Good In Goodbye (14)

1023 Words
Laura masih menciumi bibir Dany. Namun, karena tak ada balasan. Laura berhenti sejenak. Dia menatap Dany penuh harap, "Dany, tolong. Cobalah menerimaku sekali ini saja," ucap laura kemudian. Dany merasa bersalah. Perlahan dia mendekat lalu menangkupkan tangannya ke wajah Laura. Laura tersenyum, dia kembali mencium bibir Dany. Kali ini Dany berusaha untuk membalas. Ini adalah jalan yang dia pilih, dan dia harus bertanggung jawab. Dany tak punya cara lain. Dia harus menerima dan berharap suatu hari nanti perasaannya pada Hana akan hilang. Beberapa menit berlalu. Laura mulai liar. Desahan demi desahan, lumatan demi lumatan. Laura mengeratkan pelukannya dan mengarahkan tangan Dany untuk menyentuh dua buah bagian sensitifnya yang kenyal. Laura mendorong Dany perlahan. Dany berjalan mundur, dan kini mereka berguling di atas sofa dengan posisi Laura yang berada di atas Dany. Laura mulai menjelajahi leher Dany, menggigit kecil telinga Dany. Karena hal itu, naluri Dany memuncak. Merasa permainannya berhasil, Laura sangat senang dan semakin liar dari detik ke detik. Laura perlahan membuka kancing kemeja Dany satu persatu sambil masih terus menjelajahi leher Dany. Dia tak akan membiarkan Dany lepas begitu saja. Ini adalah kesempatan langka. Laura harus memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya. "Mmm," Dany sedikit bersuara. Laura tersenyum makin lebar," "Ah, Hana ...." tiba-tiba kata tak terduga keluar dari mulut Dany. Laura terdiam. Dengan kesal dia turun dari tubuh Dany, lalu mengambil pakaiannya yang telah tergeletak di lantai. Dany tersadar dengan apa yang dia lakukan. Dia bangkit dan menatap Laura yang tampak marah, "Laura, maafkan aku, aku taj bermaksud ... ah, sial!" Dany menepuk kepalanya frustasi, "Laura, maafkan aku. Aku belum siap. Aku janji akan berubah, tapi aku butuh waktu. Mohon beri aku waktu sedikit lagi." Laura tak menjawab Dany. Dia hanya berbalik dan keluar dari ruang kerja Dany dengan kesal, " Wanita sialan, harusnya saat itu dia mati saja." batin Laura. Dia masuk ke kamar dan melemparkan pakaiannya ke tempat tidur, "Sudah tiga bulan. Bahkan sudah bertahun-tahun sejak mereka berpisah, tapi Dany masih mengingatnya? argh! padahal aku sudah mengusirnya dari rumah sakit. Kenapa waktu itu aku mengusirnya? harusnya aku membayar orang untuk membunuhnya saja. Sialan!" Laura mengacak rambutnya. Rasa panas menjalar di hatinya, menular ke kepalanya. Rasanya Laura hampir meledak karena marah. "Aku sudah sangat berusaha agar Dany menjadikan Dany suamiku. Tapi, bahkan tanpa bertemu wanita itu, dia masih yak bisa melupakannya? hahaha, aku tak akan menyerah. Pasti ada cara. Aku, Laura Still bukan orang yang akan kalah semudah itu, terlebih dengan wanita koma yang sekarang tidak tahu masih hidup atau sudah mati." Di ruang kerjanya, Dany merasa kecewa dnegan dirinya sendiri. Dia menatap ponsel, foto Hana masih ada disana. Yah, itu adalah ponsel lama Dany. Dia tak pernah menggunakannya namun juga tak pernah membawanya kemanapun karena hal itu bisa mengingatkannya dengan Hana. Hampir seratus persen ponsel itu berisi foto Hana. Foto saat mereka nasih remaja, saat mereka menginjak dewasa, semua tentang Hana terekam disana. Dany mengepalkan tangannya dengan erat. Dia menandai seluruh foto tersebut, lalu terdiam sejenak. Dany ingin menekan tombol hapus, tapi jarinya terasa berat. Dany benar-benar ingin menghapus Hana dari hidupnya, namun dia tidak bisa melakukannya. Pada akhirnya, Dany menguntungkan niat, dia mematikan ponsel tersebut, lalu memasukkan ponsel itu ke laci mejanya dan menguncinya. "Kenapa aku tak bisa melupakannya?" Dany menghela nafas sambil menarik rambutnya sendiri, "Tidak. Bukannyaaju tak bisa melupakan Hana, tapi tidak mau dan tak pernah mampu. Aku memang b******k. Bagaimana mungkin aku menyakiti Laura yang telah sabar menungguku?" prang! Dany melempar tempat pensilnya karena kesal, "Sadarlah Dany, jangab menjadi orang b******k seperti ini. Tolong sadarkan dirimu!" Keesokan harinya. Cuaca begitu cerah. Di sebuah rumah sakit yang agak terpencil di pinggir kota, Megan berjalan sambil membawa tas di tangannya. Tas tersebut berisi pakaian-pakaian milik Hana. Hari ini sama seperti sebelumnya. Megan masih berulang ke rumah sakit. Kadang dia juga membawa Lily bersamanya. Hana masih koma. Sudah tiga bulan tak ada tanda-tanda Hana akan bangun. Pihak rumah sakit telah menyarankan agar Megan merelakan Hana. Tapi, tentu saja Megan menolaknya. Dia tak bisa merelakan putrinya begitu saja. Walau dengan bantuan alat, Hana tetap nasih bernafas. Tidak mungkin Megan merelakan Hana, dia yakin hanya butuh waktu lagi, Hana akan terbangun saat waktunya tiba. Megan tiba di ruang rawat yang tak begitu besar tersebut. Rumah sakit pinggir kota ini, Megan merogoh kocek yang tak sedikit demi merawat Hana disini. Megan menyumbangkan begitu banyak uang untuk membeli berbagai peralatan yang tidak ada di rumah sakit demi merawat Hana. Itu dia lakukan karena tak ada rumah sakit di kota yang bisa menerima Hana, entah mengapa terus saja tertolak walai Megan sudah mengeluarkan uang banyak. Di rumah sakit sederhana ini, akhirnya Hana bisa diterima. Walau begitu banyak peralatan yang tidak lengkap. Untung saja, Megan masih memiliki uang tabungan. Walau semuanya habis dan Megan hampir bangkrut, Megan tak peduli. Megan hanya ingin Hana segera sadar. Megan menduga, bahwa ini adalah karma untuknya. Karma karena dulu telah menelantarkan Hana. Sejak berusia delapan tahun Hana selalu melihat orang tuanya bertengkar. Hana tak pernah mendapatkan kasih sayang hingga dia kabur dari rumah, dan lebih senang berada di rumah sahabatnya. Kali ini Megan berusaha menebus segalanya. Dia bekerja keras sebagai desainer agar bisa menghasilkan uang untuk membiayai perawatan Hana. "Hana, ibu datang," ucap Megan begitu membuka pintu ruangan dimana Hana dirawat. Megan langsung melangkah untuk melihat putrinya. Dia mengusap wajah Hana, lalu tersenyum tipis, "Bagaimana kabarmu hari ini?" ucapnya kemudian, "Ibu dan Lily baik-baik saja. Ah, ini membelikan baju baru untukmu. Lily yang memilih warnanya," Megan mengeluarkan pakaian yang dia bawa di dalam tasnya, "Bagaimana, kau suka?" ucap Megan sambil merentangkan atasan berwarna biru dengan bahan rajut tersebut, "Sebentar lagi musim dingin. Ibu harus membuatmu tetap hangat," Megan melipat kembali pakaian di tangannya, lalu memasukkan pakaian itu ke lemari. "Hana, kau tahu, Lily sudah besar sekarang. Tingginya bertambah begitu cepat. Usianya hampir lima tahun. Dia sangat peka dan pengertian. Terkadang kami mengunjungi Ibu Max. Hubungan kami masih tetap baik walau Max tiada. Karena Lily adalah cucunya, dan dia sangat menyayangi Lily, jadi kami terkadang ke tempat neneknya seminggu sekali. Dia juga datang menjengukmu beberapa kali, kan?" Megan diam sejenak. Beberapa menit kemudian, dia menghela nafas panjang, lalu menatao putrinya tersebut, "Hana ibu ...." tiba-tiba Megan terbelalak ketika melihat Hana, "Hana!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD