Good In Goodbye (12)

1418 Words
Laura menatap Dany yang tampak tak nyaman. Laura tersenyum, lalu merangkul Dany dan menyandarkan kepalanya ke bahu Dany. "Tak apa. Aku bisa menunggumu," ucap Laura kemudian. "Laura, maafkan aku. Aku mengecewakanmu. Tapi, aku akan berusaha ..." "Tak masalah, Sayang. Kini kita sudah menikah, dan aku tahu pernikahan kita hanya berdasarkan kemauanku. Jadi tak masalah jika aku sedikit bersabar lagi," "Terimakasih atas pengertianmu." Laura tersenyum, lalu memeluk Dany erat, "Setidaknya, sekarang kau menjadi milikku. Wanita itu, Hana Foster? dia tak bisa mengganggumu lagi, dan aku akan membuatmu melupakan wanita itu untuk selamanya. Satu jam kemudian. Dany menatap Laura yang tampak tidur di sampingnya. Dany memperbaiki selimut Laura lalu berbaring membelakangi Laura. Dia mencoba untuk menutup mata. Belum pernah dia bersebelahan dengan wanita lain dalam hidupnya kecuali Hana. Selama bertunangan dengan Laura, Dany menjaga jarak aman. Mereka memang bergandengan tangan, dan berpelukan, tapi mereka tak pernah satu ranjang sekalipun. "Lupakan dia, Dany. Sekarang kau punya hidup baru. Fokuslah pada keluarga kecilmu sendiri," Dany mengangguk mantap, lalu memejamkan matanya. Sementara itu, Laura menatap Dany dari belakang. Menatap punggung laki-laki yang kini menjadi suaminya itu. Laura menyeringai, lalu dengan sengaja mendekatkan diri kearah Dany dan memeluk Dany. Dany hanya diam. Dia menepuk lembut tangan Laura, istrinya yang harus dia cintai walau bukan untuk saat ini. Tiga hari kemudian, jenazah Max dimakamkan. Isak tangis memenuhi pemakaman Max. Hanya satu orang anggota keluarga yang tidak menangis disana. Dia adalah Lily. Mata jernih gadis itu terpaku menatap gundukan tanah yang berada di depannya. Tangan kirinya digenggam erat oleh ibu Max yang tak laon adalah neneknya, dan tangan kanannya menggenggam seikat bunga tak kalah erat. Megan yang juga berada disama berkali-kali menyapu air mata. Menatap cucunya yang terasa menyedihkan. Ayah tiada, dan ibu koma. Tak bisa Megan bayangkan, bagaimana keadaan Lily kedepannya. Namun, kekhawatiran Megan bisa sedikit mengendur. Karena gadis kecil itu tampak begitu tabah. Dia mendekat ke makam ayahnya, mengusap pelan pusara yang bertuliskan Max Carter tersebut, lalu meletakkan bunga di atas makam yang masih basah itu. "Ayah, jangan khawatir. Aku akan menjaga ibu," ucapan Lily membuat tangis semua orang pecah. Terutama kedua neneknya. Mereka merasa beruntung mendapatkan cucu yang pintar dan begitu menenangkan seperti Lily. Dia begitu mungil, tapi lebih kuat dari orang dewasa yang dengan umur jauh di atasnya. "Nenek, kapan ibu akan pulang?" tanya Lily begitu tiba di rumah setelah selesai pemakaman. Megan menggendong Lily, lalu membawa gadis kecil itu duduk di pangkuannya, "Lily rindu ibu?" tanya Megan kemudian. Lily mengangguk cepat, "Aku sangat merindukan ibu. Apakah ibu belum bisa pulang?" "Kalau kau sangat merindukan ibu, bagaimana jika kita menemui ibu besok?" "Aku bisa menemui ibu?" Lily tersenyum antusias. "Benar, kau bisa menemui ibu. Karena kau begitu merindukan ibumu. Ibumu juga pasti merindukanmu. Besok kita akan pergi bersama," "Asik, aku bisa menemui ibu!" Lily berlonjak kegirangan, dan tersenyum ceria. Keesokan harinya. Megan menepati janji kepada Lily. Dia membawa gadis kecil itu menemui Hana. Meski Hana belum sadarkan diri. Lily terdiam melihat ibunya yang terbaring dengan infus dan alat penunjang hidup lainnya. Lily menatap Megan dengan wajah polos, lalu kembali menatap Hana. "Nenek, apakah ibu sakit parah?" ucap Lily kemudian. "Ibu tidak sakit parah. Hanya saja saat ini ibu belum bisa bangun." "Lalu, kapan ibu akan bangun?" "Ibu lelah dan tertidur sebentar. Nenek akan selalu menemani ibu, dan berusaha membangunkan ibu. Kau tenang saja. Yang penting, sekarang sudah melihat ibu, kan? bagaimana, kau senang?" Lily mengangguk dengan cepat, "Ibu, jika sudah selesai istirahat, ibu bangun, ya. Lily merindukan ibu," ucapnya sambil mengecup tangan Hana. Megan tersenyum getir. Dia tak tahu kapan Hana akan terbangun. Bahkan, doktor di rumah sakit sekalipun, tidak bisa memberikan pernyataan pasti. "Lily sayang, tunggu disini dulu. Nenek pergi sebentar menemui doktor," "Baik, Nek. Katakan pada doktor untuk segera membuat ibu bangun jika ibu sudah selesai istirahat," "Pasti, sayang. Nenek pergi dulu, kau disini dulu dan jaga ibumu. Jangan menyentuh apapun, dan jangan berkeliaran. "Beres, Nek." Megan bergegas menuju ruang doktor untuk mengetahui perkembangan Hana. Di ruang berukuran 4 x 3 meter tersebut, Megan duduk dengan tangan bertumpu satu sama lain di pangkuannya dan menatap doktor dengan serius. "Jadi, bagaimana perkembangan Hana, Dok. Ini sudah empat hari dan dia masih belum sadarkan diri," ucap Megan dengan cemas. "Keadaannya saat ini terbilang stabil, namun ada beberapa faktor yang menyebabkan dia belum terbangun dari komanya. Benturan di kepala sangat keras, dan terjadi penyumbatan saluran darah di otak, itu menjadi salah satu penyebabnya," "Tapi Hana akan bangun kan, Dok. Dia tidak akan terbaring seperti itu selamanya, kan?" "Sebagai Doktor yang memantau perkembangan Hana, saya mengatakan bahwa dia akan siuman beberapa hari nanti. Namun, sebagai manusia biasa. Itu semua tergantung bagaimana Tuhan merencanakannya. Jangan pernah menyerah untuk berdoa." Setelah kurang lebih tiga puluh menit, Megan kembali ke ruang dimana Hana dirawat dan mendapati Lily tertidur di samping ibunya. Megan menghela nafas, mendekat ke arah Lily lalu mengelus kepala gadis kecil itu perlahan. "Kasihan sekali, sekecil ini sudah menanggung begitu banyak beban. Sabarlah, sayang. Ibu pasti akan segera bangun dan kita bisa bersama lagi." Tiga hari kemudian, Lily kembali menjenguk ibunya di rumah sakit. Kali ini dia terlihat agak cemas. Wajahnya memerah dan raut kesedihan di wajahnya jelas terlihat. "Nenek, kenapa ibu belum bangun juga? bukankah ibu sudah istirahat terlalu lama?" tanya Lily dengan polosnya. "Sayang, sepertinya ibu belum bisa bangun sekarang, Lily bersabar, ya," Megan mengelus kepala Lily dengan lembut. Lily semakin murung, dan kali ini dia meneteskan air mataku, "Ibu tak akan pergi jauh seperti ayah, kan? Lily rindu Ibu, Lily juga merindukan ayah, hiks ...." "Ssttt, sayang, jangan menangis. Ibu bisa mendengarmu. Lily tak ingin ibu ikut sedih, kan?" Lily menggeleng, namun dia tetap menangis. "Cucu Nenek yang malang," Megan memeluk Lily dengan penuh kasih sayang, "Lily, di atas sana. Ayah pasti melihatmu dan memperhatikanmu. Ibu juga pasti akan segera bangun. Jadi Lily jangan terlalu sedih. Nenek yakin, Ibu dan ayah juga pasti merindukan Lily." "Hikss, tapi ingin ibu," "Iya sayang, ibu disini. Lily berdoa ya, agar ibu segera bangun. Sekarang, seperti biasa nenek akan menemui doktor Lily bisa tunggu disini sebentar? atau mau ikut nenek?" "Lily tunggu disini saja," "Anak pintar. Jangan menangis lagi, nenek akan segera kembali." Megan keluar seperti biasa untuk menanyakan keadaan Hana. Setiap hari selalu seperti itu. Dia dan Lily mengunjungi Hana dan terus menanyakan tentang perkembangan putrinya tersebut, walau dia tahu jawaban doktor selalu sama. Beberapa menit kemudian. Lily yang murung keluar dari ruang rawat ibunya, dan duduk di kursi tunggu yang berad di luar ruangan. Dia menunduk dan kembali menangis tersedu-sedu. Kali ini kesedihannya benar-benar tumpah. Gadis kecil itu memikirkan ayahnya serta ibunya yang masih terbaring di dalam sana. "Ayah, Lily akan menjaga ibu. Tapi Lily mohon, ayah katakan pada ibu agar segera bangun. Ibu tidak boleh tidur terlalu lama, hiks ...." Lily mengusap air matanya beberapa kali, namun air matanya tetap tumpah dengan deras di pipi mungilnya. "Ayah, Lily rindu ayah, hiks ... tapi ayah jangan membawa ibu. Lily tak ingin ibu pergi jauh. Lily sedih sekali," ucapnya lagi sambil sesenggukan. Dari kejauhan, Laura berjalan di lorong rumah sakit, dia melihat-lihat kamar pasien dan secara tak sengaja melihat Lily yang duduk di depan ruang rawat ibunya. Laura berhenti sejenak. Dia mendekat perlahan, Lily yang masih menangis, tak menyadari keberadaan Laura, "Anak kecil ini, bukannya ...." Laura memperhatikan Lily yang menyembunyikan wajah di kedua lututnya. Laura kemudian mengitip ke ruang rawat. Dia terkejut mendapati Hana berada di dalam sana. Tanpa diduga, ternyata Hana dirawat di rumah sakit ayahnya. "Itu benar-benar dia. Mengapa dia ada disini?" Laura menjauh perlahan dari ruangan Hana, sebelum akhirnya dia hampir menabrak seorang doktor yang tak lain merupakan kenalannya. "Laura?" "Hai, Jessie." "Kau sedang apa disini?" "Aku ... hanya melihat-lihat ruang pasie," "Hooo, sudah bersiap-siap untuk mengambil alih rumah sakit rupanya." "Bukan begitu, tapi ... Jessie, itu ruangan siapa?" Laura menunjuk ruangan Hana yang tak jauh darinya. "Ah itu, seminggu yang lalu ada suami istri kecelakaan, kau lihat yang menangis disana? itu anak mereka. Sepertinya aku menenangkan dia dulu," Jessie hendak beranjak. Namun Laura menahannya. "Tunggu sebentar. Suami istri itu ... keadaannya bagaimana?" tanya Laura lagi. "Hah," Jessie menghela nafas berat, "Suaminya meninggal, dan istri masih koma hingga saat ini belum juga terbangun. Kasihan sekali anaknya," "Suami wanita itu sudah meninggal? gawat. Jika Dany tahu, dia pasti akan kembali pada wanita ini. Aku tak bisa membiarkan Dany mengetahuinya." "Omong-omong Laura, pengantin baru, bagaimana malam pertamamu, lancarkah?" Jessie tersenyum jahil ke arah Laura. "Yah, begitulah," ucap Laur adengan ekspresi kecut. "Kenapa ekspresimi begitu? apakah malam pertamamu kurang b*******h?" "Aku membenci malam pertamaku. Ya sudah, kau urus pekerjaanmu. Aku juga harus mengurus sesuatu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD