15. Oh Tidak! Ciuman Pertamaku...

1087 Words
Alice dan Vania berada di dalam kamar sedang membahas pengusiran dua orang pria yang ada di ruang tamu. Awalnya, Vania merasa tak yakin dengan ide Alice. Tapi mungkin ini yang terbaik untuk masa depannya. "Jadi, aku harus melakukan itu? Bersama dia?" tanya Vania berulang kali untuk memastikannya. "Hu um…, kau dan dia," ujar Alice dengan mantap. "Cari rencana lain, Alice!" Lihat wajah Vania sudah gelisah sedari tadi, merasa ide itu sangat konyol. "Tapi dia kandidat terkuat." "Bagaimana kau yakin? Dia cukup tua untuk jadi kekasih," ujar Vania sambil berbisik. "Kemarin kau bersama dengan Kak Raul. Umur mereka seperti nya sama," bujuk Alice lagi. "Saat di kafe semua berjalan lancar. Yang ini pasti berjalan lancar." Vania terlihat kebingungan, tapi cara itu perlu di acungi jempol untuk mengusir pria tak jelas seperti Dennis. "Oke…, aku setuju." Alice sangat lega mendengar persetujuan dari Vania. Semoga saja Leo tak marah besar atas tindakan kurang ajarnya. Akhirnya mereka berdua keluar kamar berjalan menuju ke tempat dua pria berada itu. Sungguh melihat dua singa sedang beradu pandang membuat nyali Vania menciut. "Vania…!" panggil kedua pria itu serempak. Vania melirik ke arah Alice yang sedang menunduk. Apa sih yang ditakutkan oleh gadis itu? Atau jangan-jangan Leo. Kemungkinan benar. Karena bisa saja pria setengah tua itu yang membuat Alice ketakutan. "Apa yang membawamu kemari?" "Kau bertanya aku atau dia," tunjuk Dennis ke arah Leo yang sangat acuh. "Jelas kau, siapa lagi. Karena dia kekasihku." Vania dengan keberanian yang besar meraih lengan Leo meski agak canggung. Mau bagaimana lagi, memang itu rencananya. Si Leo sedikit terkejut melihat tingkah Vani. Nyalinya sangat besar, membuat keputusan besar. Atau jangan-jangan karena ulah Alice. Leo bersemirik, memanfaatkan situasi yang ada. Bagaimanapun, kesempatan dalam kesempitan harus digunakan dengan baik. lagi pula dia sangat menyukainya. "Aku benar kekasihnya," jawab Leo menarik pinggang Vania. Oh s**t! Tubuh Vania langsung menegang karena tangan lancang itu. Jika bukan karena mengusir Dennis, ia ogah dekat-dekat dengan paman m***m. Coba lihat ekspresi wajah Dennis, dia jelas tak percaya dengan akting mereka berdua. "Kemarin kau juga melakukan kepada pria lain. Aku jadi tak percaya kalau kau punya pacar," kata Dennis penuh penekanan. Sialan, apa cara Alice tak mempan. Seharusnya aku tidak percaya. Apa yang harus aku lakukan? "Jadi, kau butuh bukti," Jawab Leo mengikuti permainan Vania. "Tunjukkan bukti itu!" desak Dennis tak sabar. Tunggu! Bukti…, bukti apa? Aku tidak mau melakukannya… ? teriak Vania di dalam hati sambil tersenyum terpaksa. Kenapa harus ada bukti segala. Skenario itu di kaur duagaan. Vania kembali melirik ke arah Alice, berharap gadis itu bisa membantu. Nyatanya dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Akhirnya, Vania memberanikan diri untuk bertindak lebih terhadap Leo. Tangan gadis itu pun beralih ke pinggang Leo, lalu mencubit nya cukup kuat. Meskipun sakit, pria itu bisa menahannya dengan baik. Tanpa berkata apapun lagi, Leo menarik dagu Vania lalu mengecupnya. Sungguh kejadian yang tak terduga dan membuat suasana rumah menjadi hening. Apa itu tadi…? Ciuman pertamaku, batin Vania sambil melotot selebar-lebarnya. Leo malah menatap gadis itu cukup tenang, lalu memiringkan sedikit kepalanya dengan kedua alis terangkat. Sangat manis, katanya dengan menggunakan bahasa bibir. Dennis langsung syok, "Kalian…!" tunjuk-nya lantas bergegas pergi begitu saja meninggalkan rumah Vania. "Sungguh menyenangkan…!" sorak Leo dengan wajah berbunga-bunga. "Alice….!" panggil Vania seraya merengek. Alice berjalan mendekati gadis itu. "Aku tak melihat apapun." "Aku sangat puas," ujar Leo. "Malam ini jangan lupa datang." Dia melenggang pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua. Jelas Leo sangat senang. Di perjalanan pulang yang jaraknya beberapa langkah, pria itu menghubungi Ben untuk menyiapkan makanan kelas atas dari hotel terkenal. "Ah…, aku jadi tak sabar. Vania ku…!" teriaknya ditahan sambil berjalan menuju kamar. Leo seperti seorang remaja yang baru merasakan namanya jatuh cinta. Sungguh dia terlihat sangat manusiawi, tapi siapa yang mengira bahwa wajah pokernya itu bisa berubah hanya karena Vania seorang. "Apa yang harus aku pakai nanti," gumam Leo sambil bercermin. Waktu pagi menjelang siang saja dia sudah repot memilih baju. Diwaktu yang sama Vania tidak bisa berkata-kata, sebab ciuman pertama miliknya sudah hilang begitu saja diambil oleh paman yang merupakan tetangganya. Kaki Vania lemas, dengan pandangan mata linglung. Tanpa sadar, gadis itu merosot ke lantai. "Vania…," panggil Alice merasa khawatir, menuntun gadis itu untuk duduk di sofa. "Alice…, bibirku ternodai. Ciuman pertamaku," kata Vania tanpa daya dan upaya. "Itu kecupan, bukan ciuman." Alice berusaha menenangkan Vania. "Apa bedanya kecupan sama ciuman? Bibir kami sama-sama saling menempel." Vania terlihat lemas bersandar di sofa. "Yang penting Dennis percaya." Alice merasa bersalah, melirik sekilas ke arah Vania lalu menunduk, "Maafkan aku. Karena ideku, kau jadi rugi." "Tidak…! Ciuman pertamaku…!" erang Vania sangat frustasi. Alice semakin bingung dibuatnya, lalu merangkul bahu Vania dan menghiburnya tiada henti. "Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang pikirkan tentang undangan malam nanti." "Tidak datang lah! Ngapain datang." Vania tak ingin membahas permasalahan undangan itu. Lagi pula sudah cukup dipermainkan oleh Leo. "Aku sangat lelah," tambah Vania sambil menutup kedua matanya. Tiba-tiba ponsel mereka berbunyi. Saat membuka notifikasi pesan singkat itu, keduanya melongo dengan ekspresi terkejut luar biasa. "Ini pasti salah," ujar Vania merasa kesal. "Kita sudah berusaha keras, tapi tetap saja dia berada di sekitarmu," kata Alice terlihat lelah. "Apa yang harus kita lakukan?" ujar mereka bersamaan. Percuma saja mengusir Dennis kalau mereka tetap bekerja sama dalam satu kelompok untuk tugas di kampus. "Aku tak bisa berpikir jernih." Vania pun memilih masuk ke dalam kamar karena derita batin yang di alami. Bayangkan, hari yang indah harus jadi tragedi yang tidak mengenakkan. Sudah ciuman pertama di ambil oleh paman tetangganya, giliran Dennis selalu saja berada di sekitar untuk mengganggu. "Alice…, kau pulang saja! Aku ingin tidur!" teriak Vania sambil membanting dirinya di atas ranjang. Hari yang melelahkan karena menghadapi dua singa sekaligus. Pasti si paman itu sedang kesenangan karena ciuman itu. Iya, tepat sekali. Selain membuat kehebohan karena kebingungan memilih pakaian, Leo sedang meraba bibirnya sendiri tanpa henti. Dia tersenyum bak orang gila. Kemana wajah poker itu? Kenapa bisa melunak? Hati dan sifat manusia mudah berubah, apalagi kalau berhubungan dengan cinta. Ben yang sedang mengantar kopi ke ruangannya ikut tersenyum melihat tingkah Leo dalam suasana hati baik. Dia layaknya manusia sungguhan. Sangat sulit dipercaya, bahkan berulang kali Ben mengusap kedua matanya karena tidak percaya atas apa yang dilihat. Semoga kau selalu bahagia seperti ini, Tuan, batin Ben sambil menaruh cangkir di atas meja. "Ben…," panggil Leo dengan wajah sumringah. "Apa yang bisa saya bantu, Tuan?" "Pastikan nanti malam kau siapkan semuanya." "Baik, Tuan." Setelah Ben pergi, Leo merogoh ponselnya untuk mengirim pesan kepada Vania. Tentu pesan itu tak akan membuat gadis tersebut mengelak untuk datang berkunjung nanti malam. "Kau itu adalah milikku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD