Laura langsung menghambur kearah Dany. Jelas sekali raut bahagia terpancar dari wajahnya. Hal yang pamerkan Dany di depannya adalah gaun pengantin putih, tanpa lengan, dengan ekor panjang yang Laura coba sebelumnya di butik.
"Kau membawa gaun untukku?" seru Laura dengan antusias memeriksa gaun tersebut.
"Hmm, aku membawanya dari butik. Ah, tidak, sebenarnya aku membelinya."
"Tapi, kenapa kau memilih yang ini? karena kau hanya melihatku memakai ini, kan? kau tidak tertarik dari awal. Kau bahkan menilai gaun yang aku pilih secara asal-asalan," Laura kembali cemberut.
"Tidak. Aku tidak menilai secara asal. Semua gaun yang kau tunjukkan memang bagus. Tapi, menurutku, ini yang paling cocok untukmu."
Laura perlahan tersenyum mendengar perkataan Dany, "Terimakasih, sayang," ucap Laura sambil memeluk Dany erat.
"Iya, sama-sama,"
***
Hana duduk termenung di sofa ruang tamu. Semakin mendekati hari pernikahan Dany, Hana tampak semakin murung. Kini Hana telah kembali ke kota bersama Max dan Lily. Hari ini adalah hari ke dua mereka kembali, dan juga tiga hari sebelum pernikahan Dany. Walau Hana telah melepaskan Dany sepenuhnya, bahkan dari saat dia memutuskan untuk meninggalkan Dany dan juga saat dia memutuskan untuk menikah dengan Max, tapi tetap saja, di hati kecil Hana, masih memiliki rasa keberatan tersendiri. Hal itu membuat Hana frustasi. Dia berulang kali meyakinkan dan menenangkan dirinya sendiri. Bahwa memang beginilah akhir dari kisah mereka. Hana terlalu mencintai Dany hingga dia harus meninggalkan Dany karena ketakutannya. Yah, setidaknya saat ini dia masih bisa menganggap Dany sebagai teman lama.
"Sayang, kau sedang apa?" Max keluar dari kamar ketika mendapati Hana tidak berada di sampingnya. Max langsung mendatangi Hana dengan matanya yang setengah tertutup, lalu merebahkan kepala ke pangkuan Hana.
"Max, kau terbangun?" tanya Hana kemudian sambil mengelus kepala suaminya.
"Hmm, aku terbangun dan kau tak ada di sampingku."
"Aku hanya duduk disini, belum bisa tidur,"
"Lily sudah tidur?"
"Sekarang sudah pukul dua pagi, Max. Tentu saja sudah tidur,"
"Kalau begitu, kau juga harus tidur."
"Aku akan tidur nanti, kau tidurlah duluan,"
Max menyamankan dirinya, lalu memeluk pinggang Hana, "Aku ingin tidur denganmu," ucapnya manja.
"Tentu saja kau tidur denganku, memangnya mau tidur dengan siapa lagi, hanya saja, aku akan akan menyusul nanti,"
"Mmmm, aku tak mau sendiri. Ya sudah, kalau begitu aku akan tidur disini, bersamamu."
"Max, jangan manja. Kau harus bekerja besok, jadi kau harus cukup tidur,"
"Sayang," Max perlahan bangun, lalu mengecup pipi Hana secara mendadak, "Jika kau tak bisa tidur, bagaimana jika kita berolahraga sebentar?"
"Olahraga apa? jangan aneh-aneh,"
"Kau tahu maksudku," Max mengecup leher Hana, sambil tersenyum nakal.
"Max, suasana hatiku tidak bagus malam ini,"
"Aku tak tahu mengapa suasana hatimu buruk, tapi aku akan membuatmu tidur nyenyak, bagaimana?" Max kembali mendekat, kembali mengecup lembut leher Hana, berkali-kali menurun sedikit demi sedikit hingga ke d**a. Max berhenti, lalu memeluk Hana erat, membenamkan dirinya ke d**a Hana yang lembut dan hangat, "Aku suka sekali wangi ini, dan rasa lembut ini, dan juga rasa hangat ini, semuanya, aku menyukai semua yang berasal dari istriku," ucapnya sambil menutup mata.
"Max, kau bicara tak jelas karena sedang mengantuk, lebih baik kau kembali tidur,"
Max mengeleng, "Aku tidak mau tidur. Sudah kukatakan, aku akan membuatmu tidur nyenyak," ucapnya. Tangan Max perlahan menyusup masuk ke dalan piama Hana, dan mendarat pada kedua gundukan lembut namun kenyal. Max perlahan menggerakkan tangannya, sangat hati-hati agar bisa membuat Hana rileks.
Hana tak bereaksi apa-apa. Dia hanya membiarkan Max melakukan apapun, karena bagaimanapun, Max adalah suaminya, dan Max jelas sangat mencintai Hana. Tak adil bagi Max, jika Hana menghindar hanya karena dirinya bermasalah dengan masa lalu. Yah, Dany hanya masalalu Hana, dan Hana harus benar-benar melepaskannya.
"Max, bagaimana kau akan membuatku tidur nyenyak? saat ini yang kau lakukan bukan untuk membuatku tidur," ucap Hana sambil menggenggam tangan Max yang berada di dua gundukan miliknya.
"Aku harus mengganggumu, memijatmu dengan lembut, kau tidak perlu melakukan apapun, aku yang akan melakukannya,"
"Baiklah, mari kita lihat bagaimana cara kau memijat,"
Max tersenyum, lalu kembali membenamkan dirinya ke tubuh Hana, dan tentu saja cara itu ampuh, setengah jam kemudian, Hana benar-benar terlelap dengan nyaman di samping suaminya.
Hari pernikahan tiba. Dari pagi, Dany merasa gugup. Bukan karena dia akan melangsungkan pernikahan. Namun, karena hatinya bimbang. Dany benar-benar berusaha menata hatinya. Dia benar-benar ingin menjadi suami yang baik bagi Laura. Tapi, semakin jarum jam berputar, dia semakin ragu. Dany mondar-mandir tak keruan karena gelisah.
"Tuan Brown, anda harus mengenakan stelan anda," ucap seorang pemuda yang membantu dalam pernikahannya.
"Letakkan saja, aku akan mengenakannya nanti,"
"Acara akan dimulai dalam tiga jam, mempelai wanita sekarang sedang bersiap-siap,"
"Baiklah, terimakasih. Aku akan bersiap sendiri, kau tak perlu membantuku,"
"Baik, Tuan." Pemuda itu menunduk, lalu keluar dari ruangan.
Dany mendekat dan menatap stelan berwarna hitam tersebut. Dia menarik nafas panjang berkali-kali, kembali meyakinkan hatinya, bahwa keputusan yang dia ambil sudah sangat benar. Perlahan Dany mengambil setelannya dan memutuskan untuk berganti pakaian.
Tok, tok, terdengar ketukan diluar pintu sesaat setelah Dany berganti dengan stelannya. Pintu perlahan terbuka. Tampak teman-teman Dany dari tempat kerja mengunjunginya di ruang mempelai pria. Jika bisa dilukiskan, wajah mereka tampak lebih bahagia dan bersinar dibandingkan dengan wajah Dany saat ini. Padahal dia yang akan melangsungkan pernikahan.
"Wow, lihat ini, mempelai pria sudah mengenakan stelannya," ucap salah satu teman Dany.
"Kalian baru tiba?" tanya Dany kemudian.
"Benar, teman kami akan menikah, tentu saja kami harus datang lebih cepat daripada orang lain," sambung salah seorang teman Dany yang mengenakan stelan abu-abu.
"Terimakasih sudah datang,"
"Hei, kau gugup ya? mengapa terlihat lemas sekali? ayo semangat, kau pasti bisa mengucapkan janji tanpa salah. Mari kita berfoto dulu sebelum kau melangkah ke altar, semua ayo berfoto!"
Teman-teman Dany yang berjumlah lima orang berkerumun dan berfoto bersama. Setelah itu, ada banyak orang yang keluar masuk dari ruangan tersebut. Tamu satu persatu berdatangan dan memasuki ruang mempekai untuk berfoto. Namun, sudah sekian lama, orang yang benar-benar diharapkan Dany untuk datang, justru tak terlihat batang hidungnya. Yah, Dany berharap untuk melihat Hana sekali lagi, sebelum dia mengucap janji pernikahan. Dany terus saja menatap pintu ruangannya. Setiap pintu terbuka, Dany antusias, namun berakhir dengan kekecewaan. Dany menghela nafas berkali-kali dan terus saja menatap pintu tersebut.
"Hana, kau dimana?"