Bab. 10. Pertemuan Dua Keluarga.

1546 Words
Malam ini mungkin akan menjadi malam yang tak bisa dilupakan oleh seorang Safiya. Dia sedang duduk di depan meja rias, membuat wajahnya terlihat berbeda dari sebelumnya. Safiya sudah bertekad untuk menerima lamaran dari sahabat ayahnya. Berharap keluar dari rumah mendapatkan kebahagiaan yang ia impikan sejak kecil. Daripada ia menolak, dan akan menerima keburukan dari ayah juga sang kakak, gadis manis itu memilih menikah muda saja. Perihal semua mimpi dan cita-citanya, akan ia bicarakan nanti dengan keluarga itu. Ia juga tak mau berhenti kuliah yang menurutnya sudah setengah jalan. Hembusan nafas panjang keluar dari bibir Safiya saat makeup selesai ia lakukan. "Selesai. Aku tinggal memakai baju," monolog Safiya sambil menatap wajahnya di cermin. Paper bag pemberian ayahnya masih ditempat pertama ia meletakkan. Ia juga belum tahu isinya seperti apa, dan akan cocok apa tidak saat ia kenakan. Setelah Safiya berhasil mengeluarkan gaun itu, ia masih menatap kosong pada gaun berwarna navy dengan hiasan mutiara di bagian d**a. Kotak perhiasan dan sepatu untuk melengkapi penampilannya, Safiya akhirnya mencoba gaun itu. "Tidak buruk!" Safiya berhasil memakai gaun itu. Kemudian, ia memakai set perhiasan yang sudah ada. Tinggal menata rambut saja, yang akan ia biarkan tergerai lurus untuk menutupi bahunya yang sedikit terekspose. "Ternyata kamu cantik, Safiya." Gadis itu menatap wajahnya yang terlihat semakin anggun saja. "Ibu ... jika kamu masih hidup, perjodohan ini mungkin tak terasa berat untuk aku lewati." Safiya memakai hells setinggi tujuh centi. Jika saja dia tak marah dengan ayahnya, ia akan memberikan segudang pujian karena semua yang dia kenakan pas untuk dia kenakan. Sayanganya, ia enggan untuk sekadar berbasa-basi dengan ayahnya itu. Orang yang seharusnya memberikan perlindungan dengan banyak curahan kasih sayang, harus mementingkan ego dan membiarkan anaknya terluka. Parfum yang ada pun melengkapi dandanan Safiya. Ia tinggal menunggu seseorang untuk memanggilnya saja, lalu turun dan berangkat ke tempat acara. Sebelum berangkat, Safiya mengambil beberapa foto dan mengganti foto profilnya di beberapa akun sosmed yang ia punya. "Malam ini, semua perubahan akan terjadi pada hidupku. Entah apa yang akan terjadi di depan nanti, aku sudah berjalan sejauh ini, jadi, aku rasa aku tetap bisa menjalani apa yang seharusnya terjadi." Ketukan pintu terdengar menggema di kamar Safiya. Gadis itu mempersilakan seseorang untuk masuk karena pintunya tidak dikunci. Terlihat Mbak Ria berdiri di sana. "Nona, saya disuruh Bapak untuk memberitahu kalau anda disuruh turun," ucap Ria sopan. Mata wanita yang berumur tiga puluh delapan tahun ini berbinar kala melihat penampilan istimewa seorang Safiya. "Anda sangat cantik Non," puji Ria tulus. Safiya tersenyum sambil membawa tas yang sudah ia siapkan dan berjalan ke arah asisten rumah. "Mbak Ria enggak bercanda kan?" "Jujur dong, Non. Biasanya juga cantik. Tapi malam ini, Nona luar biasa cantik." "Terima kasih, Mbak. Doain acara malam ini lancar, agar aku bisa keluar dari sini dan bisa menjalani hidup tanpa beban." "Iya, Non." Ria menjawab dengan suara lirih. Jika boleh jujur, dia tak rela kalau Safiya harus pergi dari rumahnya sendiri. Hanya saja, dia tahu betapa perih kisah hidup gadis malang itu. Mungkin perjodohan ini menjadi jalan baru untuk masa depan Safiya agar lebih bahagia. "Ayo, Mbak!" Safiya menjawil dagu asisten rumahnya itu karena melamun. Keduanya melangkah menuju lantai bawah karena ayah serta kakaknya sudah menunggu di ruang tamu. Mata Iqbal pun terpesona dengan dandanan adiknya yang biasa tampil sederhana. "Enggak usah natap aku kaya gitu, Kak! Nanti bedakku luntur!" Safiya sengaja bicara terang-terangan agar kakaknya tak bengong. Senyum tipis hampir tak terlihat itu menambah cantik wajah ayu seorang Safiya Shakila. Gadis itu berjalan lebih dulu menuju mobil mewah yang akan digunakan untuk makan malam. Safiya memilih duduk di depan saja bersama Iqbal yang akan menjadi sopir. Sedangkan ayahnya biar duduk di kursi belakang. Safiya enggan berdampingan dengan lelaki paruh baya itu. Rasanya darahnya mendidih dan ingin mengumpat saja. Sepanjang perjalanan, hanya suara Hamzah yang terdengar. Lelaki itu memberitahu Safiya ini dan itu, agar nanti tak membuat malu. Namun gadis itu tak menghiraukan apa yang dibicarakan ayahnya. Menikmati perjalanan melihat lampu di mana-mana membuat Safiya banyak bersukur akan kesembuhanya. Iqbal pun enggan bicara, entah karena apa, yang jelas, lelaki itu tak banyak bicara. Mobil sampai di sebuah restoran bintang lima. Safiya merapikan dandanannya, sebelum ia turun dan menunggu Ayah juga sang kakak. Setelah Iqbal turun, tangan Safiya meraih lengan lelaki tampan berjas hitam itu. Tatapan Iqbal seolah tak suka dengan tindakan sang adik. Hanya saja, lelaki itu mulai pasrah saat Safiya berbisik. "Kau ini kakakku, jadi, kita sepantasnya terlihat akur bukan?" 'Jika saja kakak tidak jutek padaku, aku akan menjadi seorang adik yang bahagia,' ucap Safiya dalam hati. Saat masuk ke dalam restoran, jantung Safiya berdetak kencang. Dia belum pernah merasakan itu sebelumnya, hal itu membuat gadis itu menarik nafas dalam agar semua rasa aneh itu berkurang. "Mereka yang akan menjadi keluarga barumu. Bersikaplah yang sopan," ucap Iqbal. "Apa kau khawatir?" tanya Safiya sambil mendongak menatap wajah tampan kakaknya. "Tidak. Aku hanya tidak ingin malu karena perilakumu yang suka aneh," jawab Iqbal yang tak mau mengakui perasaan takutnya kepada adiknya. Hamzah menyapa Akmal dan keluarga, semua menatap ke arah gadis dengan penampilan anggun itu. "Maaf kalu kedatangan kami terlambat," ucap Hamzah. "Tidak, kami juga baru sampai," jawab Akmal dengan senyum merekah. "Ini Safiya, dan itu Iqbal kakaknya," ucap Hamzah memperkenalkan kepada Akmal. "Cantik sekali," puji Santi dengan tulus. "Ini putraku, Samir Al Rasyid, panggil saja Samir," ucap Akmal memperkenalkan. Samir bersalaman dengan Hamzah, Iqbal kemudian Safiya. Tatapan mata lelaki itu sulit diartikan. 'Dia seperti lelaki yang aku tabrak di mall itu?' Safiya bertanya pada dirinya sendiri. "Sepertinya kita pernah bertemu?" tanya Samir setelah semua duduk. Safiya menatap Samir beberapa detik, sebelum akhirnya menundukkan wajahnya. 'Sepertinya, dia mengingat wajahku?' Safiya berucap dalam hati. "Sebelum kita bicara panjang lebar, lebih baik kita nikmati makan malam dulu," ucap Akmal. Santi memberikan kode kepada pelayan restoran sehingga tak lama, hidangan terbaik mulai mengisi meja itu. Akmal sedikit bercerita bagaimana awal pertemuan dengan Hamzah kala masih belum sesukses sekarang. Santi pun merasa aneh dengan Safiya yang dikatakan but@, tapi malam ini datang seperti orang sehat yang tak punya kekurangan. Setelah makan malam selesai dengan segala pembicaraan random itu, akhirnya ibu kandung Samir itu memberanikan untuk bertanya. "Maaf Pak Hamzah, Safiya, aku sejak tadi menahan untuk tidak bertanya, hanya saja, aku tak bisa." Santi menjeda ucapannya menatap serius ke arah Safiya. "Safiya, yang aku tahu, katakan kau buta. Maaf, tapi malam ini, kau terlihat baik-baik saja?" tanya Santi dengan tatapan penuh tanya ke arah Safiya. Gadis bergaun navy itu tersenyum, senyum yang membuat Iqbal dan Samir merasa terpakau. Untuk Iqbal, dia baru pertama kali melihat senyum tulus dari adiknya. Dan Samir, dia merasa wanita di depannya ini begitu berbeda. "Atas izin Allah, hampir dua minggu ini mataku mendapat kesembuhan secara tak terduga, Tan," jawab Safiya. "Masya Allah, yang benar saja, Nak? Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Santi yang tak percaya. "Saya kepeleset dan tak menemukan pegangan, Tan. Sehingga tububku terpelanting dan bagian atas mataku terantuk meja," jawab Safiya jujur. Sedangkan Hamzah menahan nafas, dengan was-was, karena dia takut putrinya takut bicara jujur. Nyatanya, Safiya begitu pintar menyembunyikan kebenaran. Dan Hamzah hanya diam mendengarkan. "Mukzizat itu ada, Safiya. Om ikut senang dengan kesembuhanmu. Kenapa ayahmu tak memberitahu kabar bahagia ini?" tanya Akmal menatap sahabtanya. Safiya terkekeh, menolah ke arah ayahnya kemudian menjawab, "Ayah ingin memberikan kejutan, Om!" Akmal dan sang istri tertawa pelan, sedangkan Samir mulai kesal karena apa yang ia harapkan mungkin tak akan terjadi. "Baiklah, kita ke inti pembicaraan saja," ucap Akmal. Safiya yang mulai nyaman, harus merasakan gelisah dan takut lagi. Akmal mulai menjelaskan pertemuan dua keluarga ini adalah pertemuan untuk sebuah perjodohan. Kedua orang yang dijodohkan itu tak memberikan satu patah kata pun. Karena mereka bingung mau menjawab apa. "Safiya, Samir, seperti yang sudah dijelaskan sebelum kita bertemu di sini, kalau kita jaman belum sukses punya perjanjian. Jika para istri hamil dan melahirkan cewek dan cowok, maka, kita akan mempersatukan lewat perjodohan," jelas Akmal menatap ke arah Samir dan Safiya. "Kami harap, kalian tak ada paksaan dengan keputusan untuk menerima perjodohan ini. Karena kalian akan hidup berumah tangga seumur hidup, bukan sehari atau dua hari," sambung Santi. "Untuk Safiya sudah menerima sejak kami bicarakan di rumah, Akmal. Aku juga harus tahu Samir mau menerima perjodohan ini atau tidak?" tanya Hamzah. "Samir pun tak menolak, dia menganggap sebagai tanda baktinya kepada kedua orang tuanya," jawab Akmal. 'Si@l! Aku pikir gadis ini mau menolak perjodan ini, dia malah menerimanya. Gagal sudah apa yang aku inginkan,' ucap Samir dalam hati. "Om, sebelum ada pernikahan, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Safiya memandang Akmal penuh harap. "Apa, Nak. Katakan!" titah Akmal. "Aku masih kuliah baru enam semester, setelah menikah nanti, apakah aku masih boleh meneruskan kuliahku? Aku juga punya cita-cita, kalau anda dan putra anda tak memberikan batasan, tentu aku akan merasa senang meski harus menikah," ucap Safiya. Akmal tersenyum, dia melihat pancaran kesungguhan dalam mata Safiya. Gadis yang energik dan banyak impian ini akan cocok untuk putranya yang masih seenaknya saja. "Aku tidak pernah membatasi istri juga putraku, Safiya. Apalagi masalah menuntut ilmu. Aku akan membantu sampai kau lulus kuliah dan meraih mimpimu. Aku tidak akan menuntut kau memberikan cucu secara kilat." "Kalian masih muda, nikmati dulu waktu berdua itu, sebelum kalian sibuk mengurus anak kalian kelak," jelas Akmal. Safiya merasa bahagia karena Akmal bukan orang yang susah diajak berkompromi. Dia tinggal belajar karakter sang calon suami, agar menjadi istri yang baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD