Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Leo pulang dengan suasana hati baik. Masakan Vania sudah ada di depan mata, tinggal disantapnya saja.
Membayangkan itu semua sudah tak sabar baginya.
"Lebih cepat sedikit?"
Lihat wajah buru-burunya itu, baru pertama kali Ben melihatnya semenjak tinggal di China.
Selama di negara itu, senyum tidak berkas lagi diwajah Leo. Dia seakan membuang perasaan itu dan membentengi hatinya dengan baja.
"Kenapa lama sekali?"
Leo sangat gelisah, padahal baru lima menit berjalan. Untung saja jarak kafe dan rumah tidaklah jauh.
"Sebentar lagi sampai, Tuan."
Ben segera memarkirkan mobil itu. Mesin belum dimatikan, Leo segera berlari ke dapur karena tidak sabar menyantap makanan buatan Vania.
"Harumnya begitu menggoda."
Leo tidak bisa lagi menunda dan langsung makan. Air matanya menetes saat merasakan betapa nikmatnya masakan gadis itu.
Karena sejak sepuluh tahun lalu, lidahnya mati rasa, tidak merasakan makanan sama sekali. Bagi pria itu semua makanan terasa hambar.
Ben yang melihat dari jauh sangat bahagia karena Leo bisa kembali seperti sedia kala.
"Nona Vania membawa berkah untuk hidup tuan."
Pria itu pun pergi memberi waktu untuk Leo menikmati suasana makannya.
"Aku menyukainya."
Tak ada yang tersisa di kotak itu. Lantas Leo segera duduk bersandar karena rasa laparnya selama ini terpenuhi.
"Apa yang harus aku lakukan padamu, Vania? Semakin hari, aku ingin memilikimu."
Pria itu memejamkan kedua matanya. Tidak lama kemudian mendengar gelak tawa dari dua orang yang familiar.
"Aku ingin melihatnya."
Leo bangkit dari kursi bergegas mengintip kedua gadis itu dari jendela. Matanya menelisik dengan cermat karena Vania tidak membawa pulang bunga yang diberikan.
"Raul benar-benar konyol. Iya, meskipun begitu aku tetap menyayanginya."
Vania bercerita mengenai kelucuan Raul di depan publik yang membuatnya ikut menanggung malu.
"Perutku sakit. Kasihan gadis itu ditolak mentah-mentah," sahut Alice sambil memegang perutnya sendiri.
Seketika itu, Vania langsung menundukkan kepala. "Seharusnya dia sudah menikah dan punya anak. Tapi karena tanggung jawabnya kepada, dia jadi bujang."
"Karena kau adik satu-satunya."
Alice merangkul bahu Vania lalu mengajaknya segera masuk ke halaman rumah.
"Aku pulang dulu, bye…!" kata Alice melirik sekilas ke tetangga sebelah kanan rumah Vania.
"Jemput aku besok!"
Vania melambaikan tangan, bergegas masuk ke dalam rumah.
"Raul…., aku pulang…!" teriak Vania sambil melepas sepatunya. Gadis itu melempar tasnya di sofa.
"Kemana bujang tua itu pergi?"
Karena tak mendapatkan jawaban dari Raul, Vania masuk ke dalam kamar milik sang kakak.
Telinga gadis itu terpasang lebar sebab mendengar suara kesakitan dari dalam bilik kamar mandi, seperti seorang perempuan.
"Pasti hanya dugaanku saja. Lebih baik aku menunggunya."
Vania duduk di tepi ranjang. Suara yang didengar semakin keras, ditambah dengan suara erangan panjang dari Raul.
"Raul…!" teriak Vania dengan keras.
Terdengar suara gaduh di dalam kamar mandi. Vania pun semakin curiga.
"Aku akan mendobrak pintu dengan paksa kalau kau masih berada di dalam kamar mandi!"
"Keluar dari kamarku!" teriak Raul kebingungan. Pasalnya dia sedang bersolo karya malah diganggu oleh Vania.
"Untung saja sudah keluar."
Raul segera mengguyur seluruh tubuhnya dengan shower. Suara gedoran pintu terus saja menggema.
"Aku selesai!"
Pria itu segera melilitkan handuk ke pinggang. Tidak lupa ponselnya dibawa juga.
"Ada apa?" tanya Raul cuek.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Vania celiangak-celinguk mencari seseorang di kamar mandi itu.
"Aku mendengar suara wanita," ujar Vania masih terus mencari.
Raul pun batuk berulang kali meski hanya dusta.
"Kau salah dengar."
"Tidak mungkin. Suaranya saja jelas kesakitan."
Raul merasa lega karena Vania tidak berpikir buruk. Namun seumuran dia yang seharusnya sudah mengerti akan hal tabu malah berpikir positif dan polos.
"Tidak ada wanita. Itu hanya suaraku."
Vania beroh ria, tak mau memperpanjangnya lagi. Menurutnya hanya buang waktu saja.
"Aku lapar."
Raul mendorong tubuh Vania untuk keluar ruangan.
"Makan saja! Aku sudah menyiapkannya."
Vania tertegun karena Raul menutup pintunya dengan sedikit kasar.
"Ada apa dengan bujang tua itu? Sungguh menyebalkan."
Perut gadis itu terus keroncongan karena lapar yang didera. Dia bergegas menuju ke meja makan. Matanya berbinar saat melihat ada berbagai menu tersaji sangat banyak.
"Raul…! Aku akan menghabiskannya!"
Pria yang ada di kamar menggeleng pelan sambil tersenyum. Pasalnya tanpa Vania hidupnya akan sepi.
"Kami akan terus berjuang untuk hidup," ujar Raul, memegang pigura yang ada foto kebersamaan keluarga mereka.
Tahun demi tahun, mereka berdua hidup berdampingan. Raul yang menjadi penerus Anderson membuang kebanggaannya hanya untuk Vania. Dia lebih memilih hidup dengan kecukupan dari pada kemewahan seperti dulu.
"Raul…! Aku benar-benar menghabiskan makananmu!"
Akhirnya Raul bangkit menghampiri gadis. "Jangan berteriak terlalu keras, kau punya tetangga."
Mengingat seorang tetangga, Vania kesal karena tidak mendapatkan kue pindahan dari orang itu.
"Sewajarnya, tetangga memberi kue atau makanan."
"Otakmu penuh dengan makanan," sindir Raul menyeduh teh dengan tenang.
"Mobilnya bagus, pasti kaya," kata Vania bicara asal.
"Ingat, jangan mencari pasangan karena kaya. Utamakan hidup bahagia."
"Iya… iya, Bujang Tua."
Mata Raul melotot ketika diolok oleh Vania. Gadis itu malah tertawa keras memenuhi ruangan.
"Sini…! Aku akan memberi pelajaran padamu!" geram Raul kesal.
"Aku sudah selesai makan!"
Vania malah lari masuk ke dalam kamar dan terus memanggil Raul bujang tua. Gelak tawa itu terdengar sampai rumah Leo.
Mata pria itu menatap ke arah jendela kamar milik Vania. Lampu menyala, tanda gadis itu sudah berada di dalam ruangan. Ada bayang hitam sedang bergerak-gerak kesana kemari. Sungguh pemandangan indah, Leo menikmati momen itu.
"Tuan…," panggil Ben dengan hati-hati.
"Aku sibuk, Ben," jawab Leo dingin.
"Sepertinya Tuan Petrucci enggan mengembalikan dana itu, Tuan."
Leo tersenyum, "Kau bisa mengirim pengacara sekarang. Meski waktu tenggangnya besok, aku sudah tak sabar untuk mendengar kebangkrutannya."
"Baik."
Ben undur diri, suasana menjadi tenang kembali. Aktivitas Leo pun masih terus menatap kamar Vania.
Tampak jelas bayangan gadis itu sedang duduk di tepi ranjang.
"Vania…, cepat tidur! Aku tahu kau masih terjaga!"
"Bujang Tua menyebalkan…!" teriak Vania sambil mematikan lampu, bergegas untuk tidur.
Leo langsung menutup gorden jendela setelah memastikan Vania sudah berbaring di atas ranjang.
"Vania…, Vania…, kau membuatku tergila-gila."
Leo menggeser laci dekat ranjang, berbaring santai sambil melihat beberapa foto milik Vania. Dari kecil hingga beranjak dewasa.
Kenapa wajah itu sama dengan Vanya? Sehingga membuatnya ingin memiliki.
Kasihan sekali, Leo tidak bisa melupakan Vanya. Rasa penyesalan yang mendalam membuat hatinya sakit.
"Aku berharap, kau mencintai diriku."
Sepuluh tahun jarak mereka berdua. Leo tidak mempermasalahkan akan hal itu. Lagi pula ia lebih muda setahun dari Raul.
"Aku masih pantas bersanding dengannya," ucap Leo dengan penuh percaya diri.