Good In Goodbye (11)

2008 Words
Dany terus mondar-mandir di ruangannya. Dia mengepalkan tangan berkali-kali. Hatinya berat kali ini, terus saja dia menatap foto Hana yang masih dia simpan di ponselnya. Dany menghela nafas lalu duduk dengan lemah. "Aku harus bagaimana? sialan, aku sangat bingung. Jika aku melanjutkan pernikahan ini, aku tak tahu apa yang akan terjadi, apa aku bisa bahagia? apa aku bisa mencintai Laura? namun, jika aku batalkan, maka aku akan mengecewakan Paman Brian, aku akan menyakiti Laura. Dany, tolong fokuslah. Jangan begini. Lagipula kau mengharapkan apalagi? Hana sudah menjadi milik orang lagin, Ha-Hana ... ah, aku benar-benar ingin melihatnya hari ini," Dany memukul sofa dengan kesal, "Setidaknya, kau harus melihatku menikah, Hana. Aku ingin kau melihatku mengenakan stelan ini, dan merasakan kesakitan yang juga aku rasakan. Setidaknya kau tak boleh egois sampai akhir. Datanglah, dan lihat aku," gumam Dany dengan lemah. Tok, tok, "Dany, kau sudah siap-siap?" Doktor Brian masuk ke ruangan Dany. Dia tersenyum ketika melihat Dany yang tampak cemas dengan raut wajah agak pucat, "Dany, kau kenapa? gugup, ya?" tanya Doktor Brian lagi. "Paman ... aku baik-baik saja. Iya, mungkin agak sedikit gugup," ucap Dany berusaha menutupi kecemasan hatinya dengan berbohong. "Hahaha, gugup sebelum pernikahan itu biasa. Kau santai saja. Dan, kenapa kau masih memanggilku Paman? sebentar lagi kau akan menjadi menantuku. Tak bisakah kau memanggilku ayah? kali ini kau harus melakukannya, karena tak pernah ada menantu yang memanggil mertuanya Paman," "Iya, A-Ayah," "Nah, begitu lebih baik. Ayah keluar dulu, jangan gugup, setelah mengucapkan janji, semua akan baik-baik saja," "Terimakasih, Ayah," Doktor Brian menepuk pundak Dany yang sebentar lagi akan menjadi menantunya lalu keluar ruangan. Dany kembali duduk sambil menatap layar ponselnya, "Hana, apa nanti kau akan datang?" Sementara Dany resah dengan keadaannya, di rumahnya Hana duduk termenung dengan tatapan kosong. Entah apa yang dia pikirkan, namun dia sejak tadi tak beranjak sedikitpun, dan juga tak mengedipkan matanya. "Sayang, kau sedang melamunkan apa?" tanya Max sambil duduk di sofa dengan membawa majalah di tangannya. "Max, aku hanya duduk saja. Tidak melamun," "Hmm, mana mungkin, dari tadi aku perhatikan, kau tak beranjak dari tempatmu dan tatapanmu kosong, apa ada masalah?" "Tidak ada, Max. Aku baik-baik saja." "Baiklah," Max membuka majalahnya, namun tiba-tiba pandangannya teralihkan dengan sebuah kertas undangan di atas meja, "Sayang, bukannya ini undangan pernikahan Dany?" ucap Max setelah membaca undangan tersebut, "Ya ampun. Pernikahannya hari ini. Kau lupa bahwa Dany akan menikah hari ini?" "Benarkah? ah, aku benar-benar tidak ingat," jelas sekali yang Hana katakan adalah bohong belaka. Bagaimana dia bisa melupakan hari pernikahan Dany, hari dimana dia harus melepaskan Dany seutuhnya. "Sayang, kenapa kita tak pergi? ayo bersiap, kita harus menghadiri pernikahan Dany," ucap Max lagi. "Lebih baik tak pergi. Lagipula, sekarang sudah terlambat untuk pergi. Kita kirimkan hadiah, dan kartu ucapan selamat saja, menyusul." Max bergerak dari duduknya yang tadi di depan Hana, kini berpindah ke samping Hana, "Jangan begitu, Dany sudah mengundang kita, tidak baik jika kita tak pergi. Bukankah Dany sahabat baikmu? tak masalah jika sedikit terlambat, hmmm," ucap Max sambil mengecup pipi Hana, dan menyandarkan kepalanya ke bahu Hana. "Max, kau berat," Hana mendorong kepala Max menjauh, namun Max semakin mendekat dan memeluk Hana erat. "Sayang, ayo kita pergi, hmmm. Aku belum pernah pergi ke pesta pernikahan temanmu sekalipun," Max berbisik manja. "Mulai lagi. Dari pagi kau bertingkah begini, kenapa hari ini manja sekali?" "Ini adalah kesempatanku. Lily sedang di rumah ibumu, jadi aku akan menggantikan Lily untuk bermanja denganmu setiap detik," "Ya ampun, kau ini." "Ayolah kita pergi. Setelah dari pernikahan, kita pergi ke taman kota, lalu ke tempat hiburan, pokoknya hari ini aku ingin berdua saja denganmu, hmmm, ayo sayang," "Iya, iya, kalau begitu ganti baju dulu," "Aku tak perlu ganti baju. Lihat, aku sudah rapi, dan tentu saja tampan," "Baiklah Tuan Tampan, kalau begitu aku saja yang ganti baju, kau tak ingin istrimu mengenakan piama di pesta orang lain, kan?" "Hahaha, baiklah, jangan dandan terlalu lama, kau sudah cantik, jika lebih cantik lagi, aku akan pingsan," "Iya, sayang, dasar kau ini," Hana beranjak untuk mengganti pakaiannya. Yah, seperti kat Max. Mengesampingkan perasaan Hana, Dany adalah sahabat baik Hana, bukan hanya baik, bahkan sahabat paling terbaik, tak sopan rasanya jika Hana tidak menghadiri pernikahan Dany, walau dia harus menahan hatinya yang bergejolak. Empat puluh menit kemudian, staff acara sudah memanggil Dany di ruangannya. Dany melangkah dengan berat. Melihat sekeliling mencari-cari keberadaan Hana namun tak kunjung terlihat jua. Kini Dany sudah berdiri di altar, dia sekali lagi menatap ke pintu, walau dia tahu, Hana mungkin saja tak akan datang, Hana tak akan melihatnya mengenakan stelan pernikahan. Dany menghela nafas, lalu menunduk sesaat, "Hana, kau benar-benar tidak datang?" batin Dany terasa sedikit remuk. Di sisi lain, Hana dan Max telah berada di dalam mobil, mereka melaju cukup kencang. Max sesekali menatap istrinya yang duduk di samping. Istrinya yang tampak anggun dengan gaun berwarna pastel yang ia kenakan. Rambut disanggul rapi, san sapuan lipstik coklat yang tampak elegant. Hana tersenyum karena Max terus saja memperhatikannya. Dia menggelengkan kepala, dan beberapa kali memukul bahu suaminya yang sedikit jahil. "Max, berhenti menatapku. Fokuslah menyetir" ucap Hana yang tak tahan akan kejahilan suaminya. "Bagaimana aku bisa berhenti melihatmu? ya ampun, istriku sangat cantik." "Kau baru sadar sekarang? bahwa istrimu ini sangat cantik?" "Maksudku, hari ini kau lebih cantik dari biasanya. Lihatlah kulit mulus itu," Max menyentuh pipi Hana, dan sekali lagi Hana memukul bahunya. "Max, berhenti bercanda. Lihatlah, kita sudah sangat terlambat," "Hahaha, aku rasa upacara sudah mulai, jadi kita tak perlu terburu-buru. Oh iya, sayang. Setelah dari pernikahan, kita akan kemana? pantai? taman?" "Nanti saja kita pikirkan, menyetirlah dulu dengan benar." Di aula pernikahan. Adegan yang dinantikan tiba. Adegan romantis yang selalu ada di drama-drama. Adegan dimana ayah mempelai wanita menggandeng putrinya berjalan menuju altar, sang ayah menyerahkan tangan putrinya kepada laki-laki yang nantinya akan menggantikan dia menjaga putrinya. Laki-laki yang nantinya akan menjadi sandaran dan teman hidup untuk putrinya tercinta. Dany menyambut tangan Laura begitu ayah dan putri itu tiba di depan altar. Doktor Brian turun dan duduk menatap putrinya dengan penuh kasih sayang, sementara Dany Laura berbalik menghadap pendeta. Tiba disaat terpenting, sang pendeta menoleh ke arah Dany dengan berwibawa, "Dany Brown, apakah kau menerima Laura Still sebagai istrimu? Dany hanya diam. Dia bahkan tak mendengar perkataan pendeta sama sekali, "Dany Brown," pendeta kembali memanggil Dany. "Sayang, jangan diam saja, cepat jawab," bisik Laura sambil menyenggol bahu Dany. "Ah, maaf," Dany tersadar, lalu menatap pendeta di depannya. "Baiklah, saya ulangi. Dany Brown, apakah kau bersedia menerima Laura Still sebagai Istrimu? menyayangi seumur hidup, melewati susah senang bersama, saling menghormati dan menghargai?" "Ya, saya menerima." Dany menjawab dengan singkat. Bruk! bersamaan dengan janji pernikahan Dany, Hana menghadapi tragedi lain dalam hidupnya. Hana dan Max yang tadinya hendak menuju ke pernikahan Dany, mengalami kecelakaan. Mobil bertabrakan dengan truk besar, dan terbalik. Darah mengucur deras dari kepala Hana. Hana menatap nanar, dia tak bisa bergerak sama sekali. Hana mencoba meraih Max yang berada di sampingnya. Namun, tangannya terlalu lemah untuk terangkat. Dia bahkan tak bisa melihat apapun karena kesakitan yang bersarang di kepalanya. "M-Max ... Max ...." Hana berucap tak terdengar. Beberapa menit kemudian semua benar-benar gelap. Tangan Hana melemah, dan terkulai tak sadarkan diri. Di Aula pernikahan. Para tamu bertepuk tangan dengan gembira. Dany masih menatap ke arah pintu. Dia akhirnya menyerah, dia tersenyum kecut dan menundukkan kepalanya. "Akhirnya, dia benar-benar tak datang. Dia tetap egois seperti biasa," batin Dany. Kini Dany sudah melepas Hana sepenuhnya. Walau mungkin akan sulit, namun Dany akan berusaha menjalani hidupnya dengan baik, tanpa bayang-bayang Hana. *** Megan berlari dengan panik di lorong rumah sakit. Dia baru mendapat kabar tentang kecelakaan putrinya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya gemetar tatkala melihat Hana yang bersimbah darah. Hana secepatnya mendapatkan penanganan. Dia dilarikan ke ruang operasi, sementara Max masih di ruang gawat darurat. Max mengalami gagal jantung. Dokter berusaha untuk mendapatkan Max kembali dengan alat kejut jantung. Namun, beberapa menit berlalu. Max tak bisa diselamatkan. Jam kematian Max diumumkan dan itu membuat Megan semakin stres. Megan yang dikejutkan atas kehilangan menantunya semakin cemas akan keadaan putrinya. Sudah hampir satu jam berlalu. Hana belum juga keluar dari ruang operasi. Megan mondar-mandir sambil berdoa agar putrinya baik-baik saja. Setelah satu jam lewat dua puluh menit, dokter keluar dari ruang operasi. Megan langsung menghambur ke arah Dokter tersebut dengan wajah pucatnya. "Dokter. Bagaimana Hana? bagaimana putriku, dia baik-baik saja, kan?" tanya Megan dengan gugup. "Dua buah tulang rusuknya patah, dan dia juga mengalami pendarahan perut. Lalu ... ada benturan keras di kepalanya ..." "Tapi putriku bisa selamat, kan!" "Masa kritisnya belum lewat. Jika dia bisa melewati malam ini dengan baik, maka kemungkinan selamat akan ada, berdoa saja." Dua puluh menit kemudian, Hana keluar dari ruang operasi. Megan berlari menatap putrinya yang tak sadarkan diri. Kini Hana berada di ruang rawat dengan berbagai alat penunjang hidup. Megan hanya bisa bersabar dan berdoa agar Hana bisa segera sadar. Dalam kekalutan yang dia rasakan, tiba-tiba ponsel Megan berdering. Megan menarik nafas panjang, lalu mengusap air matanya sebelum mengangkat telepon tersebut. "Halo, Nenek," terdengar suara Lily di ujung telepon. "Hai, Lily, kau belum tidur?" tanya Megan dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin. "Kapan nenek kembali? apa nenek sudah bertemu ayah dan ibu? tanyakan pada mereka apakah malam ini akan menjemputku," "Sayang, ayah dan ibumu ... sepertinya tidak bisa menjemput malam ini. Nenek juga belum bisa pulang karena ada urusan. Apakah tak masalah jika kau tidur di rumah bersama pengasuh malam ini?" "Apakah ada masalah darurat, Nek?" "Sayangku memang pintar. Iya, sayang. masalah darurat hingga nenek, ayah dan ibumu tak bisa pulang malam ini." "Baiklah, kalau begitu aku akan bersama pengasuh." "Terimakasih, sayang." Megan menutup teleponnya. Dia kembali terisak. Namun, dia segera mengusap air matanya dan menatap Hana yang tampak kesakitan. "Hana, bangunlah, Ibu mohon. Max, hiks ... Max sudah pergi. Ibu mohon ,kau harus bertahan. Demi Lily, jangan menyerah, sayang." Megan menahan tangisnya dengan sekuat tenaga. Dia tak ingin kehilangan Hana. Meski dahulu dia bisa dikatakan kurang bertanggung jawab terhadap putrinya. Namun, sejak bercerai, Megan telah berubah. Sekarang dia hanya punya Hana, dan dia lebih mencintai putrinya tersebut. Dua jam berlalu, Megan yang tadinya tertidur dikejutkan dengan kondisi Hana yang tiba-tiba menurun. Megan panik, dia memencet tombol darurat, dan beberapa menit kemudian doktor datang memeriksa. Megan yang menunggu di luar, benar-benar khawatir hingga gemetar. Doktor dan para perawat tampak sibuk di dalam sana. Keadaan sepertinya sangat serius. Bahkan doktor menggunakan alat kejut jantung beberapa kali serta melakukan cpr. "Dokter, bagaimana keadaan Hana?" tanya Megan begitu doktor keluar dari ruangan putrinya. "Sempat terjadi gagal jantung, Hana bisa bertahan dengan bantuan peralatan yang ada. Tapi ..." "Tapi apa?" "Hana sepertinya tidak akan bangun dalam waktu dekat," "Maksud doktor Hana koma?!" Megan menutup mulutnya dengan cemas. "Bisa dikatakan begitu. Aku akan terus memantaunya. Semoga semangat hidupnya bisa membuat keadaannya lebih baik. Teruslah berdoa," Doktor membungkuk dan kemudian berlalu meninggalkan Megan. Megan kembali ke ruangan Hana, menatap putrinya dengan sendu, dari jarak satu meter. "Hana, kau tak boleh begini. Kau tak boleh menyerah. Ibu tahu kau kuat. Ibu akan menjagamu." Di villa yang dibeli oleh Doktor Brian sebagai hadiah pernikahan, Dany berdiri di depan jendela kaca besar dengan pemandangan taman di depannya. Dia tak menikmati eksotisnya taman dengan lampu-lampu tersebut. Dia juga tidak menikmati langit yang tampak kelabu di atas sana. Yang dilakukan Dany hanya melamun. Pikirannya kosong, begitu pula dengan pandangannya. Beberapa menit kemudian, Laura datang dan memeluk Dany dari belakang. Dany kaget, dia ingin melepaskan pelukan Laura darinya. Namun, setelah berpikir, Dany akhirnya mengurungkan niat. Yah, Laura sekarang memang berhak memeluknya. Justru dia yang jahat jika melarang Laura melakukan itu. Laura tidak bersalah, dan Dany tak ingin Laura terkena imbas akan perasaannya kepada Hana yang belum juga selesai. "Sayang, kau sedang apa? ayo kita tidur," ucap Laura sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Dany yang hangat. "Kau duluan saja, aku belum mengantuk," jawab Dany singkat. "Kau menyuruhku tidur duluan? sayang, kita sudah menikah. Malam ini, malam bulan madu kita, kita seharusnya melakukan ... itu," Dari berbalik, lalu menatap Laura lekat. Laura tersenyum, perlahan dia mendekat lalu mengecup bibir Dany. Mereka berciuman pelan selama beberapa menit, sebelum akhirnya Dany menghindar. "Maaf, Laura. Aku belum siap."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD