Good In Goodbye (17)

1072 Words
any menarik nafas panjang sebelum keluar dari ruang kerjanya. Malam ini begitu ramai. Laura mengadakan pesta. Pesta bulanan katanya. Yah, Laura memang menyukai pesta. Hampir setiap bulan dia mengadakan pesta di rumah. Mengundang kenalan dan tetangganya. Dia begitu glamor dan terbiasa membuat pesta meriah walau tidak ada yang harus dirayakan sekalipun. Dany terpaksa keluar dari ruang kerja atas desakan Laura. Berbeda dari istrinya, Dany tidak menyukai segala macam pesta yang tak beralasan. Dia risih berada di tengah keramaian. Terlebih dengan teman-teman Laura yang berbeda pergaulan darinya. Begitu Dany tiba di ruang tamu, para kenalan Laura tampak begitu asik berbincang-bincang. Sebagian mengambil makanan dan minum anggur dengan stelan serta gaun mahal mereka masing-masing. Sebagian lagi tampak asik berdansa mengikuti iringan musik selera kelas atas katanya. Dany tak mengerti cara berbaur dengan mereka, walau sudah beberapa kali dia mencoba. Pembicaraan mereka terlalu wah, dan kelas mereka terlalu megah, hingga membuat Dany tidak nyaman. Namun, harus bagaimana lagi, Dany melakukan tugas sebisanya sebagai seorang suami. Walau tak bisa mencintai Laura, setidaknya Dany menjaga nama baik Laura dimana teman-teman kelas tingginya. "Lihat, suami Laura keluar," bisik salah seorang teman Laura sambil melirik ke arah Dany. "Hahaha, dia tampan. Tapi sayang, dia tak bisa berdandan. Lihatlah kaus polos yang dia kenakan itu, bukankah bulan sebelumnya dia juga mengenakan kaus itu?" balas salah seorang teman yang mengenakan gaun panjang berwarna silver dengan bentuk lebar, hingga dia tampak kesusahan bergerak. "Kau benar. Yang bisa diharapkan darinya hanya ketampanannya. Selebihnya diluar standar. Mungkin Laura hanya melihat wajah saja, tanpa memperhatikan bagaimana penampilan dan kelas dari suaminya," sambung yang lain lagi. "Dany," Laura tampak berjalan cepat menghampiri Dany, "Hei, apa yang kau lakukan?" bisik Laura sambil tersenyum kepada para kenalannya. "Aku? menemui tamu. Bukankah kau yang memintaku untuk keluar dan berbaur bersama teman-temanmu?" "Dengan berdandan seperti ini? kau tidak lihat bagaimana pakaian tamu-tamu yang lain?" "Memangnya aku harus berpakaian seperti mereka di rumah sendiri? pakaianku tidak kotor dan lusuh, aku hanya mengenakan pakaian santai," "Ini bukan pakaian santai. Ini pakaian tanpa kelas. Ayolah Dany sayangku, aku telah membelikan begitu banyak stelan mahal untukmu. Kenapa kau selalu mengenakan kaus putih lusuh ini? sekarang ganti pakaianmu, sebelum teman-temanku bergosip yang tidak-tidak." Dany menghela nafas, lalu masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian. Sementara itu, teman-teman Laura tampak tertawa kecil sambil masih berbisik satu sama lain. "Laura, kenapa wajah tuan rumah terlihat kesal, bukankah pesta ini terlalu meriah untuk mendapatkan wajah seperti itu?" seorang laki-laki dengan stelan serba hitam mendekati Laura. Dia adalah Peter Hamilton, atau dikenal juga dengan Peter Rich. Laki-laki berusia awal empat puluhan tahun itu merupaka kenalan Laura. Dia dijuluki Peter Rich karena kekayaannya yang berlimpah. Peter membawa dua gelas anggur lalu memberikan segelasnya kepada Laura. Laura dengan kesal mengambil gelas tersebut, namun ketika peter mengangkat gelasnya Laura ikut mengangkat gelas, mereka bersulang lalu minum secara perlahan. "Ada apa, kau tampak jengkel. Apa karena suamimu lagi?" tanya Peter kemudian. "Kau sudah tahu jawabannya tapi masih bertanya," jawab Laura semakin kesal. "Hahaha, jujur saja Laura. Aku tak mengerti kenapa kau menikahinya. Tak ada yang spesial dari laki-laki itu. Dia bahkan tidak berpendidikan bagus. Kau dengar gosip yang beredar diantara teman-temanmu? suamimu itu, tidak ada yang bisa dibanggakan selain wajahnya. Hanya itu." "Terserah, Peter. Aku mencintai suamiku." "Justru aku bingung kenapa kau bisa mencintainya. Lihat aku, tampan, kaya, berpendidikan bagus. Apa kau tidak mencintaiku?" "Hah, pria sepertimu ada di sekelilingku. Jujur saja itu membosankan. Makanya aku lebih memilih pria miskin yang tidak mudah ditaklukkan." "Kau benar-benar sinting. Hahaha, kau memaksa seseorang menikahimu, bahkan saat orang itu tak menyukaimu sama sekali. Lalu, setelah menikah, apa yang kau dapatkan. Bahkan perhatian dari suamimu saja tidak. Lihatlah dia keluar mengenakan pakaian seadanya. Dia mempermalukanmu di depan banyak orang." "Kalian sedang membicarakan apa?" Dany yang baru saja kembali dari kamar, menghampiri Laura dan Peter yang sedang berbicara. Lebih tepatnya membicarakan dirinya. "Hai, Dany. Wah, stelan bagus, kawan," Peter tersenyum sambil menepuk pundak Dany. "Lihatlah, tidak sulit kan mengganti pakaian? harusnya kau tak keluar dengan mengenakan kaus lusuhmu sebelumnya," bisik Laura kepada Dany. "Baiklah, karena suamimu sudah menemani. Aku pamit dulu, ada urusan yang harus aku selesaikan," Peter membungkuk, mengangkat gelasnya agak tinggi lalu berbalik meninggalkan Laura dan Dany. "Lalu sekarang apa, aku hanya perlu berada disini selama beberapa menit, kan? aku harus kembali menyelesaikan pekerjaanku," ucap Dany beberapa saat setelah Peter pergi. "Dany. Tak bisakah kau berbaur dengan teman-temanku? bicara dan menyapa mereka dengan benar. Kau ini suamiku, setidaknya bantu aku untuk mendapatkan kesan bagus." "Aku sudah mencoba. Tapi aku tak bisa. Terlalu canggung untuk memulai omongan dengan teman-temanmu. Apa yang harus aku bicarakan? saham, mobil mewah, pakaian bagus? lagipula aku tak mengerti. Kenapa kalian membuat pesta hampir setiap bulan." "Ini bukan sekedar pesta, Dany. Ini adalah cara mempererat hubungan dengan orang-orang penting. Teman-temanku bukan orang sembarangan. Lihat dia, dia adalah pewaris tunggal perusahaan telekomunikasi terbesar di Inggris," Laura menunjuk seorang laki-laki dengan stelan putih diantara oara tamunya, "Dia. Dia adalah putri pemilik rumah sakit besar, sama seperti aku yang akan mewarisi kekayaan ayahku, dia juga akan mewarisi aset ayahnya. Namun, sekarang dia sudah menjadi pimpinan di salah satu rumah sakit di luar negeri," ucap Laura menunjuk perempuan yang tampak glamor dengan gaun rustiknya, "Dia adalah anggota dewan," Laura menunjuk seorang wanita dengan stelan berwarna marun yang tertawa sambil meminum anggurnya, "Dia sangat berpengaruh. Bahkan banyak orang yang berusaha mendekatinya." "Lalu, kenapa harus membuat pesta hanya demi mereka? benar, mereka orang hebat. Tapi tak ada hubungannya dengan hidup kita." "Dany, mereka akan membantu kita jika suatu saat kita memerlukan bantuan mendadak. Inilah gunanya membentuk kolega dan kerjasama dengan orang-orang hebat." "Entah apa yang ingin kau buktikan dengan semua pesta mewahmu ini, Laura. Kalian semua, persahabatan kalian tidak seratus persen tulus. Semua punya tujuan masing-masing dan kelak akan meninggalkan satu sama lain." "Dany, kau juga tidak memiliki persahabatan yang tulus, kan? wanita itu meninggalkanmu," Dany langsung menghela nafas. Dia tahu betul siapa yang Laura maksud. "Laura, jangan menyeret Hana dalam masalah ini. Dia tidak ada hubungannya dengan ..." "Dari awal persahabatan kalian juga tidak tulus. Kalian munafik, tujuanmu bersahabat dengannya karena kau menyukainya, dan entah apa tujuan wanita itu bersahabat denganmu. Jadi, tolong tunjukkan padaku. Persahabatan mana yang benar-benar tulus tanpa mengharapkan sesuatu." Dany menggelengkan kepalanya tak percaya atas sikap Laura. Dia kemudian mengendurkan dasinya yang terasa semakin ketat, dan menghembuskan nafas demi menahan emosinya, "Aku sudah selesai disini, kan? aku pergi dulu," ucap Dany lalu berbalik, "Ah, dan berhenti memanggilnya dengan sebutan Wanita Itu. Namanya Hana. Hana Foster,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD