8. Si Jerapah Turun Kasta

1078 Words
Pagi yang cerah, Vania sudah keluar dari rumahnya. Seperti biasa, gadis itu pergi dengan Alice. Namun kali ini, ada yang aneh dengan perilaku teman disampingnya itu. Lihat, dia menatap ponsel terus menerus sepanjang perjalanan ke kampus. "Alice, ada apa denganmu?" Tubuh Alice tampak bergetar, menghiraukan Vania sedari tadi. "Alice….!" "Apa?!" Astaga, Vania sampai kaget dibuatnya. Bagaimana bisa Alice seperti berada di dunia lain. "Maafkan aku. Aku pusing." Dia bergegas lari masuk ke gedung lebih dulu. Vania pun terheran-heran dibuatnya. "Ada apa dengan dia? Seperti ketakutan akan sesuatu. Pasti Alice merahasiakan masalahnya dariku." Telinga Vania tiba-tiba mendengar suara cuap-cuap tidak sedap. Sontak ia mengedarkan ke seluruh penjuru arah. Semua sedang kasak-kusuk membicarakan sesuatu. "Semua orang terlihat mencurigakan." Vania menengok ponselnya, ternyata mati total. "Hais… nanti aku akan menchargenya di kafe." Gosip tidak jelas terus beredar tiada henti. Samar-samar Vania mendengar mereka membicarakan Arthur. "Topik utama jerapah." Gadis itu menggeleng segera masuk ke dalam kelas. "Siapa yang mengira kalau Arthur akan mengalami kemerosotan yang curam." "Dia benar-benar menjadi miskin sekarang." Apakah itu karma? Bagaimana dalam waktu semalam dia mendapatkan ganjarannya? Tidak lama kemudian, Arthur masuk ke dalam kelas. Semua orang memandang dan terus membicarakannya. Pria itu tampak tidak peduli, tapi sebenarnya dia sangat kesal dan marah. Setelah ini, pasti segala perhatian jatuh pada Dennis. Dan juga Vania nya akan direbut oleh pria itu. "Bukan urusanku. Lebih baik aku fokus belajar." Vania mengeluarkan bukunya, lalu melirik ke kursi kosong milik Alice. "Dia pergi tanpa memberitahuku. Dasar Alice!" Arthur pun pindah di dekat Vania. "Aku akan duduk di sini." "Aku sudah menendangmu, tapi kau tetap tebal muka." Vania memang berbeda dari gadis lainnya. Disaat semua orang membenci dan mengolok Arthur, dia masih tetap mau bicara dengannya. "Makanya aku jatuh cinta denganmu." "Hentikan omong kosongmu itu. Atau aku akan menendangmu lagi." "Oke… oke… aku diam." Selang lima menit berlalu, seorang pria masuk ke dalam kelas. Tentu saja seisi ruangan yang gaduh jadi sepi. "Dia Dennis…! Astaga…, akhirnya kebanggaan kita sudah kembali!" Masih banyak lagi celoteh para perempuan di kelas itu. Tapi, Vania tidak peduli sama sekali. "Kenapa kau tak melirik ke arah Dennis?" "Tujuanku bukan pacaran, melainkan belajar." Arthur tersenyum lebar melihat sisi serius Vania. Pantas saja dia sudah berada di tahun ketiga. Kalau bisa menyelesaikan kuliah jurusan ini, dia akan lulus dengan cepat. Arah pandang mata Dennis menelisik ke Vania. Melihat Arthur yang tersenyum, dia jadi penasaran mengenai gadis itu. "Arthur…!" panggil Dennis seraya mendekat. "Siapa dia?" "Temanku," Jawab Arthur dingin. Tiba-tiba, ponsel Arthur berdering. Mau tak mau dia keluar ruangan. Sementara kursi yang kosong itu diduduki oleh Dennis. "Aku Dennis." Vania diam karena tidak ingin terlibat oleh pria itu. Punggungnya saja terasa berlubang karena tatapan garang dari kaum perempuan. Cukup Arthur saja yang mengusik hidupnya. "Menarik…, pantas Arthur tergila-gila denganmu." Biarlah dia mengoceh seperti burung kenari. Vania tidak peduli sama sekali, memilih menulis catatan. "Maaf…, bisakah kau pindah?" Itu suara Alice. Saat masuk ke ruang kelas, tidak ada tempat yang kosong. Makanya ia memberanikan diri untuk meminta Dennis duduk. "Duduk saja, Alice. Lagi pula sedari awal itu adalah tempatmu," ujar Vania tersenyum profesional. Akhirnya Dennis bangkit karena tidak ingin membuat gadis incarannya marah. "Siapa dia?" tanya Alice sambil menoleh ke belakang. "Aku tak mengenalnya." Vania mengedikkan bahu karena memang tidak mengenal pria itu. Melihat ekspresi wajah gadis itu, Alice segera mengirim pesan kepada seseorang. Pesan singkat itu sampai dalam hitungan detik. Leo membukanya dengan wajah berbinar. Namun ekspresi pria itu berubah dalam hitungan detik. "Ben…!" teriak Leo di dalam ruangan. Seorang wanita masuk dalam keadaan takut. "Tuan Ben sedang ada urusan, Tuan." "Keluar…! Aku tak ingin melihat wajahmu." Mau tak mau, gadis itu keluar ruangan. Sungguh sangat disayangkan, bos yang tampan ternyata seperti iblis. "Apa yang kau lakukan?" tanya seorang wanita sedang memberikan berkas. "Berikan berkas itu padanya sendiri. Aku tak mau." Si wanita yang baru saja masuk langsung lari terbirit-b***t seolah baru saja melihat hantu. Dia pun mengetuk pintu lantas masuk ruangan. Rumor yang beredar memang benar. Bos yang selama ini bekerja dibalik layar memang tampan. Lihat, seluruh wajah dan tubuhnya adalah tipe ideal kaum wanita di luar sana. Wanita itu tak segan-segan menatap lekat Leo karena terpesona. "Aku akan membuat bola matamu keluar dari sarangnya jika terus menatapku seperti itu!" Suara itu sangat dingin, membuat wanita tersebut merinding ketakutan. Pantas saja temannya tadi lari. Ternyata ini jawabannya. "Keluar!" Wanita itu menjatuhkan berkasnya karena kaget, bergegas keluar ruangan segera ke bilik kamar mandi. Sumpah, dia terlihat seperti monster. "Apa gunanya tampan kalau menyeramkan. Sampai membuatku menahan kencing." Apa yang membuat Leo kesal? Sebuah pesan yang memberitahunya kalau ada pria lain yang baru saja menggoda Vania. "Aku sudah membunuh lalat itu perlahan, tapi kenapa masih ada lalat lagi?" Karena ingin melihat siapa gerangan orang yang berani menggoda Vania, Leo memilih menyelidikinya sendiri. Tak lupa juga ia meminta Alice untuk memfoto orang tersebut. Sampai di dalam mobil, Leo menghubungi toko bunga kemarin untuk mengirim bunga lagi. Kali ini akan dikirim ke rumah gadis itu. "Bunga kemarin kau lupa membawa pulang. Maka aku akan mengirim lagi ke rumahmu." Leo pun masuk ke dalam mobil. Bersama dengan itu, notif pesan muncul di layar. Dahi Leo berkerut ketika melihat pemuda yang cukup tampan dan muda, terlebih lagi ia tahu siapa pria itu. "Sialan! Dia kumbang!" Ada pesaing baru yang membuat hati Leo tidak tenang. Masalah Arthur, ia yakin Vania menolak mentah-mentah. Tapi jika dihadapkan dengan pria muda tampan, pasti dirinya kalah. Wajah Leo sudah masam seperti cuka. Dan tampak menahan amarahnya. Semua itu dapat dilihat dari tindakan kasar yang dilakukan dengan menyalakan mobil dan mengebut di jalan raya. Mobil itu berhenti tepat di depan kampus milik Vania. Leo melihat Arthur yang sedang bicara dengan Tuan Petrucci. "Pasti berita kebangkrutannya sudah menyebar." Leo tersenyum ketika melihat pertengkaran ayah dan anak itu dari jauh. "Apakah ayah berpikir kalau aku yang membuat hotel kita bangkrut? Bukankah Tuan Zang sendiri yang memutuskan kerjasamanya?" "Pasti ada alasan lain. Tugasmu mencari tahu, Arthur?" "Menyewa seseorang butuh uang banyak. Aku tak punya uang sama sekali." Arthur pun balik badan. "Ayah saja yang cari tahu." "Dasar anak durhaka! Kemarin kau sudah menghabiskan banyak uang, bukankah masih ada sisa?" "Terserah…., aku harus ke kelas." Wajah Arthur sangat gelap karena gosip yang terus beredar itu. Kenapa hidupnya jadi jungkir balik dalam waktu semalam? "Sialan…! Aku tak mau kehilangan semuannya." Tiba-tiba ponselnya berdering, kali ini nomor asing yang menghubunginya. "Hallo…, jangan mengusikku!" Seketika itu raut wajah Arthur mendadak pucat pasi, ditambah dengan keringat dingin yang bercucuran. Ekspresi ketakutan terlihat jelas di setiap sudut mimik wajah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD