Good In Goodbye (15)

1018 Words
"Hana!" Megan tak bisa bergerak selama beberapa saat. Namun, cepat-cepat dia menggelengkan kepalanya lalu berlari keluar ruangan, "Doktor!"egan berteriak. Tak lama kemudian dia kembali dengan doktor dan seorang perawat, "Lihatlah, Hana membuka mata!" ucapnya heboh. Megan hampir menangis namun juga tertawa. Haru dan bahagia menjadi menyeruak di d**a Megan. Bagaimana tidak, Hana hari ini tiba-tiba membuka mata. Setelah tiga bulan lamanya, akhirnya penantian itu terbayar. Doktor memeriksa keadaan Hana, Megan tak sabar ingin mendengar kabar baik. Dia sangat antusias dan tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari Hana. "Doktor, bagaimana? Hana benar-benar sudah sadar, kan?" tanya Megan tak sabar. "I-Ibu ...." Hana berbicara dengan terbata-bata. Megan menutup mulutnya, raut kegembiraan terlihat jelas dari wajahnya. "Hana! akhirnya kau bangun, sayang!" seru Megan lagi. "I-Ibu ... dimana?" ucap Hana kemudian. "Ini ibu, apa kau lelah karena terlalu lama berbaring, tak apa sayang, sebentar lagi kau akan sembuh," "Kita ada dimana?" "Di rumah sakit, kau koma selama tiga bulan ... ah, lupakan masalah itu, yang penting sekarang kau sudah sadar," "Rumah sakit?" Hana mengulurkan tangannya, "Ibu, kenapa aku tak bisa melihat apa-apa?" "Kau tak bisa melihat? mungkin karena kau baru saja siuman," "Semua gelap, bu. Aku tak bisa melihat apapun," "Mungkin itu efek ... ke ... celakaan?" raut wajah Megan yang awalnya sumringah kini berubah. Dia menatap doktor yang sejak tadi diam di sampingnya, "Dok, apa-apaan ini? Hana tak bisa melihat, ini hanya sementara saja, kan? pasti dia belum terbiasa karena baru terbangun dari koma," "Nyonya, maaf. Tapi kami harus memberitahu, bahwa putri anda ... mengalami kebutaan." "A-Aku buta?" Han langsung terhenyak mendengar kabar tersebut. Megan terbelalak tak percaya. Dia kemudian menggenggam tangan Hana, untuk menenangkan putrinya tersebut. "Doktor, bagaimana bisa? dari awal tak ada tanda-tanda Hana mengalami kebutaan, kan?" Megan masih tak mempercayai apa yang dia dengar. "Akibat kecelakaan, benturan di kepala pasien sangat keras, hingga melukai jaringan matanya. Pasien mengalami koma, jadi ini tak bisa terdeteksi dengan benar." "Jadi aku benar-benar buta? a-aku ..." "Hana, tenanglah. Tak masalah hmm, ibu ada disini," Megan memeluk Hana erat. Hana menangis sejadi-jadinya. Tak pernah dia bayangkan bahwa dia akan mengalami nasib buruk seperti ini. Dua jam kemudian. Hana sudah mulai sedikit tenang. Namun dia masih belum bisa menerima keadaannya. Dia tak bisa melihat artinya dia tak bisa beraktifitas dengan benar. Hana sangat frustasi, meskipun berkali-kali ditenangkan oleh Megan karena khawatir dengan kondisinya pasca bangun dari koma. "Ibu, Max ... apakah dia pergi?" pertanyaan Hana membuat Megan kembali merasakan kesedihan. Dia sedih melihat nasib putrinya yang kehilangan penglihatan, dan kini harus menerima kenyataan bahwa putrinya juga kehilangan suami, "Ibu ...." Hana kembali memanggil untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. "Sayang, sekarang kau fokus dengan kesehatanmu dulu ..." "Aku melihatnya. Walau sangat samar, aku melihat Max yang tak berdaya, kepalanya mengeluarkan darah, dia tak bergerak, Max ..." "Hana, tabahlah sayang, Max sudah tenang di atas sana," "Max benar-benar pergi? hiks ... Max pasti kesakitan saat itu. Ini semua karena aku. Andai aku tetap bersikeras tak ingin keluar rumah hari itu. Andai aku tak pergi ..." "Sayang, ini bukan salah siapapun. Max juga tak akan menyalahkanmu. Tenanglah, jika kau seperti ini, Max akan sedih. Ibu mohon, kuatlah, demi masa depanmu selanjutnya. Demi Lily," "Lily? Lily dimana dia? dimana putriku!?" "Lily ada di rumah. Dia baik-baik saja. Kau tahu, Lily anak yang hebat dan pintar. Jadi, demi Lily kau harus kuat. Lily sudah lama menantikanmu, dia sudah lama merindukanmu." "Bagaimana ini, bu. Aku tak bisa melihat, bagaimana aku akan menghadapi Lily. Putriku yang malang," "Lily akan menjagamu, Hana. Dia sudah berjanji di depan makan ayahnya." "Lily ... hiks ... Lily putri ibu tersayang," Setelah tiga hari mendapat perawatan pasca bangun dari koma, Hana kembali ke rumah. Setiap hari dia hanya duduk termenung di dalam kamarnya. Kadang dia keluar kamar, meraba-raba sekitar dengan tangannya. Namun, begitu tiba di depan pintu kamar, Hana selalu saja diam di tempat dan kembali ke tempat yah, Hana tidak keluar kamar terhitung empat hari sejak dia pulang ke rumah Megan. "Ibu, boleh aku masuk?" terdengar suara Lily dari luar kamar. Hana tak menjawab, dia terus saja merenung dengan tatapan mata yang benar-benar kosong kali ini. Setelah menanti beberapa menit, Lily akhirnya membuka pintu kamar dan perlahan masuk menemui ibunya. "Ibu, ibu sedang apa?" tanya Lily begitu mendapati ibunya yang duduk di tempat tidur dengan pandangan mata hampa. "Lily? ibu sedang tidak melakukan apapun. Ada apa mencari ibu?" "Ibu, sudah beberapa hari tidak keluar kamar, ibu bahkan jarang makan. Jika begini terus, ibu bisa sakit." "Ibu baik-baik saja. Jangan khawatir." "Di sekolah, aku belajar bahwa sinar matahari pagi, bagus untuk kulit. Ibu harus keluar dan menikmati sinar matahari agar ibu tetap sehat." "Percuma saja. Aku tidak bisa melihatnya," batin Hana. Dia masih marah, dan tak suka dengan keadaannya saat ini. "Ibu," "Lily. Ibu tidak ingin keluar. Ibu lebih suka di dalam kamar," "Tapi, bu ..." "Kau keluarlah. Ibu ingin istirahat." "Tapi ibu harus sarapan. Aku akan mengambilkan makanan ..." "Tak perlu Lily!" Lily yang berniat mengambil makanan terdiam begitu mendengar Hana yang tampak kesal, "Ibu tak perlu sarapan. Kau pergilah keluar, bermain dengan teman sebayamu atau apapun, jangan ganggu ibu." Lily langsung berlari keluar kamar, dia mulai menangis, air mata mengalir di pipinya yang mungil. Gadis kecil itu terisak sambil mengarah ke kamarnya. "Lily," melihat Lily yang menangis Megan menghampiri Lily dan memeriksa keadaan Lily, "Kau kenapa? ada yang terluka?" "Nenek, hiks ..." "Iya, sayang. Kenapa menangis begini?" "Aku tak bermaksud membuat ibu marah. Aku hanya ingin bermain bersama ibu," mendengar perkataan Lily, Megan mengerti apa yang terjadi. Hana pasti melakukan suatu hal yang membuat gadis kecil itu bersedih. "Lily, sayang. Jangan menangis, kau tahu kan, ibu sedang dalam masa sulit," Megan memeluk Lily erat, mengusap punggung Lily menenangkan gadis kecil itu dengan lembut. Lily melepaskan pelukan Megan, lalu menatap Megan dengan sedih, "Apa ibu kesulitan karena aku? karena aku nakal dan terus mengganggu ibu?" "Tidak seperti itu, sayang. Ibu hanya perlu beradaptasi dengan keadaannya sekarang. Dia ... dia tak bisa melihatmu, tak bisa melihat hal yang ada di sekitarnya, itu membuat ibu sedih." "Kapan ibu tidak sedih lagi?" Megan menarik nafas dalam, lalu memeluk Lily dengan erat sekali lagi, "Bersabarlah, sayang. Ibu hanya butuh waktu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD