Good In Goodbye (9)

1223 Words
Lima hari sebelum pernikahannya. Dany akhirnya pergi menemani Laura untuk memilih gaun pernikahan. Awalnya, dia tak tertarik untuk pergi, namun karena paksaan dari Laura, Dany tak punya pilihan lain. Lagipula, dia sudah berjanji untuk tidak mengecewakan Laura dan ayahnya lagi. Sudah hampir satu jam lamanya. Dany duduk di sofa menunggu Laura yang memilih-milih gaun pengantin. Dia menyerahkan semua kepada Laura. Melakukan tugasnya dengan memuji apapun pilihan Laura dan menghabiskan waktunya dengan merenung. Dany masih bertanya-tanya di hati kecilnya. Apakah keputusan yang dia buat sudah benar. Apakah dia nantinya bisa mencintai Laura seperti dia mencintai Hana. semua tidak ada yang pasti. Dany tahu itu. Orang bilang, cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Itulah yang Dany harapkan terjadi padanya. Dia berharap suatu hari nanti, dia bisa menghapus bayangan Hana dari pikiran dan hatinya, lalu digantikan oleh Laura yang jelas akan menjadi istrinya. "Sayang, bagaimana dengan ini, apa ini bagus?" Laura berdiri di depan Dany sambil membawa sebuah gaun putih tanpa lengan dan berekor panjang. "Iya, itu bagus. Sepertinya cocok untukmu," jawab Dany singkat. "Kalau yang ini, bagaimana?" Laura menunjukkan gaun yang berada di tangan kirinya. Gaun tersebut sedikit lebih simpel, dan menjuntai hanya sebatas mata kaki. "Itu juga bagus," ucap Dany lagi. "Dari tadi kau mengatakan semuanya bagus. Aku harus memilih yang mana?" Laura mulai terlihat kesal. "Laura, semuanya bagus karena kau yang mengenakannya," ucapan Dany membuat Laura tersenyum senang. "Benarkah? kalau begitu, bagaimana jika aku coba yang ini?" Laura menunjuk gaun berekor panjang yang ada di tangan kanannya. "Coba saja, aku akan menunggu disini," "Baiklah, jangan kemana-mana, kali ini kau harus menilai dengan benar," Laura mundur beberapa langkah. Pemilik butik bersama stafnya kemudian menutup tirai yang ada di depan Dany, karena Laura akan mencoba gaunnya. Dany menunggu di luar selama kurang lebih lima belas menit. Begitu tirai dibuka, Dany tertegun sejenak. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Laura. Laura berpose dengan senyum semanis mungkin untuk menarik perhatian Dany. "Hana ...." Dany bergumam. Raut wajah Laura yang tadinya tersenyum langsung berubah dengan cepat. "Dany, kau baru saja memanggil siapa?" "Ha ... ah, aku ... aku tidak memanggil siapapun. Kau ... terlihat cantik dengan gaun itu," "Dany!" "Kau mau coba yang lainnya?" "Tak perlu memilih gaun pengantin, jika kau tidak fokus!" Laura menutup tirai di depannya dengan kesal. Lima belas menit kemudian, dia sudah berganti pakaian. Begitu keluar dari ruang ganti, Laura bergegas keluar dari butik tersebut dengan perasaannya yang terbakar. Dany berlari untuk menyusul Laura. Dia merasa bersalah karena telah membuat Laura kecewa lagi. Dany merasa sangat kacau dan mengutuk dirinya sendiri. "Laura, mau kemana? kita belum selesai memilih gaun," Dany menangkap tangan Laura. "Kita? kau bahkan tak tertarik untuk memilih gaun, aku melakukannya sendiri!" seru Laura dengan marah. "Maafkan aku, aku tak bermaksud begitu. Ayo kita kembali ke dalam dan memilih gaun kesukaanmu," "Tak perlu, kau saja yang pergi!" Laura masuk ke mobilnya lalu menutup pintu dan mengunci pintu mobil dari dalam. "Laura, maafkan aku!" seru Dany sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil. Laura kemudian menurunkan kaca mobil, lalu menatap Dany tajam, "Kau sangat menjengkelkan. Kau membuatku marah!" Laura menghidupkan mobilnya lalu bersiap untuk tancap gas. "Kau mau kemana?" "Bukan urusanmu!" Laura menekan pedal gas dengan geram. Mobilnya melaju dengan cepat meninggalkan Dany yang kecewa pada dirinya sendiri. *** "Laura, kenapa wajahmu cemberut begitu?" tanya Doktor Brian begitu melihat Laura yang kesal pulang ke rumah. "Dany mengesalkan. Kami pergi memilih gaun, tapi alih-alih itu, dia malah tidak fokus padaku," jawab Laura sambil melempar tas tangan yang dia bawa ke sofa, dan menghempaskan dirinya ke sofa yang sama. "Sepertinya kau sangat kesal," ucap Doktor Brian lagi sambil tersenyum. "Tentu saja kesal, bisa-bisanya dia mengabaikanku begitu saja," Doktor Brian menghela nafas, lalu duduk di samping putrinya tersebut, "Laura, ayah tanya sekali lagi. Kau yakin dengan pernikahan ini?" Doktor Brian menggenggam tangan Laura dengan penuh kasih sayang. "Mengapa ayaj menanyakan hal itu lagi? cukup, ayah. Itu tidak membuat perasaanku membaik." "Ayah peringatkan sekali lagi. Dany anak yang baik. Tapi dia tidak mencintaimu. Dia terpaksa menikah karena ayah yang memaksa. Lihatlah, ini hanya masalah kecil sebelum pernikahan. Kedepannya akan bergitu banyak masalah lagi, karena kalian tidak sejalan." "Ayah ingin aku membatalkan pernikahan ini? ayah ingin keluarga kita malu," "Bukan begitu. Kebahagiaanmu lebih penting bagi ayah." "Ayah, tak masalah jika dia tidak mencintaiku. Yang penting aku mencintainya," "Tapi tidak ada timbal balik, Laura. Dany, dia hanya terlalu baik, dan menerimamu karena hutang budiny. Ayah tak ingin kalian saling menyakiti satu sama lain." "Aku tidak mau. Pokoknya aku harus menikah dengan Dany, titik!" "Baiklah, jikankau bersikeras. Tapi, jika ada masalah seperti ini lagi, kau harus bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin. Diskusi yang baik dengan Dany. Jangan meluapkan segala amarahmu, yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar. Kau harus belajar menerima kekurangan bahwa Dany tidak mencintaimu, dan bersikap bijaksana. Ayah berharap yang kau katakan benar, bahwa suatu hari , perasaan Dany akan berubah. Dia akan mencintaimu secara perlahan. "Dia akan mencintaiku. Aku Pastika itu," "Baiklah. Sekarang tenang, pergilah temui Dany dan selesaikan masalah kalian." "Tidak. Mengapa aku duluan yang harus menemuinya? di kasus hari ini, dia yang salah! dia yang harusnya kemari dan meminta maaf padaku!" "Lihatlah, sifat keras kepalamu membuat ayah khawatir." "Argh, aku kesal sekali. Aku ingin tidur saja, jangan ganggu aku." Laura beranjak naik menuju kamarnya. Doktor Brian hanya menggelengkan kepala melihat putrinya yang bersikap dengan penuh emosi tersebut. Pukul delapan malam. Sudah lima jam berlalu sejak Laura mengurung diri di dalam kamar. Doktor Brian mencoba untuk memanggil Laura, agar putrinya itu keluar kamar untuk makan malam. Namun, percuma saja. Laura bahkan tak menjawab panggilan Doktor Brian sama sekali. Beberapa menit kemudian, bel berbunyi. Doktor Brian segera membuka pintu. Tampak Dany datang, dengan membawa tentengan tas besar di tangan kanannya. "Dany," "Selamat malam, Paman," Dany sedikit membungkuk. Dia penuh dengan kesopanan. Hal inilah yang membuat Doktor Brian menyukainya dan membujuk Dany untuk menikahi Laura, walau Dany tidak cinta. "Dany, silahkan masuk," ucap Doktor Brian kemudian. Dany melangkah masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Dia kemudian menengadah ke tangga. Doktor Brian tahu, bahwa Dany sedang mencari Laura. "Dia tidak mau keluar kamar sejak tadi," ucap Doktor Brian kemudian. "Sepertinya dia masih kesal denganku," sambung Dany. Doktor Brian duduk di depan Dany, lalu tersenyum tenang, "Dany, aku tahu Laura agak keras kepala dan sangat emosional. Aku harap, kau bisa bersabar menghadapinya. Dia memang sedikit sulit, tapi dia benar-benar mencintaimu." "Aku tahu, paman." "Dany, kapan kau akan belajar memanggilku, ayah?" "Ah, maafkan aku, Paman. Aku ..." "Tak masalah, pelan-pelan saja. Sekarang, coba kau bujuk dia. Dia belum makan malam," "Baik, aku izin ke kamar Laura," Dany melangkah pelan menuju lantai dua. Sesampainya di depan pintu kamar Laura, Dany mengetuk pintu tersebut pelan. "Laura, ini aku," ucap Dany kemudian. Tak ada jawaban dari dalam sana. Dany kembali mengetuk, "Laura, buka pintunya." Laura masih membisu. Dany tahu, bahwa Laura masih kesal. Kekesalan itu bisa berlanjut hinga berhari-hari jika terus didiamkan. "Laura, buka pintunya. Lihat apa yang aku bawa," Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Tampak Laura dengan wajah cemberut berbalik setelah membuka pintu, dan kembali duduk di tempat tidurnya. "Kau masih marah?" tanya Dany dengan lembut. Namun, Laura masih tidak menjawab. "Lihat, aku membawa sesuatu untukmu," Dany memberikan tas yang sejak tadi dia jinjing kepada Laura. Laura dengan malas-malasan membuka tas tersebut. Begitu mengetahui apa yang ada di dalam tas itu, raut wajah Laura langsung berubah. Matanya berbinar-binar dan senyum cerah menghiasi wajahnya. "Sayang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD