"Saat ini, hanya tempat ini yang bisa saya kunjungi bersama, Nona," ucap Pak Leo memandang ke arah Safiya dengan sendu.
Gadis itu juga menatap sopir yang punya hati sangat baik. Memberikan senyum tipis kemudian mengangguk.
"Tidak apa-apa, Pak. Tempat ini terlihat sangat nyaman," jawab Safiya sambil memperhatikan sekeliling rumah Leo.
"Mari masuk, Non. Istri saya ada di dalam, mungkin sedang beberes." Pak Leo membuka pintu, lalu tak lama, istrinya pun berjalan tergopoh dari arah dapur.
"Ada apa, Pak? Kok sudah pulang?" tanya Sari istri Leo.
"Nona butuh tempat untuk istirahat sejenak, aku bawa ke rumah karena tak tahu harus ke mana," jawab Leo jujur.
Mendengar jawaban suaminya, Sari tahu kalau Nona mudanya ada masalah di rumah.
"Mari duduk, Non! Maaf, rumah sederhana semoga anda betah," ucap Sari sopan.
"Terima kasih, Bu, sudah diizinkan singgah," jawab Safiya.
Sari membuatkan minuman teh yang ada di dapurnya, berharap gadis cantik itu mau meminum teh buatannya. Sedangkan Leo juga ikut ke dapur untuk minum. Lelaki itu menceritakan semua hal yang terjadi pada majikannya itu.
Membuat Sari paham, karena dia pun sempat berpikir mengenai kebutaan yang pernah diceritakan suaminya dulu.
"Bawa teh ini ke depan, Pak. Aku akan buatkan cemilan untuk Nona!"
"Iya, Bu."
Leo membawa teh itu ke ruang tamu. Di sana, Safiya duduk dengan bermain ponsel.
"Nona, ini teh untuk anda, silakan di minum!"
"Terima kasih, Pak. Jangan repot-repot, saya malah jadi enggak enak ada di sini," ucap Safiya karena merasa malu.
"Jangan bicara begitu, Non. Anggap saja ini rumah sendiri meski tak sebagus tempat Nona," jawab Leo.
Tak lama, ponsel milik Leo berdering, nama dari Iqbal tertera di layar. Tatapan lelaki itu terarah pada nonanya.
"Apakah orang rumah yang menelpon?" tanya Safiya.
"Den Iqbal, Non," jawab Leo memperlihatkan layar ponsel itu.
"Angkat saja, Pak! Bilang saya sedang tidak ingin belajar," jawab Safiya.
"Baik, Non!" Leo mengangkat panggilan itu.
"Ya, Den Iqbal?" Leo menjawab dengan suara sedikit ragu.
"Kemana Bapak membawa adik saya? Kenapa di kampus tidak ada?" tanya Iqbal penasaran.
Sedangkan Safiya pun mendengar semua percakapan itu karena telpon dalam mode loudspeker.
"Maaf, Den. Nona sedang tidak ingin belajar, dia ingin menenangkan diri katanya," jawab Leo sesuai pesan Safiya.
"Kalau bisa sebelum sore bawa dia pulang, Pak. Ayah akan lebih marah lagi, kalau pertemuan dua keluarga batal di lakukan," ucap Iqbal.
Leo mengangguk mengerti, meski lawan bicaranya tak bisa melihat semua gerak juga ekspresinya.
"Baik, Den. Saya akan membawa Nona kembali sebelum sore."
Tanpa menunggu persetujuan dari sopir pribadi sang adik, Iqbal sudah lebih dulu mematikan panggilannya. Tatapan Leo tertuju pada gadis cantik yang terdiam dengan mata bengkak juga wajah sembab.
"Tidak di suruh pulang pun, saya akan pulang, Pak."
Sari datang dengan membawa sepiring pisang goreng yang ia buat sendiri. Wanita itu mengajak ngobrol Safiya. Hingga gadis itu bisa tertawa dengan segala lelucon yang dibuat Sari. Leo pun ikut tersenyum, saat Safiya tertawa lepas.
Hal yang jarang dilihat olehnya, bahkan tidak pernah tertawa dengan begitu lepas. Hidupnya hanya ada kesedihan dan tekanan dari ayahnya saja.
___
"Bagaimana?" tanya Hamzah khawatir.
"Dia bersama pak Leo, Safiya sedang malas ke kampus," jawab Iqbal.
Hamzah khawatir bukan karena takut putrinya kenapa-napa. Tetapi, takut kalau sampai sore tak pulang, perjodohan itu akan gagal dilakukan. Bahkan, dia sudah menyuruh sekertarisnya untuk membelikan gaun, sepatu sampai perhiasan untuk dikenakan Safiya nanti malam.
Sedangkan Iqbal tak jadi berangkat kuliah karena daam perjalanan ke kampus, ayahnya terus menerus menelpon. Kemudian dia memutar kemudi ke arah kantor ayahnya.
"Kenapa dia bisa sembuh tanpa pengobatan? Bukankah kau juga tahu, saat dokter dulu bicara, kalau mau sembuh harus operasi mata?" tanya Hamzah dengan kerutan di keningnya.
Seolah dia memang sedang berpikir keras mengenai kejadian aneh yang dialami putrinya. Iqbal menatap ayahnya sambil memainkan jemarinya di dagunya.
"Aku saja heran, apalagi ayah!"
"Tapi ada bagusnya juga penglihatannya sembuh. Ayah tak akan malu kepada Akmal. Sahabat ayah itu akan memberikan pengobatan untuk Safiya. Sedangkan ayah sangat mampu untuk melakukannya," ucap Hamzah.
"Ayah tetap akan melakukan perjodohan ini meski Safiya menolak?" tanya Iqbal penasaran dengan rencana ayahnya.
Lelaki berparas tampan meski usianya matang itu mengangguk. "Semua demi masa depan kita, Iqbal. Perusahaan Akmal sedang sangat sukses, bergabung dengan perusahaan kita pun akan lebih memuaskan untuk jangka panjang."
'Ayah tak pernah ingin tahu apa keinginan anaknya. Dia terus egois dengan segal hal yang menurutnya bagus untuk diri sendiri,' ucap Iqbal dalam hati.
"Ayah tahu kan, kalau Safiya marah?"
Hamzah terdiam menatap serius ke arah putranya.
"Biarkan saja dia marah. Yang penting perjodohan ini tak boleh gagal," jawab Hamzah.
"Terserah ayah saja. Pikirkan saja kesenanganmu sendiri, sampai nanti ayah merasa menyesal atas semua yang terjadi," ucap Iqbal mulai beranjak pergi dari ruangan ayahnya.
Iqbal juga ingin lari sejauh mungkin, dia sedang berusaha menyelesaikan kuliahnya, dan ia akan memilih ke Singapura untuk memegang anak perusahaan milik ayahnya.
"Kau mau kemana?" tanya Hamzah menatap punggung putranya yang sudah melangkah pergi.
"Mau cari angin segar!" Iqbal menjawab tanpa menoleh.
Lelaki itu terdiam sambil menatap tumpukan dokumen yang belum tersentuh. Sejak pagi, tak ada satu pun yang ia kerjakan. Rasanya otaknya begitu malas berpikir karena berbagai masalah yang terjadi dalam rumah.
____
Safiya pulang sekitar jam dua siang, setelah makan bersama Leo dan istrinya. Sopirnya itu hanya punya dua anak yang sudah besar. Satu sudah punya rumah sendiri dan berkeluarga, yang ke dua kuliah baru semester 4 sama seperti Safiya.
Dalam perjalanan, gadis itu menatap pemandangan luar. Selama tiga tahun dia tak bisa melihat apa pun. Dan beberapa hari ini, Allah telah mengembalikan semua yang gelap menjadi terang. Safiya, benar-benar merasa bersyukur akan kesembuhan itu.
Tak terasa, rasa kantuk menyerang, kala perut terasa kenyang. Mata terpejam, membawa Safiya ke dunia mimpi. Leo menatap kaca miror memperhatikan nonanya yang tertidur.
"Sungguh miris hidupmu, Non. Semoga setelah menikah, keluarga barumu memberikan cinta dan kasih sayang yang lama kau rindukan," gumam Leo sambil fokus ke jalan raya.
Tak lama mobil yang kendarai Leo sampai di rumah mewah berlantai dua. Lelaki itu tak segera turun, ia sengaja menunggu beberapa menit agar gadis yang tertidur itu sedikit merasa nyaman saat bangun nanti.
Menit berlalu, tak terasa Pak Leo sudah sepuluh menit berada di dalam mobil yang terparkir di halaman. Lelaki itu mulai membangunkan Safiya karena sudah sampai rumah.
"Nona ... Nona ...!"
Dua kali dipanggil, Safiya akhirnya membuka mata, dia mengucek pelan kedua matanya, merapikan rambut yang sedikit berantakan, kemudian dia menyadari kalau sudah sampai rumah.
"Maaf aku tertidur, Pak!"
"Tidak masalah, Non!"
Gadis itu mengucapkan terima kasih kemudian turun dari mobil. Rumah masih sepi, ia bernafas lega, karena ayahnya tentu saja masih di di kantor. Langkah pelan itu menuju rumah yang selalu membawa kisah sedih untuknya.
"Nona ...?" Ria memanggil dengan wajah berbinar karena melihat kesembuhan gadis manis itu.
"Iya, Mbak, aku sudah sembuh," jawab Safiya menghampiri asisten rumah yang selalu ramah padanya.
Tanpa ragu, Safiya memeluk erat tubuh Ria, keduanya saling mengungkapkan rasa bahagia karena mata Safiya kembali normal.
"Selamat untuk kesembuhanmu, Non. Aku benar-benar sangat bahagia," ucap Ria dengan tatapan haru karena bahagia.
"Terima kasih, Mbak. Akhirnya aku bisa melihat dunia lagi," jawab Safiya sambil mengusap pelan pundak Ria.
Ria mengangguk dengan senyum yang tak pernah luntur. "Nona sudah makan?"
Safiya mengangguk, "Kalau boleh, aku mau minta tolong."
"Apa, Nona?"
"Buatkan aku kopi!"
Ria tersenyum dan mengangguk. Safiya menuju kamar dan menyuruh Ria membawa kopi itu, ke kamarnya.
Menjelang sore, Safiya menikmati secangkir kopi s**u. Jendela kamarnya ia buka, AC ia matikan sehingga semilir angin berhembus masuk ke kamarnya.
'Ya Allah, semoga keputusanku menyetujui perjodohan ini tidak salah. Aku sudah tidak tahan satu rumah dengan ayah yang selalu egois,' monolog Safiya dalam hati.
Ia nikmati cairan kental berwarna coklat itu dengan begitu nikmat. Meski pikirannya selalu berkecamuk merasa sangat sedih dengan keputusan yang tak pernah ia setujui.
Tepat saat kopi itu habis, pintu kamarnya terbuka tanpa ada ketukan. Safiya menoleh, menatap seseorang yang mulai mendekat ke arahnya dengan tatapan dingin.
Tatapan Safiya turun ke arah paper bag yang dibawa, dia tak mau menyapa, atau sekedar bertanya.
"Jangan berbuat ulah yang membuat aku semakin marah!" Hamzah seolah membuat ancaman dalam kalimat itu.
Karena tak ada respon dari putrinya, Hamzah kembali bicara. "Pakailah ini nanti malam!"
Safiya menerima paper bag itu, "Silakan pergi kalau tak ada lagi yang harus dibicarakan!"
Hamzah tertawa pelan, pandangannya menunduk sebentar, kemudian kembali menatap putrinya yang jauh berbeda dari beberapa waktu lalu.
"Jangan lupa dandan yang cantik. Keluarga lelaki itu sangat terkenal dalam dunia bisnis. Wanita berlomba ingin menjadi menantunya, sedangkan kau, tidak perlu susah payah sudah diinginkan sejak kamu belum dilahirkan," ucap Hamzah.
Senyum sinis terpatri di bibir tipis Safiya, "Mereka sangat menunggu diriku lahir untuk pendamping putranya. Tetapi, ayah tak pernah menginginkan aku lahir karena nyawa ibu harus melayang."
Safiya berbalik arah agar ayahnya tak tahu kalau dia kembali menitikkan air mata. Ia letakkan paper bag di atas kasur, lalu berlalu masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu.
Hamzah terdiam tanpa kata, entah kenapa, bibirnya mendadak kelu karena semua ucapan putrinya.
"Sampai kapanpun, aku memang salah. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki semua ini?"
Hamzah bertanya kepada dirinya sendiri, tanpa tahu jawabannya. Ia kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar anaknya dengan perasaan sulit diartikan.