Good In Goodbye (13)

1012 Words
"Aku harus menenangkan gadis kecil itu dulu. Lihatlah, dia menangis tersedu. Kasihan sekali," Jessie mendekati Lily yang tengah menangis, sementara Laura menatap mereka dari jarak enam meter. Lily masih terus menangis, beberapa menit kemudian Megan berlari kecil. Dia kembali dari ruang doktor dan langsung sibuk menenangkan cucunya dibantu oleh Jessie. "Sial, wanita itu kenapa bisa ada disini? dari sekian banyaknya rumah sakit. Kenapa dia harus koma disini? di rumah sakit ayahku! ini tak bisa dibiarkan. Bisa saja Dany secara tak sengaja bertemu dia disini," Laura menggigit kukunya sambil berpikir keras. "Laura," terdengar suara Dany yang memanggil Laura. Laura segera berbalik, dan melihat Dany menuju ke arahnya. "D-Dany!" Laura langsung berlari untuk menghampiri Dany. "Hei, kenapa kau ada disini? aku kira kau di ruangan ayahmu." "A-Aku hanya jalan-jalan," ucap Laura. Laura tersenyum. Namun, nada suaranya jelas agak sedikit panik. "Maaf, aku terlambat menjemputmu," "Tak masalah. Ayo kita pulang sekarang," Laura langsung menarik Dany dengan tujuan agar Dany tidak berjalan ke arah ruangan Hana. "Tunggu dulu. Ayahmu meminta kita menemuinya, katanya ada yang ingin dibicarakan," "Bicarakan di rumah saja. Ayo pulang sekarang aku sudah lelah," "Tunggu dulu," Dany melepaskan rangkulan tangan Laura dari lengannya, dan menatap ke arah Lily, "Aku mendengar ada yang menangi, apa anak itu? kasihan sekali, apa dia keluarga pasien?" "Dany!" Laura kembali menahan tangan Dany, lalu membawa Dany membelakangi Lily, "Itu bukan urusan kita. Jessie ada disana untuk menenangkan pasiennya. Kita harus pulang sekarang. Aku benar-benar lelah." "Tapi ...." Dany tak bisa berkata apapun lagi. Laura menariknya menjauh dari Hana. Mengamankan Dany agar tidak mengetahui kondisi Hana. Karena ketakutannya akan kehilangan Dany jika Dany mengetahui keadaan Hana apalagi mengetahui bahwa suami Hana telah tiada. Di rumanya, Laura mondar-mandir tak keruan. Dia masih mencemaskan tentang Hana. Laura memeriksa Dany yang sibuk di ruang kerjanya, dan dia kembali mondar-mandir memikirkan jalan keluar untuk masalah tersebut. "Ini tak bisa dibiarkan. Bisa gawat jika Dany bertemu dengan wanita itu. Dany tak boleh bertemu dengannya lagi." Laura berhenti dan langsung terpikirkan sesuatu. Dia bergegas ke kamar, nengambil ponselnya. Dari dalam kamar dia memeriksa keadaan waspada jika Dany keluar dari ruang kerja. Setelah dirasa aman, Laura lalu menghubungi seseorang dengan wajah serius. "Halo, pasien koma yang bernama Laura Foster. Siapa doktor yang menanganinya?" tanya Laura kepada petugas administrasi di rumah sakit tersebut. Karena dia adalah anak pemilik rumah sakit, Laura mengetahui data karyawan dengan jabatan penting yang ada disana. "Laura Foster? dia ditangi oleha Doktor Henri, Nona," jawab petugas tersebut. "Baiklah," Laura langsung menutup teleponnya lalu bergegas pergi keluar. Keesokan harinya, Megan kaget bahwa Hana akan segera dipindahkan ke rumah sakit lain. Doktor yang menanganinya Hana memutuskan demikian dengan berbagai alasan, dan dari semua alasan tersebut, tak ada yang masuk akan bagi Megan. Bagaimana mungkin rumah sakit sebesar itu tidak punya fasilitas yang memadai. Bagaimana mungkin juga, mereka kekurangan tenaga untuk merawat Hana. Karena didesak paksa, Megan akhirnya mengalah. Dia tak mau membuat keributan di rumah sakit tersebut, dan memilih pindah ke rumah sakit lain yang lokasinya dua jam perjalanan dari tempat mereka sekarang. Jessie duduk bersama Laura di kantin rumah sakit, Mereka hanya sekedar minum kopi, dan beberapa hari ini Luara sering mengunjungi rumah sakit, "Laura, kau tahu pasien yang koma waktu itu? yang anaknya menangis di depan ruang tunggu," ucap Jessie sambil memasukkan roti ke mulutnya. "Memangnya kenapa dengan dia?" jawab Laura acuh. "Doktor Hendri memindahkannya. Kau tahu, doktor Hendri selalu memastikan agar dia merawat pasien hingga akhir. Bahkan jika pasien tersebut sekarat dan tak punya harapan lagi. Dia tak akan melepaskan pasien tersebut. Namun, kali ini dia memindahkan pasien ke rumah sakit lain. Padahal dia setiap hari memantau keadaan pasien itu, dan berdiskusi dengan perawat serta orang tua pasien tersebut setiap hari." "Mungkin kali ini dia berubah pikiran. Pasien itu koma, dan tak ada jaminan kapan dia akan bangun. Baguslah, dia memindahkan pasien koma, artinya lebih banyak ruang rawat yang tersedia." "Laura, rumah sakit ayahmu ini besar sekali, dan tentu saja ruang rawatnya banyak. Bahkan ada beberapa yang kosong." "Lalu apa urusannya denganku? sudahlah, makan saja. Mengapa membicarakan pasien denganku yang bukan doktor rumah sakit ini," "Hei, kau lebih dari doktor. Kau adalah pewaris rumah sakit ini selanjutnya. Maksudku, aku hanya penasaran akan perubahan Doktor Hendri. Sepertinya dia melakukan hal yang bukan kemauannya." "Jika bukan kemauannya, lalu kemauab siapa?" "Laura, apa sekarang kau sedang marah?" "Sudah kukatakan. Berhenti membahas tentang pasien koma itu. Kau ini menyebalkan sekali." Laura berdiri dari duduknya lalu meninggalkan Jessie dengan kesal. "Ya ampun. Dia kenapa? apa sedang ada masalah rumah tangga?" ucap Jessie sambil menggelengkan kepala. Tiga bulan kemudian. Laura masuk ke ruang kerja Dany. Ruangan itu lebih terasa seperti tempat tinggal Dany, karena Dany jarang sekali keluar dari sana. Dany makan, bahkan tidur di ruangan tersebut. Hal itu membuat Laura menjadi jengkel. Laura darang lalu meletakkan segelas air di meja Dany dan menatap Dany lekat. "Laura, kenapa membawakan aku air? jangan repot-repot, aku bisa mengambilnya sendiri," ucap Dany. "Dany, sudah tiga bulan sejak kita menikah," "Iya, aku tahu." "Apa kau ... masih tak menginginkanku?" "Laura ...."Dany terdiam. Melepaskan pakaiannya satu persatu, hingga tak ada sehelai benangpun melekat di tubuhnya. Laura berdiri di depan Dany dengan gerak tubuh yang sensual. Dengan kaget, Dany langsung memalingkan wajahnya, "Laura, apa yang kau lakukan?" "Sampai kapan kau ingin menghindariku? kenapa kau memalingkan wajah, aku ini istrimu!" "A-Aku ...." Dany menghela nafas panjang, dan menunduk, "Laura, maafkan aku. Aku masih belajar untuk mencintaimu. Dari awal aku memang salah. Harusnya aku tak menyakitimu seperti ini." "Dany, aku tahu kau menikahiku karena keinginanku. Karena ayah mendesakmu. Tapi, bagaimanapun, saat ini aku adalah istrimu. Kau bahkan belum menyentuhku sama sekali." "A-Aku tidak bisa ... Laura, berikan aku waktu lagi." "Waktumu sudah habis, Dany. Aku ingin melakukannya sekarang." "Tapi aku tak yakin jika ..." Tiba-tiba Laura menghambur mencium bibir Dany. Dany hanya diam, tanpa membalas. Perasaannya saat ini campur aduk, antara kewajibannya sebagai suami dan kerinduannya yang masih belum selesai terhadap Hana. Dany sadar bahwa dia benar-benar menjadi laki-laki jahat. Dia menyakiti Laura selama tiga bulan ini, namun perasaannya kepada Hana tak jua kunjung hilang. Perasaan itu sangat berharga, hingga tak bisa Dany buang begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD