Vania oh Vania, dia terlihat bingung mau minta maaf kepada Leo. Bagaimanapun gadis itu sangat salah, memanggil pria tampan dengan sebutan paman.
Dia menggigir bibirnya dengan cemas. Semua tingkahnya tidak luput dari perhatian Leo. Maka dari itu, pria tersebut merekam dengan kedua matanya dengan jelas, tanpa terlewatkan sama sekali.
"Apa yang ingin kau bicarakan padaku?"
Leo malah duduk di sofa, tak beralih padang dari Vania sekalipun.
"A-aku…," kata gadis itu cukup gelisah. Lihat kedua tangan jarinya di tautkan satu sama lain.
Hais…, jika aku tak bilang sekarang, maka aku tak cepat pergi dari rumah ini.
Vania mendongakkan kepala karena saatnya berperang melawan rasa takut.
"Aku minta maaf karena memanggilmu paman," kata Vania dengan cukup lancar. Wajah gadis itu tampak lega, bahkan dia bersorak tanpa suara.
"Aku belum memaafkanmu."
Bagai dihantam petir di siang bolong. Ekspresi Vania berubah total. Sekarang dia terlihat marah dan kesal.
"Kenapa? Aku sudah minta maaf. Dan juga sudah bersusah payah datang berkunjung ke rumahmu!"
"Apakah aku setua itu, hem…?" tanya Leo seraya berjalan mendekat.
Vania mengerutkan kening, menatap Leo dari atas hingga bawah. Bukan tua, melainkan hot dan seksi. Lebih terkesan ke arah dewasa.
Siapapun yang memiliki suami atau pacar seperti Leo, pasti perempuan itu sangat beruntung.
Sayangnya pria seperti itu bukan tipe Vania. Gadis itu lebih suka pria yang lembut, halus, dan muda. Paling tidak tiga tahun di atas umurnya.
"Tidak," jawab Vania tanpa keraguan.
"Lalu, kenapa kau menyebutku paman?"
"Karena kau pernah jadi kekasih aunty ku."
Leo tercengang mendengar ucapan Vania. Apakah Vanya selalu cerita mengenai dirinya? Gadis itu juga memanggil dengan nama lama yang sudah sepuluh tahun di tinggalkan.
"Dari mana kau tahu kalau aku pernah jadi kekasih Vanya?"
"Apakah aku harus memberitahumu juga?" Vania melipat kedua tangannya. "Itu urusan pribadiku. Jadi, jangan bertanya lagi."
Oke sekarang sudah selesai. Di maafkan atau tidak, Vania tak peduli sama sekali. Yang jelas, niatnya sudah terlaksana.
"Aku pamit."
Vania memutar handle pintu. Namun sayangnya tidak bisa terbuka sama sekali. Lalu, dia berusaha membuka berulang kali. Hasinya tetap sama.
"Kau…!" tunjuk Vania kesal.
Lihat, Leo tampak santai. Dia bahkan bermain ponsel seperti seorang pengangguran di luar sana.
"Kenapa kau tak menyahutku?"
Leo mendongak, mengangkat kedua alisnya setengah mengejek.
Astaga…, Vania tak percaya ini. Lantas dia memberanikan diri meminta kunci pintu.
"Mana kuncinya? Aku akan pulang."
Leo merogoh sakunya, lalu memerkan kunci itu di depan Vania.
"Kau bisa mengambilnya dariku. Aku beri kau tiga kali percobaan. Jika tak berhasil, maka tinggal di rumah ini selamannya.
Ini tantangan sekaligus juga jebakan. Leo sangat tinggi untuk seorang pria. Dia bahkan terlihat seperti model yang berjalan di atas karpet merah.
Jika Vania menyetujuinya, berarti ia harus siap konsekuensi yang di dapat. Jelaslah dirinya kalah dari Leo.
"No…!" tolak Vania mentah-mentah.
Lagi pula Vania bawa ponsel. Jika menghubungi Raul, pasti pria itu akan bertindak secepatnya. Apa. pria di depannya tidak tahu kalau mengurung seorang gadis adalah tindakan ilegal.
Ilegal tidak ada dalam hidup Leo. Dia akan melakukan apa saja untuk membuat Vania bertekuk lutut.
"Baiklah…, jadi jangan keluar dari sini."
Leo duduk kembali, kali ini dia berpura-pura sedang membaca majalah. Namun Vania tidak hilang akal. Gadis itu tengah menghubungi petugas keamanan komplek.
Lama terdiam, Tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. Mata Leo memicing sambil tersenyum menyungging. Jelaslah itu tanda mengejek.
"Aku akan keluar dari rumah ini!" kata Vania penuh percaya diri.
Ayolah, kuasa Leo tidaklah kecil. Ia bisa melakukan apapun untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
"Ada apa?" tanya Leo sambil membuka pintu. Vania menyerobot keluar rumah lewat bawah lengan pria itu.
"Pak…, dia tidak membiarkan aku keluar dari sini."
Petugas keamanan langsung balik badan. Pura-pura tidak mendengar panggilan Vania. Leo pun tersenyum senang, lantas menarik lengan gadis itu.
"Ini namanya pemaksaan!"
Vania sudah tidak tahan dipaksa oleh Leo untuk tinggal. Melihat ekspresi penuh kebencian dari gadis itu, hati pria dingin langsung melunak.
"Pergilah…, nanti malam kau harus berkunjung kemari untuk menemuiku. Karena aku ada pesta pindahan rumah."
Leo merebut ponsel yang ada di tangan Vania. "Itu nomorku. Simpan dengan baik. Aku akan menghubungimu dan menerormu jika tak datang."
Astaga, Vania tak percaya bahwa Leo bertindak sewenang-wenangnya.
"Dasar paman m***m!"
Setelah makian cukup keras, Vania langsung lari terbirit-b***t meninggalkan rumah itu.
Sementara si Leo, dia tampak kesenangan. Tangan kanannya yang sempat bersentuhan kulit dengan Vania dicium dengan sangat rakus.
"Aku akan membuatmu tidak berpaling padaku."
Wajah Leo berseri-seri karena senang tiada tara, tapi tidak dengan Vania. Gadis itu cukup kesal dengan sikap tetangganya itu.
"Alice…!" teriak Vania sambil membuka pintu dengan kasar. Alice langsung berdiri kala melihat gadis itu sangat marah.
"Kau penghianat!" tuding Vania sambil berkacak pinggang.
"Aku di usir karena tidak di inginkan," jawab Alice cuek. Memang benar bahwa dia di usir. Ya sebagai tamu tidak di undang, bukankah otomatis pergi begitu saja.
"Tapi setidaknya kau tidak jadi penurut, Alice." Vania duduk di samping Alice. "Aku merasa paman itu aneh. Ops bukan paman tapi orang itu."
Perasaan Vania tidak salah, tapi Alice tidak bisa memberitahu kebenarannya. Jika saja gadis itu tahu, iblis apa yang bersemayan dibalik tubuh tampan itu, pasti memilih pergi selamanya.
"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Alice ingin tahu meski hanya ber pura-pura.
"Dia akan mengadakan pesta nanti malam. Dan aku di undang." Vania bangkit mengambil air minum. "Aku malas datang."
"Aku rasa kau harus datang. Bukankah kau ingin kue?" Alice merangkuk bahu Vania dengan pelan. "Siapa tahu makanannya enak.
"Kau ikut aku ya?" tanya Vania dengan wajah memelas. Sepertinya Alice nanti bakal di usir seperti sebelumnya. Lagi pula, dia tak ingin berlama-lama di rumah itu.
"Maafkan aku, aku ada urusan," jawab Alice dusta, padahal dia longgar.
Sayang sekali, Vania harus masuk ke dalam kandang singa sendirian. Sungguh dia sangat enggan tak ingin ke rumah Leo.
Apakah aku buat alasan saja kalau sibuk.
Satu-satunya cara adalah membuat kesibukan dengan Raul. Lagian, Vania juga ingin menyelidiki sang kakak karena tanpa ada alasan yang jelas mengajaknya pindah.
"Alice, aku ada sesuatu yang mendesak." Vania mengambil tas yang ada di kamar.
"Hey…, kau mau kemana?"
"Kunci pintunya taruh di tempat biasa!" teriak Vania berlari kencang keluar rumah.
Tak lama kemudian, saat Alice hendak keluar rumah, Leo sudah muncul lewat pintu belakang.
"Tuan…," panggil Alice dengan ketakutan.
"Dimana kamar Vania?"
Alice menunjukkan kamar milik temannya itu. "Kau tunggu di sana sampai aku keluar kamar."
Ah, Alice semakin tertekan dalam ketakutan yang mendalam. Berurusan dengan Leo, sama saja bunuh diri perlahan.
"B-baik," jawab Alice dengan suara terbata.
Semakin gadis itu duduk terlalu lama, maka semakin gelisah perasaannya. Takut kalau Vania atau Raul pulang dengan tiba-tiba.
Waktu terus berlalu, hingga tiga puluh menit berlalu. Suara ketukan pintu dari orang luar pun membuat suasana menjadi tambah tegang.
Siapa lagi yang datang? Tidak mungkin Raul, pasti orang lain, batin Alice ketar-ketir.