya lirih namun mengisyaratkan akan luka yang mendalam.
Bahkan, kini, matanya sudah berkaca-kaca.
"Bercandamu tidak lucu, Safiya!" bentak Hamzah dengan suara menggelegar karena sudah tak bisa menahan amarah.
Pandangan Safiya beralih kepada ayahnya. Sosok lelaki yang sejak dulu sangat membencinya. Alasannya, karena wanita yang dicintai meninggal karena hadirnya dirinya.
Luka apa lagi yang belum Safiya dapatkan? Semua sudah dia dapatkan dan seolah menjadi kisah sempurna untuk mengiringi kisah masa kecilnya hingga dia beranjak dewasa.
"Ayah tak percaya kalau aku bisa melihat wajah tampanmu itu?" tanya Safiya dengan senyum tipis namun penuh luka.
"Seminggu yang lalu, saat ayah dengan begitu tega mendorongku di ruang kerja, hingga bagian atas mataku terantuk meja."
"Ayah sudah lupa, saat air mata bercampur darah itu menjadi satu dan membasahi wajahku?" tanya Safiya dengan suara tak kalah menggema.
"Sekarang, untuk apa perjodohan itu kalau aku bisa melihat? Semua adalah alasanmu untuk mengusirku!" Benar begitu, bukan?" Safiya masih bicara dengan penuh amarah.
Air mata itu seperti air sungai yang deras mengalir, kedua tangan halus Safiya bergantian menyeka air mata itu.
"Kalau itu tujuanmu, Yah, dengan sangat sadar aku berkata, aku menerima perjodohan itu. Malam nanti, aku akan menemui keluarga itu dengan senang hati."
"Kau juga akan bertanya apa alasanku bukan?" Safiya menarik nafas dalam, sengaja menjeda ucapannya karena dadanya begitu terasa sesak.
"Aku juga tak mau berlama-lama hidup satu atap dengan manusia yang tak punya hati seperti kalian. Dengan pernikahan ini, aku juga bisa keluar dengan senang hati dari kartu keluarga yang memang tak kau inginkan."
Setelah mengatakan itu, Safiya meraih tongkat yang sejak dulu menemani dirinya dalam kegelapan. Dia menaruh benda itu di dalam tas. Kemudian berjalan meninggalkan dua orang yang masih tak percaya dengan semua yang terjadi.
Namun baru tiga langkah, Safiya berhenti. Tanpa menoleh ia kembali bicara. "Terima kasih kau tetap mengizinkanku berada di rumah ini, meski kau sangat membenciku."
Langkah kembali menyusuri ruangan hampa menuju halaman depan di mana Pak Leo sudah menunggu. Air mata Safiya tak bisa di bendung. Setelah keluar dari rumah itu, ia berlari dan memeluk erat sopir yang sudah dia anggap sebagai keluarga.
"Nona ...?" Pak Leo merasa bingung dengan keadaan bosnya yang sungguh menyedihkan.
"Pak, hari ini tolong bawa aku ke mana saja, asal jangan ke kampus!" pinta Safiya dalam pelukan lelaki paruh baya itu.
"Baik, Non. Mari masuk dulu ke mobil!" Pak Leo membukakan pintu mobil dengan pikiran berkecamuk.
'Apakah Nona sudah membongkar rahasia itu?' tanya Pak Leo dalam hati.
Tak menunggu lama, kendaraan roda empat itu meninggalkan pekarangan rumah. Safiya masih menangis dan terdengar begitu pilu. Setelah menemukan tempat yang pas, Pak Leo menghentikan laju kendaraan.
"Nona, boleh saya tahu Anda kenapa?"
Safiya menatap pria paruh baya dengan mengusap air matanya. Gadis itu mulai menceritakan yang terjadi kepada sopir pribadinya.
"Kalau nona mau, mari saya antar untuk lari sejauh mungkin, hingga ayah dan kakak anda tidak mengetahui keberadaan Anda," ucap Pak Leo yang merasa sedih dengan kisah hidup Safiya.
Gadis itu menggeleng, "Aku sudah menerima perjodohan itu, Pak. Aku berharap keluarga baruku akan menerima dan memberikan kasih sayang padaku. Ini juga caraku untuk keluar dari rumah itu, Pak!"
Pak Leo mengangguk, keputusan yang diambil Safiya mungkin memang benar. Dia sebagai orang yang menyayangi gadis itu, hanya bisa mendoakan agar kehidupan bosnya bisa bahagia.
Karena dia pun tahu, kesedihan Safiya itu terjadi sejak kecil. Kalau tidak ada para asisten rumah, pasti Safiya akan mengalami keburukan akan sikap sang ayah. Sungguh miris, anak yang lahir kedunia adalah bukti cinta kedua orang tua.
Nyatanya, Safiya menjadi luka yang tidak ada obat hingga ia menginjak usia dewasa. Hidup memang kejam, tapi semua itu perlahan dan pasti bisa dilewati oleh gadis malang berwajah ayu.