Good In Goodbye (18)

1006 Words
Megan hampir terkena serangan jantung. Entah bagaimana caranya, Hana keluar dari kamar dan berjalan menuju kolam berenang yang ada di samping rumah. Melangkah sekali lagi, maka Hana akan jatuh ke kolam tersebut. Beruntung Megan datang tepat sebelum Hana melangkah. Megan menarik Hana dengan panik. Dia kemudian menghela nafas lega setelah mengetahui Hana baik-baik saja. "Sayang, sudah ibu katakan. Jika ingin kemanapun panggil ibu dan Lily." ucap Megan sembari menuntun Hana duduk di kursi yang berada di samping kolam, "Kau baik-baik saja?" "Hmm, aku baik-baik saja," jawab Hana singkat. "Baiklah, kau mau kemana? atau butuh sesuatu? katakan pada ibu." "Lily dimana?" "Lily belum pulang dari Lesnya." "Aku ingin jalan-jalan di luar, bersama Lily." Megan tersenyum mendengar perkataan putrinya, "Lily akan segera pulang. Kita akan keluar bersama nanti ketika dia sudah pulang, bagaimana?" raut wajah Megan jelas memperlihatkan kebahagiaan. Bagaimana tidak, hampir enam bulan saat ini, sejak Hana dinyatakan kehilangan penglihatannya. Hana tak pernah melangkahkan kakinya keluar rumah. Dia selalu marah, menangis, dan membenci dirinya. Tentu saja hal ini merupakan perubahan yang sangat signifikan. "Ibu," "Iya sayang," Hana mengulurkan tangannya ke arah Megan. Megan menyambut tangan Hana lalu menggenggam tangan putrinya itu dengan hangat, "Apa ada yang ingin kau katakan?" ucapnya lagi. "Aku ingin menyentuh wajah ibu," Megan perlahan mengarahkan tangan Hana ke wajahnya. Hatinya seketika getir melihat putrinya dalam keadaan seperti ini. Sebagai seorang ibu, tentu saja sangat menyedihkan melihat putri satu-satunya dan anak satu-satunya yang dia punya berada dalam kesusahan. "Maafkan ibu, sayang. Andai waktu itu ibu tak memaksamu untuk pindah. Andai ibu tak memaksamu menjauh dari Dany sahabat baikmu ..." "Itu sudah sangat lama berlalu, bu. Lagipula aku dan Dany mungkin memang harus mengucapkan selamat tinggal. Dari awal aku tahu hubungan kami tidak akan berhasil. Namun, tentus saja ada kata selamat dalam kata selamat tinggal itu, kan? karena kita pindah, aku menemukan Max. Dia masuk kehidupku, lalu kami memiliki Lily. Dany juga bahagia dengan keluarganya sekarang. Aku berada dalam keadaan ini, saat ini, itu bukan salah ibu. Hanya saja mungkin Max terlalu baik untuk mendampingiku karena aku tidak seratus persen memiliki perasaan padanya, hingga dia diambil dariku untuk selamanya. Bagaimanapun, tentu aku membenci diriku yang lemah saat ini. Tapi, Lily ... aku tak boleh lemah demi dia kan, bu?" Megan meneteskan air matanya. Mengetahui hal itu, Hana langsung mengusap air mata ibunya. Merasakan kulit wajah ibunya yang saat ini mengalami perubahan tekstur. Dulunya begitu halus dan terawat dengan baik, namun kini terasa kasar dan mungkin saja tidak sehat. Hana menduga itu semua karena Megan harus mengurus dirinya yang tidak bisa melihat. "Ibu, jangan menangis. Aku baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja karena ada Lily dan ibu di sampingku." "Terimakasih, sayang. Kau sudah bertahan sejauh ini, ibu sangat berterimakasih," Megan memeluk Hana erat. Lalu kembali menghapus air matanya yang sejak tadi terus mengalir karena rasa haru dan kesedihan yang dia rasakan. "Baiklah, mulai sekarang ayo bersemangat. Ibu juga sudah mendaftarkanmu di setiap rumah sakit untuk mendapatkan donor mata. Kita pasti akan bisa melewati ini semua," ucap Megan kemudian. "Hmm, untuk awalnya ... belikan aku tongkat." Mendengar pernyataan Hana, Megan menutup mulutnya tak percaya, "Sayang, kau benar-benar ingin menggunakan tongkat!" "Hmm, aku akan belajar menerima keadaanku. Mengenakan tongkat, bukankah bisa menjadi fashion, bu?" "Hahaha, benar. Ibu akan mencarikan tongkat yang cocok untukmu. Yang berkelas dan elegant seperti putri ibu yang cantik." "Jika mengenakan tongkat, aku masih tetap cantik kan, bu?" "Tentu saja. Tidak ada yang bisa menutupi kecantikanmu, mau itu tongkat atau apapun. Kau tetap paling cantik dan manis." "Ibu juga. Ibu juga cantik," Hana tersenyum. Megan seperti mendapatkan ribuan kemenangan besar. Ini senyuman Hana untuk pertama kalinya setelah enam bulan. Hati Megan membuncah lalu memeluk Hana dengan erat. "Putri ibu yang cantik, kau benarkah cantik," "Ibu, pelukan ibu terlalu erat, aku tak bisa bernafas." "Up's maaf," Kedua ibu dan anak itu tertawa bersama. Setelah kegelapan yang melanda Hana, kini perlahan tampaknya dia menuju ke titik terang. Megan berharap Hana akan selalu tersenyum seperti ini. Putri kecilnya yang berharga. *** Satu tahun berlalu. Rumah tangga Dany dan Laura tampak sangat normal dari luar. Namun, jika melihat lebih dalam, maka akan ditemukan berbagai kekacauan kekacauan kecil yang berujung menjadi lebar dan menimbulkan kekacauan yang lebih besar. Semua itu karena sifat Dany dan Laura yang bertolak belakang. Keduanya sering kali terlibat perang dingin, bahkan sudah berbulan-bulan mereka tidak menyapa satu sama lain. Laura yang ketika kesal selalu pergi keluar rumah kini berada di sebuah club. Meminum anggur merah dalam diam diantara musik yang memekakkan telinga. Sesekali dia menghela nafas lalu kembali menuangkan anggur ke gelasnya. "Lihat, siapa yang ada disini. Nyonya Still, ah atau sekarang aku harus memanggilmu Nyonya Brown?" Peter Hamilton menghampiri Laura. Laki-laki itu memiliki saham di club tersebut bahkan di beberapa club lain, dia sangat suka berbisnis seperti itu. Sering keluar masuk club dan kini dia kebetulan melihat Laura berada di clubnya. "Peter Rich, bisa kau enyah dari sini? aku sedang tak mau melihatmu," ucap Laura setengah mabuk. "Hei, mengusir Tuan Rumah dari rumahnya sendiri itu tidak sopan," "Apa peduliku." "Hahaha, kau sedang bermasalah dengan suamimu lagi? kenapa tak memanggilku kali ini?" "Aku tidak membutuhkanmu," "Hmm, tentu saja kau membutuhkanku, lebih tepatnya ... membutuhkan keterampilanku," Peter mengecup bibir Laura dengan keras, lalu kemudian tersenyum. "Hahaha, kau ... benar-benar bujangan tua yang memuakkan," ucap Laura sambil menyeka bibirnya. "Hei, umurku baru empat puluh tahun. Aku tidak setua itu. Hmm, apa sudah hampir setahun? setiap ada masalah kau selalu tidur denganku, lalu setelah itu kita mendadak menjadi orang asing. Wah, hubungan kita bukankah terlihat aneh?" "Persetan denganmu, Peter. Aku tidur denganmu karena Dany belum juga siap menyentuhku selama setahun ini." "Hahaha, dan kau percaya? Laura, Dany bukan belum siap menyentuhmu. Tapi dia memang tidak mau menyentuhmu." "Hmm, aku tahu. Dia masih mencintai cinta pertamanya." "Dan kau masih bertahan dengannya?" "Karena aku mencintainya," "Hei, tapi kau tidur denganku," "Memangnya tidak boleh aku mengambil kesenangan sesekali? tidur dengan orang lain bukan berarti aku tak mencintai suamiku." "Wahh, pemikiranmu ini ...." Peter terdiam sambil menutup mulutnya sejenak, "Sanat brilian! aku suka cara pikirmu. Bagaimana, malam ini mau melepas stres lagi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD