14. Kedatangan Dua Singa

1107 Words
Vania bergegas pergi ke tempat kerja Raul yang berada di daerah pembangunan pusat kota. Sampai di tempat itu, dia tak mendapati sang kakak di lokasi. Sudah banyak orang yang ditanyai, dan akhirnya bertemu dengan seorang pria yang menjawab pertanyaan Vania, dia adalah salah satu pekerja yang ada di sana. "Dia ijin karena ada hal penting." "Terimakasih, aku hanya mampir saja." Vania melenggang pergi ke tempat kantor imigrasi terdekat. Mungkin Raul ada di tempat itu. Katanya dia akan mengurus surat kepindahan, yang pastinya ke luar negri. "Apa sih yang dia takutkan? Sampai mengajakku pindah segala." Gadis itu berhenti di depan kantor imigrasi. Langsung saja Vania masuk dan bertanya mengenai ciri Raul. Jawaban mereka tidak ada yang mengenal orang yang di maksud. "Hah…, aku merasa capek." Karena kesal, Vania memutuskan untuk pergi ke taman. Siapa tahu ada sesuatu hal yang menarik. Tanpa di duga, gadis itu melihat Raul sedang bicara dengan seseorang di gang sempit. Vania memutuskan untuk menguping pembicaraan mereka berdua. "Apakah kau tak bisa mengusahakannya?" "Bisa…, tapi butuh waktu cukup lama?" jawab pria yang pakai topi hitam. "Baiklah…, aku akan bersabar." Raul memberikan amplop coklat kepada pria itu. Semakin lama, Vania semakin curiga dibuatnua. "Rahasia apa yang disimpan Raul." Vania ingin mendekat, tapi pembicaraan mereka selesai. Akhirnya ia kembali bersembunyi dibalik tembok. Saat pria yang di ajak bicara oleh Raul melintas, Vania memakai hoodienya untuk menutupi identitas. Tentu mengikuti kemana pria itu pergi. Si pria yang peka pun segera mengecoh Vania agar kehilangan jejak. "Kemana dia pergi? Aku kehilangan pria itu." Vania pun kembali ke tempat semua, tapi tidak menemukan jejak apapun. Pria yang bersembunyi di sudut gang akhirnya keluar sambil tersenyum, berjalan menuju ke jalan utama. "Aku tidak menemukan jejaknya sama sekali," ujar Vania sangat kesal. Lantas gadis itu tidak mendapatkan apapun. Tapi yang pasti, Raul telah menemukan cara untuk mereka pergi dari tempat yang telah disinggahi selama bertahun-tahun. Akhirnya Vania pulang dengan wajah kecewa berat. Sementara itu, Alice yang masih berdiri menatap pintu yang terus berbunyi. Ia memberanikan diri untuk buka pintu. "Akhirnya kau membuka pintu rumahmu juga." Alice tak bisa berkata apapun. Kenapa dia memberanikan diri datang ke rumah Vania. "Kau tak diterima…!" Suara Alice sedikit meninggi, supaya Leo mendengarkan dengan baik. Benar, pria itu pun menghentikan aktivitasnya saat melihat beberapa album kenangan milik Vania. "Aku ingin bertemu dengan Vania," ujarnya dengan wajah santai. Pria tak tahu malu. Padahal sudah di usir dengan cerdik, tapi masih saja tebal muka. "Dennis…, lebih baik kau segera pulang!" usir Alice berusaha menutup pintu rumah. Karena Dennis terlalu kuat, Alice kalah dan dia menerobos begitu saja. Bisa gawat kalau pria itu tahu mengenai Raul. Usaha kemarin jadi sia-sia belaka. "Dennis…! Jangan tebal muka!" teriak Alice memenuhi ruangan. Leo tak tahan kalau hanya berdiam diri saja. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar Vania. "Sepertinya ada tamu yang tak di undang." Suara bariton itu sukses membuat kedua orang yang berada di dalam ruangan berfokus pada Leo. Dennis sedikit terkejut melihat seorang pria matang keluar dari kamar. Siapakah dia? "Siapa kau?" tanya Dennis dengan congkak. Alice hanya diam membatu, tak mengeluarkan suara sedikitpun. Baginya, Dennis cukup berani menggali kuburan sendiri. "Pulang sana!" usir Leo tanpa menoleh ke arah Dennis. Pria itu berjalan melewatinya dengan acuh. "Pintu itu terbuka lebar agar kau cepat enyah dari rumah ini." Jika dilanjutkan, akan ada pernah dunia ke sekian. Makanya Alice harus turun tangan. "Pulanglah…, Vania tidak ada di rumah." Soalnya, belum sempat semenit Alice bicara seperti itu, Vania sudah berteriak dari halaman rumah. "Alice…, aku pulang…!" Gadis itu membuka pintu rumahnya. Hal yang tak terduga terjadi, membuat Vania dilanda syok luar biasa. Dua orang pria sedang berada di dalam rumahnya. Bagaimana mereka bisa berada dalam tempat yang sama? "Kenapa kalian ada di rumahku?" tunjuk Vania ke arah mereka berdua. "Aku datang berkunjung," sahut Dennis dengan cepat, melirik sekilas ke arah Leo yang tampak cuek. Menurutnya, pria setengah tua itu adalah paman dari Vania. "Vania, dia siapa?" tanya Dennis. Alice sudah ketar-ketir melihat sikap Dennis yang sangat kurang ajar. "Duduk saja," kata Leo menganggap rumah Vania adalah rumahnya. "Tapi…," kata Vania mulutnya langsung dibekap oleh Alice. "Kalian berdua bicara dulu. Aku ada perlu dengan Vania." Alice memasang senyum tanpa dosa, padahal di dalam hatinya sudah sangat cemas. "Emmmmm…!" Suara Vania terus berusaha meronta, tapi tetap di dorong oleh Alice menuju ke kamarnya. "Kalau kau tenang, aku akan membuka mulutmu," ujar Alice di angguki oleh Vania. Karena setuju, Alice langsung menarik tangannya. "Apa yang kau lakukan? Kau membiarkan mereka berdua masuk. Dan dia adalah tetanggaku!" omel Vania tiada henti "Bukan seperti itu…, kau jangan marah dulu." Alice menyentuh kedua bahu Vania. "Kau gila! Aku harus marah karena kau seenaknya saja!" geram Vania tertahan. Hais, Vania terlihat sangat marah. Alice pun berusaha membujuknya. "Aku punya ide. Dan aku yakin kau suka ide ini." Raut wajah Vania berubah menjadi penasaran. Sepertinya Alice memang punya banyak cara untuk mengatasi sumber masalah. Sementara itu, Leo dan Dennis tak bicara sepatah katapun. Sesekali, pemuda itu melirik sekilas ke arah pria matang itu. Lihat gayanya yang selangit, pakaian kasual mahal dan juga elegan. Masak iya dia paman Vania? Secara rumah gadis itu saja sederhana. Untuk mencairkan suasana yang semakin dingin, Leo berinisiatif menyapanya. "Perkenalkan, saya Dennis," kata pria itu mengawali pembicaraan. "Kau tak punya hak untuk bicara denganku." Suara Leo sangat dingin, sehingga membuat Dennis tersentak kaget. Aura dingin itu juga menyebar di seluruh ruangan. Vania punya paman yang menyeramkan. Dennis lupa kalau pernah bertemu dengan Leo di sebuah acara. Itu pun terjadi beberapa tahun lalu. Tapi, pria dewasa itu tak akan pernah lupa wajah Leo. Karena suasana menjadi canggung, Leo memilih untuk diam saja. Nanti kalau Vania sudah keluar bersama Alice, ia akan menggunakan jurus jitu untuk menaklukan gadis itu. Lama terdiam, ponsel Leo berbunyi cukup keras. Pria itu mengambil ponsel yang ada di saku, lalu mengangkat. "Usir kumbang dengan berbagai cara. Aku tak mau tahu!" geramnya tertahan sambil menutup ponselnya sepihak. Wajah Leo menatap garang ke arah Dennis. Sungguh pemandangan yang mengerikan, membuat nyalinya langsung menciut. Kapan Vania kembali. Semenit berlalu, akhirnya Vania dan Alice keluar ruangan. Arah pandang kedua pria itu beralih ke Vania. Perubahan wajah Leo dan Dennis pun terlihat. Mereka memasang senyum seperti tidak terjadi apa-apa. Vania pun menyambut keduanya dengan senyum manis. Tapi Leo tampak curiga karena bukan seperti kebiasaan gadis itu. Apa yang direncanakan oleh Vania, batin Leo melirik tajam ke arah Alice. Alice pun tersentak, lantas langsung menundukkan kepala dalam-dalam sambil menggigit bibirnya tanpa sadar. Bagaimanapun Leo dan ia terikat kontrak. Sebagai kelas bawah, Alice merasa terancam. Tapi dapat dipastikan bahwa pria itu akan menyukai rencana yang sudah disusun olehnya. Maafkan aku, Vania. Aku mendorongmu masuk ke wilayah singa, batin Alice sambil bercucuran keringat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD