11. Kesepakatan Akmal Dan Safiya.

1421 Words
Obrolan dua keluarga itu terus berlanjut, setelah meberitahu apa saja yang akan ia lukukan setelah menikah, Safiya hanya diam mendengarkan. Tak mau ikut campur yang bukan urusannya. Ia hanya sesekali berbincang hangat dengan Santi. Wanita itu sangat baik dan hangat. Baru sekali bertemu saja, sudah membuat hati Safiya bahagia. Merasa kalau seandainya ibunya masih ada, dia akan merasa lebih bahagia. Samir menatap lekat ke arah dua wanita beda usia itu. Tawa Safiya sangat tulus, siapa saja yang berada di dekatnya, akan merasa terhinoptis dengan cara bicara yang lemah lembut. 'Mama begitu bersikap terbuka, sedangkan aku dan dia hanya orang asing yang dipaksa untuk saling mengenal, lalu bersama,' ucap Samir dalam hati. "Safiya, boleh aku menyimpan nomor telponmu?" Pertanyaan Samir membuat perbincangan antara kedua lelaki dewasa itu berhenti dan fokus pada satu titik. Senyum terukir di bibir Akmal. Anaknya ini memang tak bisa berbasa-basi. "Boleh," ucap Safiya menyebutkan sederet angka yang langsung disimpan oleh Samir. Samir mulai mengirim pesan untuk memberitahu nomornya ke Safiya. Setelah selesai bertukar nomor telepon, Akmal mengakhiri pertemuan makan malam sekaligus obrolan mengenai perjodohan. Akmal memberitahu Hamzah, kalau satu minggu lagi, akan diadakan acara lamaran resmi untuk Safiya dan Samir. Keduanya tak bisa membantah, kecuali menikmati setiap hal yang akan terjadi. Santi merangkul bahu Safiya, tatapan lembut panuh kasih sayang itu langsung terekam jelas dalam ingatan gadis muda itu. Selama ini, dari keluarga inti pun, tak pernah mendapatkan perlakuan baik. Setelah berjalan keluar dari restoran, Iqbal berjalan lambat agar langkahnya sejajar dengan Samir. "Boleh minta waktumu sebentar saja?" tanya Iqbal menatap serius ke arah Samir. Samir hanya mengangguk, lalu berjalan pelan agar kakak dari calon istrinya ini mulai bicara. "Maafkan kedua orang tua kita karena harus mengikuti gaya kuno yang seharusnya tidak berjalan lagi," ucap Iqbal menjeda ucapannya. Iqbal juga berhenti berjalan dan menatap serius ke arah Samir. "Safiya juga tidak ingin dijodohkan. Terlebih umurnya juga masih sangat muda. Tapi, aku pikir, ini adalah keputusan terbaik untuk adikku." "Kenapa?" tanya Samir merasa aneh dengan ucapan Iqbal yang terakhir. "Aku belum bisa menceritakan alasannya. Hanya saja, aku ingin kau bisa menjadi teman, kakak, dan partner hidup yang baik untuknya. Anggaplah pernikahan ini sebuah permainan yang menyenangkan dengan gadis yang kau impikan." "Meski, kenyataan tak demikian, antara kau dan Safiya, tak ada celah untuk sekadar membantah. Semua sudah menjadi keputusan mutlak yang kau dan adikku pun, tak bisa menolak." Meski terdengar ambigu, penjelasan dari Iqbal dapat di mengerti oleh Samir. "Aku tidak akan berjanji, Kak. Karena aku sendiri belum paham kehidupan setelah menikah itu seperti apa. Ini bukan karena aku menikah dengan Safiya atau siapa, karena diantara kami benar-benar tidak ada kesiapan untuk ke arah sana," jawab Samir. "Ya, aku tahu, Samir. Maka, yang harus kau lakukan cukup menjaga adikku saja. Masalah kecocokan dalam rumah tangga, kalian bisa saling belajar bersama," ucap Iwbal menepuk pelan lengan Samir dengan senyum tipis. Samir tak lagi menjawab kecuali memberikan anggukan yang tampak ragu. Entah apa yang akan terjadi nanti, lelaki tampan ini enggan untuk sekadar bermimpi. Apalagi, acara lamaran yang sesungguhnya tinggal menghitung hari. Harapan yang ia tanam beberapa waktu lalu terasa musnah, dengan keputusan Samir meski mengajukan beberapa syarat kepada papanya. "Siapkan segalanya, Hamzah. Tepat malam minggu nanti, kita rayakan pertunangan untuk anak kita," ucap Akmal setelah sampai di depan kendaraan masing-masing. "Tentu saja, Akmal. Kita rayakan dan cari tanggal untuk pernikahan," jawab Hamzah dengan wajah riang. Lelaki itu seolah lupa dengan keadaan putrinya. Dia hanya mementingkan rasa bahagia untuk dirinya sendiri. Dan Safiya juga tak akan lagi peduli. Gadis itu setelah berpamitan dengan Santi, langsung masuk ke dalam mobil. Matanya juga sempat saling tatap dengan lelaki yang hanya hitungan hari akan menjadi suaminya. "Sungguh, semua tak ada yang terduga!" Safiya menggerutu sendiri dengan hembusan nafas panjang. Mobil mulai berjalan pelan meninggalkan restoran dengan kecepatan sedang. Safiya menikmati setiap jengkal waktu, dan indahnya pemandangan malam hari, yang lama tak ia temui. ___ "Bagaimana menurutmu, Samir?" tanya Akmal kepada putranya saat perjalanan pulang. "Apa?" Samir seolah tak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan oleh papanya. "Kau pura-pura bod*h!" Akmal sengaja memukul lengan Samir. "Maksud papa kamu, mengenai Safiya," sahut Santi. "Owh ... dia baik sepertinya. Cantik juga dan selebihnya aku belum tahu," jawab Samir cuek. Karena dia juga baru dua kali bertemu, dan belum ada obrolan secara berdua saja. Jadi, Samir tak paham dengan sifat asli seorang Safiya. "Mama yakin kamu akan bahagia, meski awalnya, kalian merasa tertekan karena dijodohkan," ucap Santi. "Mama seyakin itu?" tanya Samir menatap mamanya dari kaca miror. Santi mengangguk yakin karena memang dia punya firasat seperti itu. Samir kemudian diam, enggan bertanya lagi. Yang dia ingin untuk segera sampai di rumah. Rasa penat dan capek mulai mengikat. Hingga perjalanan sampai di rumah, yang banyak berbicara hanya kedua orang tuanya. Mereka sepanjang jalan membicarakan mengenai acara lamaran nanti. "Besok ada rapat penting, Samir. Jangan begadang!" Akmal mengingatkan anaknya itu agar segera istirahat. "Aku tidak lupa, Pa," jawab Samir sambil berlalu lebih dulu ke dalam rumah. Sampai dalam kamarnya, Samir langsung menghempaskan tubuhnya di kasur. Dia menjambak rambut hitam nan tebal itu. "Astaga, ini sudah keputusan fix yang tak bisa diganggu gugat," monolog Samir sambil menatap langit-langit kamarnya. Sedetik dua detik berlalu menjadi menit. Samir beranjak untuk membersihkan diri sebelum ia tidur. Setelah selesai, Samir mengirim pesan kepada Safiya. 'Besok bisa bertemu sebentar?' Setelah pesan terkirim, Samir menunggu jawaban agar dia bisa tidur dengan tenang tanpa memikirkan kejadian beberapa jam lalu. "Bisa, tapi jam makan siang. Karena jam dua aku harus kuliah.' Safiya membalas pesan. 'Oke, nanti aku kirim lokasinya.' Samir kembali mengetik pesan itu. "Baiklah, besok aku akan membicarakan hal yang menurutku harus dibicarakan." Samir mulai merebahkan tubuhnya, setelah ia mematikan lampu utama. Karena lelah seharian bekerja, juga aktivitas lainnya, lelaki berwajah tampan itu akhirnya tertidur lelap. ___ Pagi hari menyapa, Safiya bergerak gelisah dalam tidurnya, karena sinar matahari yang mengintip dibalik jendela kamarnya. Mau tak mau, ia terbangun dengan wajah kusut. "Jam berapa ini?" tanya Safiya sambil melebarkan pandangannya ke arah jam dinding di kamarnya. "Jam delapan. Cepat sekali sudah jam segitu!" Safiya menggerutu seolah tak percaya dengan waktu yang cepat berlalu. "Aku cuci muka dulu deh. Mandi nanti saja, perutku lapar. Berharap aku tak bertemu papa dan kakak pagi ini," ucap Safiya penuh harap. Langkah kaki Safiya menuju kamar mandi. Dia menggosok gigi dan mencuci muka saja. Setelah itu, ia merapikan rambutnya mengucir asal namun, semakin membuat Safiya terlihat cantik. Safiya keluar dari kamar, berjalan menuju lantai bawah. Namun, langkahnya terhenti di ujung anak tangga. Tatapannya awas untuk melihat situasi di lantai satu. "Sepi, semoga papa sudah berangkat ke kantor," ucap Safiya lirih. Untuk pagi ini saja, ia berharap tak mendengar ocehan lelaki paruh baya itu, mengenai pertunangan dan pernikahan. Gadis itu melanjutkan langkah menuju dapur. "Mbak, ayah dan kakak sudah berangkat ya?" tanya Safiya kepada Mbak Ria. "Sudah, Non. Baru saja," jawab Mbak Ria. Safiya mengangguk, mengambil cangkir untuk membuat coklat panas sebelum ia sarapan. "Biar saya yang buatkan, Non. Tunggu saja di meja makan!" titah Mbak Ria. "Terima kasih, Mbak!" Safiya tersenyum tulus ke arah Ria. "Sarapannya mau dibuatkan apa, Non?" "Mbak tadi masak apa?" "Nasi goreng seafood." "Iya udah itu saja." "Biar saya hangatkan dulu, Non." Safiya mengangguk sambil menerima cangkir berisi coklat panas itu. Jemari lentik itu mengetuk-ngetuk meja. Menanti minuman itu sedikit hangat, agar bisa ia nikmati dengan segera. Suara nontifikasi dari ponselnya, membuat Safiya segera mengambil benda pipih yang tergeletak di meja. "Tuan Aneh!" Safiya membaca nama seseorang yang mengirim pesan itu. 'Jangan lupa jam makan siang bertemu di restoran Bintang.' Sederet kata yang dikirim Samir untuk Safiya. Gadis itu sengaja mengabaikan agar tuan aneh itu kesal. "Dia pikir aku lupa ingatan. Sebenarnya, dia mau bicara apa? Kenapa tidak menelpon saja?" Safiya bicara sendiri, sambil menikmati sarapan yang sebenarnya sudah terlambat. Beberapa jam berlalu, Safiya sudah mandi dan sedang bersiap pergi. Entah sudah berapa kalai si Tuan Aneh itu mengirimi pesan. Dia hanya membaca sekilas saja, tanpa ingin membalas. Semenjak bisa melihat lagi, Safiya mulai mencoba merombak penampilannya. Dia tidak mau jika semua orang memandang rendah terhadapnya. Cukup ayah dan kakaknya saja yang bersikap begitu. "Aku bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta sesuatu kepada ayah. Aku telpon atau pergi ke kantor saja?" tanya Safiya kepada dirinya sendiri. Setelah rapi dengan penampilannya, gadis manis itu mulai melakukan panggilan kepada ayahnya. Berharap direspon, nyatanya, tak mendapat jawaban setelah tiga kali melakukan panggilan. "Baiklah, aku tidak akan kehabisan cara untuk melakukan yang aku mau, Yah. Tunggu saja kedatanganku!" Safiya memakai hells lalu melangkah pergi ke kantor ayahnya dulu. Senyum tipis terukir di bibir Safiya yang manis. Entah apa yang sedang direncanakan gadis itu kepada ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD