Raul tampak kecewa karena pulang tak mendapatkan apapun. Akhirnya dia kembali ke tempat kerjanya. Begitu sampai, seorang pria bergegas datang.
"Aku harus memberitahumu," Kata pria paruh baya itu.
"Tuan Dolphine, kendalikan dirimu. Aku tak akan lari," canda Raul sambil menggelengkan kepala dengan pelan beberapa kali.
"Ini serius, Raul. Siapa yang mengira saat aku sedang mengurusi proyek dengan pemimpin adikmu datang."
Tas yang dipegang Raul langsung jatuh ke tanah. "Lalu, apa yang ditanyakan olehnya? Mereka tidak bilang apa-apa bukan?"
"Justru itu. Ada orang yang bilang kalau kau tak datang kerja."
Padahal Raul sudah kongkalikong dengan Tuan Dholpine untuk mengantisipasi keadaan gawat itu. Tapi, siapa yang mengira kalau Vania akan datang secepat itu.
"Aku harus pulang!" ujar Raul bergegas lari keluar wilayah proyek. Tuan Dolphine berteriak keras untuk minta maaf.
"Hais…, semoga Vania tidak curiga."
Lama berlari, tidak ada satu bus pun yang lewat. Uang yang digunakan setiap harinya harus dihemat untuk kebutuhan hidup.
"Sialan!" teriak Raul cukup keras menyita perhatian beberapa orang. Pria itu memilih naik taksi agar bisa segera kembali ke rumah.
Begitu sampai di pintu gerbang perumahan langkah kakinya berhenti saat melihat mobil mewah melintas keluar gerbang.
"Mobil siapa itu? Bukankah ini perumahan sederhana?"
Raul tak ingin berpikir panjang perihal mobil itu, memilih segera pulang ke rumah untuk bertemu Vania.
"Vania…!" teriak Raul sambil membuka pintu. Pria itu masuk ke dalam rumah dengan wajah paniknya.
Tanpa permisi ia segera membuka pintu kamar milik Vania. Apa yang terjadi? Gadis itu sedang mendengarkan musik sambil berjoget-joget ria, seperti berada di dalam klub malam.
Kalian tahu? Raul yang awalnya panik sekarang terlihat kesal karena menahan amarahnya.
"Vania…!" Sampai-sampai Raul meninggikan suara beberapa oktaf sehingga membuat Vania menoleh karena kebisingan.
"Hais…, kenapa berteriak segala? Telingaku bisa tuli kalau kau terus saja berkoar seperti gorila."
"Apa ini?" Raul mengambil beberapa pakaian yang berserakan di lantai. "Kau tidak bersih-bersih tapi malah membuat kamarmu penuh sampah."
"Raul…, keluar dari kamarku!" geram Vania tertahan. Gadis itu mendorong Raul keluar kamar.
"Hei…, Vania…! Buka pintunya! Aku harus bicara denganmu!"
"Aku tak mau dengar…!" Gadis itu menutup kedua telinganya dengan handset, lalu memunguti beberapa pakaian yang ada di lantai.
Untung saja ia punya ide membuat Raul tidak curiga. Sehingga bisa membuat alibi yang pas.
"Sialan! Aku harus membersihkan ini."
Siapa yang mengira Raul berlari mencarinya seperti orang gila. Andai saja tadi Vania tidak membuka jendela, ia pasti tak punya alasan yang jelas.
"Aku malas di interogasi," ujar Vania terlihat lelah.
Lelah hati dan pikiran karena tetangganya dan Dennis. Sekarang ketambahan Raul yang pastinya bertanya perihal kedatangan ke tempat kerja.
"Hah…! Aku bisa tua mendadak!" erang Vania dengan sangat frustasi.
Raul yang masih berada di balik pintu kamar Vania bernafas lega. Setidaknya gadis itu baik-baik saja. Tapi, apa tujuan datang ke tempat kerja?
"Nanti aku akan bertanya pada Vania kalau sudah ada waktu."
Raul masuk ke dalam kamar. Sungguh lelah, pria itu tak mendapatkan apapun yang diinginkan.
Yang dilakukan saat ini hanyalah menunggu orang terpercaya itu. Sembari menunggu, ia akan mempersiapkan segalanya.
"Jangan sampai orang itu tahu kalau aku bergerak mencari cara lain."
Haiya, bukan Leo kalau tidak tahu apapun. Bahkan seekor semut pun akan ditangkapnya.
"Tuan, ada pergerakan dari Tuan Anderson."
"Apa yang dilakukannya?" Leo berjalan menatap ke arah jendela untuk melihat kamar Vania.
"Dia bertemu seseorang secara rahasia."
"Cari tahu orang itu. Kau harus mendapatkan identitasnya."
"Baik, Tuan."
Mau lewat jalur belakang, maka Leo akan memangkas nya. Raul terlalu berani untuk bertindak lebih jauh.
"Raul…, Raul…, aku tak akan membiarkan kau membawa Vania ku pergi."
Vania ku, Ah…, Leo begitu posesif karena gadis itu. Pasti para perempuan diluar pasti sana iri dengan Vania.
"Kapan malam tiba? Kenapa lama sekali?"
Jujur, Leo sudah tak sabar ingin segera menyambut kedatangan Vania.
Leo menatap kamar Vania dari jauh. Gadis itu sedang berjalan ke sana kemari, seperti sedang sibuk.
Saat balik badan, kedua mata mereka bertemu satu sama lain. Vania melotot dengan wajah kesalnya. Sementara Leo mengangkat alis sebelah kanan seraya mengejek.
"Dia menantang ku rupanya!" geram Vania sambil berkacak pinggang.
Leo tersenyum semirik terus menatap gadis itu. Begitu ditatap lekat, amarah Vania semakin menjadi.
"Pemandangan jelek," kata Vania sambil menjulurkan lidah, lalu menutup gorden jendela dengan kasar.
"Rambutku bisa beruban kalau berurusan dengan dia terus."
Vania menghela nafas karena lelah. Lantas ia berbaring di atas ranjang miliknya.
"Aku ingin mengusir tetangga itu, tapi bagaimana caranya."
Gadis itu menatap ke arah buket bunga mawar yang masih segar. Terlihat jelas kalau sangat mahal.
"Siapa yang mengirimnya?" Ia duduk seketika, menoleh ke arah jendela.
Bepikir kalau kedatangan bunga itu hampir bersamaan pertemuannya dengan Leo. mungkinkah pria itu yang mengirimnya?
"Tidak mungkin! Hah…! Aku pasti bermimpi!" Dengan tangannya sendiri, Vania mencubit pipinya.
"Sialan! Sangat sakit…!"
Tidak bisa dibiarkan, Vania akan mengembalikan bunga itu kepada pemiliknya. Dengan kasar, ia mengambil bunga itu dan bergegas keluar rumah.
"Vania…!" teriak Raul saat mendengar Vania membuka pintu keluar.
"Aku ke rumah tetanggaku!"
Dengan wajah kesal, gadis itu segera menuju ke rumah Leo.
"Paman…!" panggil Vania mengetuk pintu rumah Leo.
"Tidak merespon. Kemana dia pergi?"
Vania melakukan kegiatan itu lagi. "Aku tahu kau di dalam rumah!"
Kenapa Leo tidak keluar? Karena dia sengaja membiarkan Vania di depan rumahnya, sebab kesal dengan panggilan paman.
"Ayolah…! Aku tahu kau di dalam!"
Gedoran pintu semakin menggila, Leo malah tersenyum ketika mendengar suara teriakan itu lagi dan lagi.
"Apakah aku salah panggil? Coba dengan sebutan lain." Vania mengambil nafas panjang, "Leo…!"
Detik itu pula, pintu terbuka lebar. Leo melirik sekilas ke arah Vania. Ada yang tidak disukainya, yaitu bunga ditangan gadis itu.
"Paman…! Maksudku, Leo," kata Vania sedikit ragu. "Apakah kau yang mengirim bunga ini?"
Leo melipat kedua tangannya, duduk di sofa dengan tenang.
"Jadi, kau datang hanya untuk bunga itu?"
"Benar!" jawab Vania tanpa ragu.
Leo terdiam sejenak, "Pulang…, kembali malam nanti."
"Tunggu! Jawab aku! Apakah kau yang mengirim bunga ini kepadaku?"
"Seberapa pentingnya kau sampai aku mengirim bunga segala?" dusta Leo dengan lancar.
Vania diam membeku karena pemikirannya salah. Lalu, siapa yang mengirim bunga itu kepadanya? Dari pada menambah malu, lebih baik pulang.
"Aku tak akan datang ke rumahmu malam ini." Sejujurnya, Vania tidak ingin terlibat oleh Leo lagi dan lagi. Untung saja bukan dia yang mengirim bunga.
Tangan pria itu mengepal tanpa sadar. "Lagi pula, aku juga tak mengundangmu saja."
Jadi, bukan undangan pribadi? Aku merasa lega kalau dia mengundang beberapa orang.
"Aku pulang!" Vania membawa bunga itu kembali. Setelah gadis itu benar-benar pergi, Leo membanting vas yang ada di atas meja.
"Sialan!" teriak Leo sekeras mungkin. Ben yang tadinya sedang mengurus berkas di ruangan langsung keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Perubahan mood tuannya seperti roller coaster. Itu semua terjadi karena Vania seorang.
Baru saja tuan terlihat senang, sekarang suasana hatinya tampak buruk.