6. Demi Vania

1130 Words
Leo tidak menunda kepentingan yang berurusan dengan Vania ketika Ben memberikan informasi mengenai Arthur. Ternyata, ayah pemuda itu merupakan rekan bisnisnya. Sehingga dengan mudah, pria itu bisa membuat mereka menyerah akan Vania. Dalam hidup Leo, kekuasaan adalah sesuatu yang dapat menjatuhkan manusia lainnya. Itu adalah ajaran dari Tetua Zang. Didikan otoriter yang dilakukan pria tua itu, membawa dampak besar kepadanya. Segala perasaan kecuali emosi tidak boleh diperlihatkan. Namun Leo tetaplah manusia, yang punya banyak perasaan. Sejauh dia menekan perasaan itu, yang ada akan jadi penyakit hati. Karena sudah merasakan kehilangan, dia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. "Apakah kau sudah menghubungi orang itu?" "Jangan khawatir, Tuan. Saya sudah menyiapkan semuanya." "Jangan mengecewakanku, Ben." Mobil milik Leo terus berjalan membelah kota. Wajah tampannya yang serius menjadikan pria itu tambah menawan. Dengan menatap ke arah lalu lalang kendaraan, dia selalu memikirkan Vania. Gadis itu, kapan menjadi miliknya? Tapi, dia akan bersabar untuk menanti hasil yang memuaskan. "Tuan, kita sampai," kata Ben sambil membuka pintu mobil. Karena terlalu tenggelam dalam pikirannya, Leo jadi tidak menyadari kalau mobil berhenti. Pria itu keluar mobil dengan ekspresi dinginnya. Menatap lobi hotel yang sangat ramai. Namun karena pengawal bergegas melakukan tugasnya, Leo tidak mempermasalahkan hal itu. Dia memakai kaca mata hitam dan berjalan sangat angkuh. Semua orang ingin melihatnya. Tapi sayang tidak bisa karena banyak pengawal di sekitar pria itu. "Aku tak suka keramaian. Apakah kau sudah memberi tahu Petrucci?" "Saya sudah memberitahunya. Besar kemungkinan dia sengaja, Tuan." Leo bersemirik, "Dia harus dihukum meskipun sedikit." Ben sangat merinding karena melihat ekspresi wajah Leo yang sudah jelas merencanakan sesuatu. Sampai di ruangan cukup besar, Leo disambut oleh Tuan Petrucci dan beberapa karyawan wanita yang sangat seksi. Tidak ada ekspresi sama sekali di wajah Leo. Pikiran mereka pun bertumpu pada seorang kasim. Jaman dahulu kasim kerajaan selalu dikebiri, makanya mengira kalau pria itu tidak memiliki hasrat sama sekali. Sewajarnya jika ada gadis atau wanita seksi, pria manapun akan tergoda dan terus memandangi nya. "Selamat malan, Tuan Zang?" "Tidak perlu basa-basi." Leo duduk dengan angkuh. "Aku ingin memutuskan kerja sama kita." Tuan Petrucci mengira kerjasama dengan Leo akan berlanjut karena kemajuan pemasaran hotel mereka berkembang pesat. Jika dia kehilangan pria itu, pundi-pundi emas nya juga lenyap. "Tapi, saya ingin memperpanjang kontrak kita." Tuan Petrucci sudah panas dingin menghadapi aura mencekam milik Leo. "Aku akan meminta Ben mengurus semuanya." Leo bangkit lalu melengos begitu saja. Cukup tenang membuat Ben tidak mengerti jalan pikirannya. "Tunggu… .! Saya salah… , saya mohon agar tuan mau bekerja sama dengan hotel ini kembali." Senyum semirik mengembang seperti iblis, dan hanya Ben yang tahu. "Sayangnya aku tidak mudah untuk dibujuk. Aku akan mencabut seluruh investasi dari hotel ini." Leo ingin memberi pelajaran untuk Petrucci, terutama Arthur. Apa jadinya jika pemuda itu kehilangan seluruh penyokong yang membuatnya sombong. "Ben… , urus semuanya." Tuan Petrucci terus memanggil nama Leo, tapi pria itu sengaja tak mendengarnya. Meskipun dia mengejar sampai mobil, Ben langsung bertindak dengan cepat. "Tuan sudah menandatangani pemutusan kontrak sepihak nya. Jika anda tidak menandatanganinya, maka hukum yang akan bertindak, karena anda juga melakukan penyelundupan dana." Dia tercengang begitu mendengar peringatan dari Ben. Seluruh tubuhnya lemas tidak bertenaga. Meskipun pria itu adalah dekan, tapi sumber kekayaannya berasal dari hotel bintang lima itu. "Kerja bagus, Ben. Jika besok dia tidak mengembalikan danaku, kirim pengacara kita." Ben mengangguk, "Terkadang saya tidak mengerti tujuan tuan melakukan ini? Bukankah hotel itu menguntungkan bisnis Keluarga Zang?" "Mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan berlian tidaklah sia-sia." Leo sengaja melakukan itu untuk menjatuhkan Keluarga Petrucci dengan pelan tapi pasti. Jika bocah Arthur itu tak tahu tempat, maka aku akan mendepak dia dan orang tua itu keluar dari kampus. Di waktu yang sama, Raul keluar dari Kantor Imigrasi. Kebetulan sekali Leo melintas di jalan tempat kantor itu berada. "Tuan, Ada Tuan Anderson." "Biarkan saja, dia tidak akan bisa mengakses berkasnya sekarang." Benar saja, muka Raul tampak kesal karena pihak kantor tidak mau memberikan apa yang dia mau. Belum masuk kantor saja sudah di usir. Pria itu mengira kalau semua perbuatan orang itu, tidak salah lagi. "Sebenarnya, apa mau si b******k itu. Asalkan Vania tidak berdekatan dengannya, kami masih aman." Sudah bertahun-tahun lamanya, mereka menyembunyikan identitas dengan membuang nama kebanggaan keluarga. Namun dalam hitungan hari, ketenangan mereka terusik. "Aku tak akan membiarkan marga Zang itu menghancurkan hidup kami seperti dahulu." Raul berjalan dengan langkah kaki lebar, melewati beberapa lampu jalan trotoar. Kakinya berhenti saat melihat Vania dan Alice sedang bercanda gurau di dalam kafe. "Kebahagianmu adalah tujuanku bertahan hidup, Vania." Vania kecil kini telah tumbuh dewasa. Di samping cantik, dia juga pintar dan pekerja keras. Namun namanya manusia pasti punya kekurangan. Dia sedikit keras kepala dan juga kasar. "Aku akan menyiapkan makanan enak," ujar Raul bergegas pergi. Setelah pria itu benar-benar menghilang di balik petangnya malam, ada mobil mewah mendekati area kafe. Pemilik mobil duduk tenang, tak lain adalah Leo. Tak henti-hentinya ia menatap gadis itu, bahkan sampai tidak berkedip. "Apakah tuan akan turun?" "Tidak…, aku akan melakukannya dengan pelan, menjeratnya dengan kuat. Jadi, tidak perlu terburu-buru." Ben ikut menatap Vania. Gadis seceria itu hidupnya sudah berubah saat pertemuan pertamanya dengan Leo. Tanpa sadar, gadis itu sudah terjerat ke jebakan demi jebakan yang sudah disiapkan Leo. Nona, semoga anda bisa mengobati hati tuanku, batin Ben. "Keluarlah…, temui Alice. Dan pesan sesuatu. Tapi harus Vania yang memasaknya." Ben pun melaksanakan titah tuannya. Dia keluar mobil, masuk ke dalam kafe. Vania menyambut tamu dengan ramah, tapi tidak Alice, matanya melirik sekilas ke arah mobil. Mahal itu. Seketika gadis itu langsung panas dingin tidak karuan. "Apa yang bisa saya bantu?" sambut Vania. "Tuan saya ingin dipesankan makanan," katanya sambil melirik Alice untuk segera bertindak. "Baik…, kami akan segera menyiapkan." Alice membawa Vania sedikit menjauh. "Kau yang memasaknya." Mendengar nada ketakutan Alice, Vania menatap ke arah jalan raya. Dahi Vania mengernyit saat melihat mobil itu. Matanya memicing untuk mengamatinya, mobil itu berbeda dengan mobil tadi saat di kampus. Mungkin dirinya salah tafsir. Kendaraannya saja jelas beda. Tapi, orang tua di depannya sangat familiar. Kapan mereka pernah bertemu? "Kenapa bukan kau saja?" tolak Vania karena enggan melakukannya. Alice langsung memohon padanya. "Ayolah…, lakukan saja. Ini demi aku, Van." Melihat ekspresi memelas Alice, Vania tak tega dan akhirnya mengangguk, segera kembali ke meja Ben. "Apa yang ingin anda pesan, Tuan?" "Apapun yang nona masak, saya akan menerimanya dengan baik." Vania segera pergi ke dapur, sementara Alice juga mengikutinya. "Tunggu!" Ben menatap Alice dengan tatapan lembut. "Jangan merasa takut. Lakukan tugas dengan baik. Aku yakin tuan tidak akan melakukan apapun kepadamu." "Terimakasih." Alice tak ingin diamati dari jauh oleh orang yang ada di dalam mobil. Membayangkannya saja membuat bulu kuduk berdiri. "Vania…, apa yang akan kau lakukan kepada Arthur?" "Kalau dia menggangguku lagi, aku akan membuat kakinya pincang." Emosi Vania meluap kalau membayangkan kejadian di kampus tadi. Bagaimanapun, ia harus membuat Arthur berhenti berbuat ulah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD