"Mawar merambat? ah, benar, ternyata itu bunga mawar. Tapi, kenapa kau bisa hapal dengan rumah ini? bahkan kau tahu dengan apa yang ditanam di depannya."
"Karena ... karena aku dulu tinggal di lingkungan ini,"
"Ah, begitu." Peter manggut beberapa kali.
Hana kembali berpikir. Rumah milik Dany, bagaimana mungkin bisa menjadi milik orang lain? kecuali, Dany memang menjualnya.
"Tuan Hamilton, apa kau membeli rumah ini dari seseorang?"
"Hmm, benar. Aku membelinya dari seseorang,"
"Ternyata benar, dia menjual rumah ini," gumam Hana dengan ekspresi sedih.
"Kau mengenal pemilik rumah ini sebelumnya?"
"T-Tidak juga. Aku hanya tak menyangka rumah ini sudah dijual. Sudah berapa lama kau membeli rumah ini?"
"Lama sekali," jawab Peter berbohong. Faktanya, dia baru membeli rumah tersebut dua minggu yang lalu. Demi memenuhi keinginan Laura. Dia bahkan belum melihat isi rumah itu.
"Ah, begitu. Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu," Hana sedikit membungkuk lalu berkonsentrasi untuk menentukan arah.
"Kau mau kemana?" tanya Peter begitu Hana berbalik.
"Mau ke toserba sana, tak jauh dari stasiun."
"Aku akan mengantarmu."
"Tak perlu, Tuan. Aku menghapal tempat ini, aku bisa jalan sendiri."
"Tak masalah,"
"Aku tak ingin merepotkan. Terimakasih atas niat baiknya."
"Aku juga ingin pergi ke toserba,"
"Tapi ..."
"Ke arah sana, kan? ayo pergi,"
Peter berjalan di depan Hana tanpa bisa Hana mengelak. Kini mereka berjalan beriringan. Disepanjang perjalanan mereka Hana diam, saling berada di pikirannya masing-masing. Peter menatap Hana dengan takjub. Bahkan dia hampir tersandung karena sibuk menatap Hana. Hana benar-benar menghapal lingkungan itu. Dia bahkan tahu, ada pohon di pinggir jalan. Posisi tempat sampah, dan juga tembok-tembok rumah, Hana hapal semuanya.
"Kita sudah tiba," ucap Hana begitu mereka tiba di toserba.
"Wah, kau benar-benar menghapal lingkungan ini? luar biasa sekali. Kau bahkan tak tersandung sedikitpun," Peter bertepuk tangan dengan heboh.
"Karena tempat ini spesial bagiku. Jadi aku mengetahui tata letak lingkungan ini."
"Kau bisa saja diangkat menjadi Walikota jika begini,"
"Hahaha, mana mungkin orang buta menjadi Walikota,"
"Mungkin saja, kau akan menjadi orang pertama melakukannya,"
"Kau memang pintar bercanda, Tuan Hamilton."
Beberapa menit kemudian, pemilik toserba keluar, dan melihat Hana bersama Peter. Dia menghampiri mereka. Tentu saja dia mengenal Hana. Dahulu, hampir setiap hari Hana dan Dany makan di depan toserbanya. Dia bahkan mengenal Dany dengan baik.
"Hana? wah, lama tak bertemu. Tadi kau disini, kan? awalnya aku ragu karena ksu menggunakan tongkat, tapi ternyata benar-benar kau,"
"Nyonya pemilik toko?"
"Ya, ini aku. Hahaha, ya ampun bisa-bisanya aku merindukanmu," Pemilik Toserba menepuk bahu Hana, "Ah benar, aku mendengar kejadian itu. Aku turut berduka."
"Max? itu sudah berlalu lama. Tapi terimakasih,"
"Gadis malang, pasti kau sangat sedih. Suamimu meninggal dan kau jadi begini. Tapi, jujur saja. Aku masih tak percaya bahkan saat ini bahwa kau menikah dengan Carter. Aku kira kau akan bersama sahabatmu itu selamanya. Tapi, ternyata dia juga menikah dengan orang lain. Hidup ini sungguh rumit."
Hana tersenyum mendengar perkataan Pemilik Toserba tersebut. Peter kembali menatap Hana lekat. Menatap senyum Hana yang tampak begitu menenangkan. Tanpa sadar dia juga ikut tersenyum.
"Lalu, ini siapa? suami barumu?" tanya Pemilik Toserba lagi. Hana kaget, sementara Peter tertawa terbahak-bahak.
"Apa aku cocok menjadi suaminya, Nyonya?" tanya Peter dengan suara renyahnya.
"Selisih umur kalian tampak jauh. Tapi tak masalah. Kau tampan,"
"Hahaha, Nyonya ini memang tak bisa berbohong," Peter bertepuk tangan. Mungkin sudah kebiasaannya bertepuk tangan saat merasa senang.
"Dia bukan suamiku, Nyonya. Dia ... temanku. Ya, teman baruku,"
"Ih, baiklah. Kalau begitu aku masuk dulu. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dimanapun dan kapanpun.
Pemilik Toserba yang tampak semakin menua tersebut beranjak pergi memasuki toserbanya. Meninggalkan pelanggan setianya itu bersama laki-laki yang dia sebut teman barunya.
"Jadi namamu Hana? dan Carter itu nama belakang suamimu?" Peter tampak antusias saat menanyakan itu.
Hana duduk di kursi dengan tenda di atasnya, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Sekali lagi Peter terdiam. Dia merasa takjub kembali atas apapun yang dilakukan Hana. Begitu lembut dan juga tampak manis serta elegan.
"Apa aku boleh memanggilmu Hana?" tanya Peter kemudian.
"Terserah anda saja, Tuan Hamilton,"
"Ow, itu menjelaskan segalanya. Aku akan memanggilmu Nyonya Carter saja."
"Jadi, boleh aku menebak kau setua apa? Pemilik Toko mengatakan selisih umur kita jauh,"
"Menurutmu selisih itu karena aku lebih tua? bisa saja aku lebih muda darimu."
"Benarkah, kau lebih muda dariku?"
"Hahaha, tentu saja tidak. Jadi kau berada di usia berapa, mari kita lihat sebanyak apa selisih umur kita."
"Aku? akhir dua puluhan"
"Waw, benar memang agak jauh. Tapi jangan lupa, laki-laki awal empat puluh tahun ini sangat tampan."
"Hahaha, baiklah Tuan Tampan."
Hana dan Peter tampak nyaman berbagi cerita satu sama lain. Mereka hanya membicarakan hal acak, tidak curhat tentang kehidupan, atau pembahasan berat lainnya. Mereka hanya membahas hal ringan yang bisa menjadi bahan untuk ditertawakan.
***
Sebulan kemudian. Dany marah besar begitu tahu bahwa Laura menjual rumahnya. Dany mendapati sertifikat yang dia simpan di laci mejanya menghilang, dan Laura bahkan tak mengelak sama sekali.
"Laura, apa yang kau lakukan! siapa yang mengizinkanmu menjual rumah itu! itu rumahku, bagaimana mungkin aku mengambil sertifikat dan menjualnya begitu saja. Kau tahu, ini termasuk penipuan dan pencurian!" suara Dany meninggi. Baru kali ini selama pernikahannya Dany marah dengan nada tinggi seperti itu.
"Lalu apa? kau ingin ke pengadilan? ingin memenjarakanku? kau masih mempertahankan rumah itu karena wanita itu, kan? sampai kapan kau akan begini! kapan kau akan melupakannya? aku lelah dengan semua yang kau lakuka, aku lelah menunggumu!"
"Laura ...." Dany menarik nafas dalam mencoba meredam emosinya, "Aku menuruti semua maumu. Aku bahkan tak pernah mengunjungi rumah itu. Tak pernah mengunjungi makam ibuku demi menjaga perasaanmu. Kenapa aku jual begitu saja rumahku?"
"Demi menjaga perasaan? perasaan mana yang kau jaga! percuma semuanya. Kau masih saja mengingat wanita itu. Hidupku tak pernah tenang! bagaimana bisa seorang suami tak pernah menyentuh istrinya karena masih mencintai orang lain, dasar sialan!"
Dany menunduk. Bagaimanapun, dia menyadari kesalahannya. Kesalahan fatal awalnya adalah dia memaksa menikah walau dia tak mencintai Laura. Kesalahan lain, karena membiarkan dirinya masih mencintai Hana dan tak juga mampu untuk mencintai istrinya.
"Laura .... aku minta maaf, aku memang bersalah," ucap Dany dengan lemah, "Baiklah, aku akan menerimanya. Aku tak akan mempermasalahkan soal rumah lagi. Tapi, berikan aku informasi orang yang membeli rumah itu."