"Wah, apa kau mendapat aset baru? rumah mewah yang mana yang akan kau jual?" Peter bicara sambil menciumi leher Laura, sementara tangannya masih berada di antara paha Laura.
Laura mendorong Peter, lalu mengikat rambutnya ke atas hingga menjadi ekor kuda, "Bukan rumah mewah. Aku ingin kau mencari orang yang mau membeli rumah di pinggir kota."
"Kau punya aset di pinggir kota juga?"
"Ini bukan aset, Peter. Aku hanya tidak menyukai seseorang rumah itu. Kau, jangan banyak tanya. Carikan saja orangnya, dan bertransaksi mewakiliku."
"Hmm, itu gampang. Asal ada sertifikat yang sah,"
"Sertifikatnya sah, tapi tentu saja kita tak perlu meminta izin dari pemiliknya untuk menjual, kan? " Laura menatap Peter berusaha menyampaikan maksud tersembunyinya.
"Hahaha, aku mengerti sekarang. Baiklah, aku akan membantumu. Kalau perlu, aku yang akan membeli rumahnya, "
Peter kembali mencium Laura. Kali ini Laura mendorong Peter agak kasar ke atas tempat tidur. dia kemudian duduk di atas Peter sambil membuka piamanya. Peter tersenyum senang. Malam yang panas dan melelahkan, kini dimulai lagi.
Seminggu kemudian. Hana berdiri di makam Max. Dia tersenyum, merasakan angin yang berhembus menyentuh kulitnya. Merasakan sinar matahari yang berusaha menelusup ke pori-porinya. Hana menarik nafas panjang, lalu meraba pusara suaminya tersebut.
"Hai, apa kabarmu?" ucap Hana sambil mengusap batu dingin yang ada di depannya, "Yah, aku tidak bisa melihat sekarang. Semuanya gelap, jadi aku tak tahu apakah aku sekarang membawa karangan bunga yang bagus untukmu atau tidak. Tapi, aku sudah memesan bunga Lily, bunga kesukaanmu. Hanya saja, aku tak tahu bagaimana warnanya terlihat. Tapi tak masalah, toh Lily selalu saja indah. Lily kita juga seperti itu. Kau tahu, tingginya bertambah dengan cepat. Dia masih enam tahun, namun tingginya sudah mencapai lenganku. Tentu saja dia akan tumbuh lebih tinggi dan cantik kedepannya, tinggi yang sama sepertimu dan kecantikan yang seperti aku tentunya."
Hana menarik nafas dalam lalu menundukkan kepalanya, "Kau tahu, aku ingin membuat pengakuan. Sebenarnya... saat masih bersama, aku tidak seratus persen mencintaimu. Tentu saja kau yang pintar pasti sudah tahu hal itu. Namun, walau terlambat. Hari ini aku tetap minta maaf. Maaf telah menipumu dengan hatiku. Maaf telah membagi hatiku dengan yang lain, kau adalah suami terbaik di dunia. Aku harap kau melihat kami disana dengan bahagia."
Hana kemudian berdiri perlahan, lalu menatap makam Max Carter yang tak bisa dia lihat.
"Sayang, sudah selesai? Megan yang tadinya menjauh demi memberi ruang kepada Hana, perlahan datang menghampiri putrinya tersebut.
" Iya, Bu. Dimana Lily?" tanya Hana kemudian.
"Lily masih di rumah neneknya, mereka sudah lama tak bertemu jadi sedang membagi rindu masing-masing."
"Baiklah, kita jemput Lily sebentar lagi."
"Kau mau tetap disini selama beberapa saat lagi?"
Hana menggeleng, "Antarkan aku ke toserba yang berada di dekat stasiun."
Megan menuruti Hana. Dia mengantarkan Hana ke toserba. Di toserba itulah dulunya Hana makan untuk pertama kalinya bersama Dany.
Sementara Megan mencarikan pesanan Hana, Hana duduk di luar menunggu. Dia mengarahkan kepalanya ke kiri dan kanan, seolah bisa melihat apa yang berada di sekitarnya, "Tempat ini belum berubah," Gumam Hana ssbil tersenyum.
"Sayang, mi instanmu. Hati-hati makannya, Nyonya Carter mengatakan bahwa dia akan mengantar Lily kemari. Kalau begitu ibu pergi sebentar, kau jangan kemana-mana. Ibu hanya ingin berbelanja beberapa barang di pasar tradisional. Tampaknya di pasar itu semua bahan makanan segar-segar."
"Jangan khawatir bu, belanja saja dengan tenang. Aku tak akan kemana-mana. Walau aku berjalan lebih jauh pun, aku masih bisa kembali, karena aku hapal sekali daerah ini."
"Hmm, baiklah. Ah, satu lagi. Apa kita benar-benar harus menggunakan kereta? jika ibu berbelanja..."
"Jangan belanja banyak, bu. Akan susah membawanya naik kereta. Karena kita tidak akan menggunakan kendaraan lain jika disini."
"Baiklah, aku akan belanja dengan tenang, tapi tak boleh membawa barang begitu banya."
Hana tersenyum mendengar perkataan ibunya, "Hati-hati, Bu," Ucapnya kemudian.
Hampir dua puluh menit sejak Megan pergi berbelanja. Hana telah menghabiskan makanannya. Dia berdiri, mengambil tongkatnya, dan berjalan perlahan menjauh dari toserba. Ketukan tongkat Hana terlihat pasti. Dari tempat duduknya di torserba. Hana telah bisa memastikan arah kemana dia harus pergi. Dia berjalan di pinggir, sambil mengulurkan tangannya, menelusuri tembok-tembok dan beberapa pohon sebelum dia tiba di tujuan. Setelah dua puluh menit kemudian, Han berhenti. Dia menyentuh pagar kayu di depannya dengan hati-hati. Hana tersenyum cerah.
"Tempat ini memang belum berubah," Ucap Hana sambil berbalik mengarah ke bangunan dengan pagar kayu tersebut, "rumah kami," Gumamnya lagi.
Yah, Hana sekarang berada di depan rumah Dany. Rumah yang dulunya dia kuasai sebagai rumah sendiri. Entah bagaimana Hana lebih menghapal lingkungan itu. Bahkan dia tahu persis apa yang berada di halaman rumah, dan juga tata letak perabotan di bagian dalam rumah, jika Dany belum merubahnya.
"Tunggu dulu. Mengapa aku disini? bagaimana jika Dany dan istrinya pindah kesini setelah menikah? Aku harus pergi sekarang."
Hana berbalik dengan terburu-buru, dia tersandung dan hampir saja terjatuh jika tak ada seseorang yang menangkapnya.
"Nona, kau baik-baik saja? tunggu dulu, kau kan... Nona Carter?" Nona Carter. Hanya satu orang saja yang mungkin memanggil Hana seperti itu. Yah, dia tak lain adalah Peter Hamilton. Laki-laki itu tertawa tak percaya. Bagaimana bisa dia bertemu kembali dengan Hana. Kemungkinan orang asing yang tak memiliki hubungan sama sekali bertemu satu banding seribu. Tapi itu benar-benar terjadi padanya, membuatnya sedikit takjub.
"Maaf, kau mengenalku?" Ucap Hana kemudian.
"Hei, ingat pusat perbelanjaan di kota? ini aku, Peter Hamilton."
"Ah, maaf Tuan Hamilton. Aku tak bisa melihat."
"Tentu saja aku tahu kau tak bisa melihat. Tapi, apa kau tidak mengenal suaraku?"
"Tidak. Maaf, ada begitu banyak suara yang kudengar, jadi aku tak bisa mengingatnya. Apalagi, kita baru pertama bertemu."
"Dua kali dengan hari ini, Nona. Kuharap kau menghapal suaraku. Jika kita tak sengaja bertemu untuk ketiga kalinya, bukankah itu takdir yang menakjubkan?"
"Aku tidak janji bisa mengingatnya."
"Nona, sebenarnya ingatanmu buruk, kan?"
"Nyonya, Tuan. Nyonya Carter. Hmm, ingatanku memang agak buruk, yah begitulah."
"Nyonya Carter. Jadi kau sudah menikah?"
"Benar sekali."
"Putra, atau putri..."
"Putri, usia enam tahun, dan dia sangat cantik."
"Hahaha, kau tinggal di daerah ini? bersama suamimu?"
"Sebelum menikah, dulunya aku disini. Tapi empat tahun sebelum menikah, aku pindah, dan sekarang aku disini untuk mengunjungi suamiku."
"Maksudnya, kalian tinggal di kota berbeda?"
"Lebih tepatnya di alam yang berbeda. Aku sedang mengunjungi makamnya,"
"Ah, maafkan aku, Nona, maksudku Nyonya,"
"Tak masalah, sudah setahun lebih berlalu."
"Lalu, mengapa kau berada di depan rumahku saat ini?"
"Rumahmu? ah maksudnya rumah sebelah? yang berwarna biru? Atau kau merubah catnya?"
"Bukan. Rumah di depanmu, Satu-satunya rumah yang memiliki pagar kayu di lingkungan ini."
"Rumah pagar kayu ini? rumah dengan mawar merambat, bercat putih, dan juga memiliki beranda kayu yang lebar ini rumahmu?"