Good In Goodbye (19)

1230 Words
Rumah tangga Dany dan Laura semakin tak menentu. Kadang mereka bertengkar hebat, lebih tepatnya Laura yang selalu mengamuk setiap kali tidak mendapatkan perhatian Dany. Laura lebih sering berpesta dan pergi ke club. Dia juga lebih sering bersama Peter. Menghabiskan malam yang panas bersama hingga pagi. Dany tak banyak berubah. Dia masih sama, berusaha untuk mencintai Laura dan jarang sekali mengeluarkan nada tinggi saat bertengkar. Bagaimanapun, dia merasa bersalah karena hingga saat ini masih belum bisa mencintai istrinya. Entah bagaimana Laura masih dengan egois tidak mau melepas Dany walau hubungan mereka terkesan tidak keruan sebagai suami istri. Suami yang mencintai orang lain, dan istri yang selalu tidur dengan orang lain walau mencintai suaminya. Mereka benar-benar kacau. "Kau sedang apa?" ucap Laura begitu melihat Dany yang tertunduk di meja kerjanya. Dany terlihat memegang sebuah sertifikat. Entah apa yang dia pikirkan, namun Dany tampak murung, atau lebih tepatnya tampak merindukan seseorang, karena yang ada di depannya saat ini adalah sertifikat rumah lamanya di pinggir kota. Rumah kenangannya bersama Hana. "Hah, kau masih melihat benda itu lagi? kali ini kau belum ingin menjualnya?" ucap Laura setelah tahu apa yang Dany lamunkan. "Rumah ini tidak dijual, Laura," ucap Dany dengan nada rendah yang lembut, sangat lembut hingga membuat Laura jengkel karena tidak ada emosi di dalam kata-katanya. "Untuk apa kau mempertahankan rumah itu lagi? sedangkan kau tak pernah kesana." "Aku memang tak pernah kesana. Namun, aku membayar orang untuk mengurusnya. Rumah itu sangat berharga bagiku karena peninggalan dari orang tuaku." "Berharga karena peninggalan orang tuamu atau karena kenanganmu bersama wa ...." Laura diam sejenak, dia tak melanjutkan kalimatnya karena tahu bahwa Dany akan mengatakan hal yang sama. "Jangan membawa Hana dalam masalah kita" itu yang selalu Dany katakan. Laura tak ingin mendengar nama Hana keluar dari mulut Dany lagi, hingga dia menarik nafas panjang untuk meredakan emosinya agar tak memancing Dany untuk menyebut nama Hana. "Terserah kau saja. Aku akan pergi keluar, dan sepertinya malam ini tidak akan pulang," Laura berbalik. "Laura," panggilan Dany membuatnya terhenti lalu kembali menatap suami yang bukan seperti suaminya tersebut. "Apa lagi?" ucap Laura ketus. "Kita tak juga membaik. Semakin lama kau pasti semakin sadar bahwa kita tidak bisa bersama. Aku belum bisa mencintaimu dan berujung menyakitimu." "Dany Brown. Sebenarnya kau mau mengatakan apa?" "Apa tidak sebaiknya kita bercerai saja?" Laura terkekeh mendengar perkataan Dany. Dari awal dia sudah menduga bahwa Dany ingin bercerai darinya. Namun, Laura yang keras kepala dan terobsesi kepada Dany tak ingin melakukan itu. Dia lebih memilih menyimpan Dany hanya untuknya, sebagai pajangan walau Dany tak pernah mencintainya, atau menyentuhnya. Laura tak masalah, asalkan Dany tidak bersama orang lain. "Laura. Jika kau bersikeras untuk mempertahankan pernikahan yang kacau ini ..." "Tak masalah pernikahannya kacau," potong Laura. Dany terdiam, dia hanya menatap Laura lalu menghela nafas, "Mengapa? kau merasa bersalah padaku? atau merasa terkekang. Kau tak mencintaiku dan tak pernah menyentuhku. Tak masalah. Teruslah seperti itu. Duduk di meja kerjamu dan lakukan hal yang setiap hari kau lakukan. Aku tak akan pernah mau bercerai!" Dum! Laura keluar sambil membanting pintu. Dany memang merasa bersalah. Karena dia berpikir tak akan menyakiti Laura seperti ini. Dia berpikir bahwa dia akan mencintai Laura suatu hari nanti. Maka dari itu, dia tak bisa sembarangan untuk mengajukan perceraian. Selain karena rasa bersalahnya, dia juga berhutang budi kepada ayah Laura. Dany sekarang seperti terhimpit pada kenyataan yang membuatnya sesak. Begitu sesak hingga Dany tak mampu untuk melakukan apapun. Sementara itu, di sebuah pusat perbelanjaan tampak Hana berjalan dengan wajah cerahnya. Kini Hana sudah bisa menerima keadaan. Usaha yang dis lakukan untuk tak membenci takdir sangat panjang. Beruntung Hana mempunyai Megan dan Lily yang selalu bersamanya. Walau sulit, Hana berusaha beradaptasi dengan baik. Dan disinilah dia. Hana sudah bisa berjalan di pusat perbelanjaan walau dia masih merasa takut. Dia terus melatih instingnya agar bisa mengetahui keadaan sekitar hingga dia tak menabrak apapun saat berjalan. Bunyi ketukan tongkat hana, terdengar begitu merdu dan tegas. Pertanda kerasnya perjuangan Hana hingga sampai di detik ini. "Baiklah, pelan-pelan saja. Tunggu dulu, bukannya aku ingin berjalan sejauh tiga meter saja? aku harus berbalik, menemukan tempat dudukku semula." Hana mencoba berbalik. Awalnya dia duduk di kursi tunggu bersama barang belanjaannya. Sebenarnya dia bersama Megan. Namun, Megan harus ke toilet, dan meminta Hana untuk menunggunya di kursi tersebut. Megan bahkan berpesan agar Hana tak bergerak dari duduknya. "Ibu bisa mengomel jika aku berkeliaran lagi. Baiklah, ke arah sana?" Hana mengetukkan tongkatnya lebih jauh untuk mengetahui posisi kursi tunggu yang dia duduki, "Apa aku pergi terlalu jauh?" ucap Hana lagi. Hana kembali berbalik. Dia berputar-putar di tempatnya, kebingungan menentukan arah. "Aakh!" Hana terjatuh ketika tak sengaja menabrak seseorang. Orang tersebut juga kesakitan, karena tongkat Hana menghantam tulang keringnya, "Maaf, kau tak apa-apa?" tanya Hana. Dia tahu bahwa dia telah memukul seseorang tanpa sengaja. "Aku yang harusnya minta maaf. Kau baik-baik saja, Nona?" orang tersebut berjongkok lalu membantu Hana untuk berdiri. "Aku baik-baik saja. Maaf, sepertinya aku melukaimu," "Hahaha, tak masalah. Hanya pukulan kecil, aku bisa menerimanya." "Sekali lagi maafkan aku," "Baiklah, kalau kau memaksa. Aku memutuskan untuk menerima maafmu," ucap orang tersebut sambil mengulurkan tangannya, "Aku Peter Hamilton," ucap laki-laki jangkung yang ternyata adalah Peter tersebut. "H-Hai," ucap Hana gugup. Peter meraih tangan Hana lsku mengarahkan tangan tersebut untuk menjabat tangannya. "Hai juga," ucap Peter kemudian. Hana tersenyum. Entah bagaimana, dari suara Peter Hana bisa mengetahui seperti apa perawakan dan visual laki-laki tersebut. "Kau mau kemana?" tanya Peter lagi. "Ah, apa kau melihat kursi tunggu di sekitar sini? aku meninggalkan barang-barangku disana." "Oh, maksudmu yang disana?" Peter menunjuk. Namun Hana hanya diam sambil menggerakkan kepalanya, karena tak tahu arah mana yang dimaksud Peter. "Ke arah mana?" Hana berbalik membelangi Peter. Peter tersenyum, lalu memutar tubuh Hana untuk menemukan arah yang benar, "Kesana, Nona." "Ah, kesana?" Hana menunjuk dengan tongkatnya. Namun masih saja melenceng. Hingga Peter kembali meluruskan tongkat Hana. "Nah, sekarang sudah tepat. Baiklah, kau akan berjalan sendiri, atau ingin aku menuntunmu?" "Aku akan berjalan sendiri. Terimakasih Tuan ... Hamilton?" "Waw, baru kali ini ada orang yang memanggilku dengan nama belakang." "Maaf telah menyusahkanmu." "Tak masalah. Aku orang yang cukup baik hati. Kalau begitu aku pergi dulu. Ingat, jangan berbalik kemanapun, tetap lurus pada tujuanmu." "Disana?" Hana kembali menunjuk arah dengan tongkatnya. "Benar. Tepat sekali. Sekitar dua meter, kau pasti bisa memperkirakannya, kan?" Hana mengangguk, "Sampai jumpa Tuan Hamilton," "Sampai jumpa, Nona ..." "Carter." "Ah, sampai jumpa Nyonya Carter." Hana tersenyum. Lalu berjalan perlahan menuju lokasi awalnya. Peter ikut tersenyum melihat Hana. Dia bahkan tak beranjak. Dia mengawasi Hana dan menggerakkan tangannya dari belakang seolah memperbaiki arah Hana. Walau dia melakukannya dalam diam dan tak diketahui sama sekali. Sesampainya Hana di kursi tunggu, Peter menghela nafas. "Baiklah, dia duduk disana dengan selamat," ucapnya lalu beranjak pergi. *** "b******n. Kau kemana saja?" Laura kesal melihat Peter masuk ke kamar. Dia memesan hotel mewah, dan meminta Peter untuk datang. Namun, dia terlalu lama menunggu. Hampir dua jam dan itu membuatnya jengkel. "Hai, Sayang. Maaf, aku ada urusan di pusat perbelanjaan. Kau tahu, aku menemukan gadis buta. Ya ampun, dia lucu sekali. Namanya ..." "Aku tak peduli. Kau membuatku menunggu selama dua jam!" "Oh, maaf, Sayang." "Jangan memanggilku dengan sebutan itu. Membuatku geli. Kau dan aku tak punya hubungan apapun." "Selain teman tidur, kan?" Peter duduk di samping Laura, lalu tangannya menelusup masuk ke dalam piama yang Laura kenakan. "Peter," "Hmmm," Peter sibuk memainkan tangannya ke area intim Laura yang lembab. "Bantu aku menjual rumah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD