12. Panggilan Paman untuk Leo

1090 Words
Vania frustasi tiada henti di pagi-pagi buta. Keluar rumah pun harus menahan malu karena insiden tadi malam. Harusnya ia tak menyetujui Leo begitu mudah jika endingnya akan kalah seperti ini. "Vania…!" panggil Raul sambil mengetuk pintu. Vania berguling-guling tidak jelas di dalam kamarnya karena enggan beranjak dari ranjang. "Bocah malas…! Aku berangkat kerja! Jangan kemana-kemana karena aku tahu kau libur kuliah." Vania menyibakkan selimut dengan kasar, "Aku tahu…! Pergi sana!" Raul yang ada dibalik pintu menempel kertas sebagai pemberitahuan. Setelah dia pergi, Vania keluar berjalan sempoyongan. "Selalu saja seperti ini…! Hari ini libur kuliah jadi hari mengurus rumah…!" teriak Vania dengan kesal. Suara teriakan itu terdengar sampai telinga Leo. Dia sedang duduk diteras sambil membaca koran. Tentu saja juga mengintai rumah Vania. Penyamarannya tidak akan terbongkar karena Raul belum pernah bertemu dengannya. Dengan memakai kaca mata dan juga membaca koran, tidak akan ada yang menegenalinya. "Sungguh menyebalkan…," ujar Vania sambil. Menyiram bunga. Setelah ini, ia akan lari pagi seperti biasa bertemu dengan Alice di taman komplek perumahan. Kegiatan itu selalu dilakukan setiap hari libur. "Pemandangan yang indah," kata Leo ternyata sudah berada di depan pagar rumah gadis itu. Vania langsung menjatuhkan gembornya. Sejak kapan Leo ada di sana? "Kenapa kau bisa ada di sana?" tunjuk Vania dengan kesal. Hari indahnya telah berakhir karena berurusan dengan mantan kekasih aunty nya. Sungguh kebetulan yang membawa kesialan. "Tentu saja bertamu." Gila, bertamu dipagi hari. Dan tidak membawa apapun ditangan pria itu. Lihat gaya sombong dan arogansi nya itu membuat Vania tidak tahan melihatnya. "Sialan, mataku bisa sakit melihat dia setiap hari," gumam Vania di dengar oleh Leo. "Apa kau bilang tadi?" "Enyah dari rumahku, Paman? Kita tak saling kenal." Wajah Leo berubah sedingin es. Vania agak terkejut akan ekspresi itu. "Kau marah! Oke…, aku akan memanggilmu Paman Krish." Bola mata Leo melotot sempurna. Jadi, gadis yang ada di depannya ini kenal dengannya? Sejauh mana Vanya bercerita mengenai dirinya? "Kenapa kau malah melotot ke arahku? Kalau bukan Krish, siapa namamu?" Vania melipat kedua tangannya. Jangan kira ia tak bisa melotot kembali. "Leo…," jawab Leo sambil melengos pergi. "Ada apa dengannya? Apa dia datang bulan? Kenapa terlihat kesal?" Vania garuk-garuk kepala karena tidak mengerti alasan Leo marah padanya. Sungguh paman yang sulit ditebak. Sementara Leo membanting pintu dengan keras, hingga terdengar dari rumah Vania. "Dia benar-benar sangat marah? Tapi, apa kesalahanku?" Gadis itu mengambil gembornya lalu masuk ke dalam rumah. Sepanjang jalan ke kamar mandi, sampai selesai mandi bahkan berganti pakaian lalu sarapan. Ia terus berpikir kesalahan apa yang di buat. "Aku semakin tak mengerti, kenapa dia marah padaku?" Vania jadi tidak mood melakukan kegiatan apapun. Bahkan Alice yang berteriak di depan pintu pun tak di sambutnya, sampai dia masuk dengan wajah kesal. "Ayok…, kau sengaja membuat aku menjemputmu." Alice mencium aroma wangi dari tubuh Vania. "Sejak kapan mau olahraga kau mandi dulu?" "Kita istirahat," jawab Vania tanpa menoleh. Kegiatan rutin mereka di pending begitu saja. Itu hal yang tidak biasa. Lantas Alice duduk sambil bermain ponsel. "Aku tak marah, sebagai gantinya katakan padaku, kenapa kau membatalkan rutinitas kita?" "Alice…," panggil Vania sambil menatap Alice dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. "Ada apa?" jawab Alice terkesan cuek. Dia balas dendam kepada Vania. "Tetanggaku datang tadi saat aku menyiram tanaman." "Tetangga yang mana?" "Tetangga sebelah kananku. Yang pindahan tidak memberi kue." Kegiatan Alice berhenti total seketika. "Apa yang terjadi?" "Kau tau, tadi malam aku bertemu dengannya. Sebelum tadi malam aku juga bertemu dengannya di makam. Dia mantan kekasih auntyku." Alice pura-pura terkejut, "Apakah kau sudah tidak salah tebak?" "Aku tidak mungkin lupa, karena pernah bertemu dengannya. Kau tahu, wajahnya tidak berubah sama sekali. Dia tidak menua." Vania sampai terheran-heran, kenapa Leo tidak memiliki uban. Dasar gadis itu! Umur Leo saja baru dia luluh delapan tahun, lebih muda dari Raul. "Namanya berubah jadi Leo. Aku memanggilnya paman. Apakah aku salah?" Bola mata Alice langsung melotot, bahkan dia tak bisa berkata apapun lagi. Jelas Leo kesal karena Vania memanggilnya paman. Kalau dilihat, sepertinya Leo seumuran dengan Raul. "Matamu perlu di periksa, Van," kata Alice sambil melipat tangannya dengan perlahan. "Kau yang salah…!" "Kenapa? Aku tak memukul atau mendorongnya. Menyentuh saja tidak." Vania terlalu berani bertindak seperti itu pada Tuan Zang. Jika saja dia tahu iblis yang bersemayam di dalam tubuh pria itu, batin Alice bergidik ngeri. "Ada apa denganmu?" tanya Vania sambil mengerutkan kening. "Kau harus minta maaf padanya. Dan jangan memanggilnya paman, karena itu merupakan penghinaan." Vania diam sejenak, memang kurang pantas memanggil pria itu dengan sebutan 'paman'. "Jadi, apa yang harus aku lakukan?" "Jelas minta maaflah. Datang kerumahnya sekarang!" Sementara itu, Leo terlihat kesal. Apa mulanya setua itu sampai Vania memanggilnya 'paman'. Dia sampai bercermin untuk melihat seluruh tubuhnya. "Sialan…! Apa aku setua itu?" Leo ingin memukul cermin tersebut, tapi di urungkan karena tak ingin membuat tangannya luka. "b******k!" Jika dibandingkan dengan Arthur atau Dennis, dia memang terlihat tua, bahkan umurnya juga berjarak kurang lebih sepuluh tahun. "Aku pria matang, bukan seorang paman." Gila, ini definisi orang dimabuk cinta. Bicara di depan cermin memuji dirinya sendiri. Tidak lama kemudian, Leo mendengar suara bel berbunyi. Selama tinggal di rumah itu, tak ada satu orang pun yang berkunjung. Lantas, siapa yang datang. Kebetulan orang yang datang harus dimaki sebagai sasaran kekesalan. "b*****h mana yang berani berkunjung!" Oops, suara Leo langsung terkatup ketika melihat Vania dan Alice berdiri di depannya ketika membuka pintu. Lihat wajah Alice yang sudah gementar ketakutan. Kalau wajah Vania mengerut dan bibirnya sedikit menganga. "Alice, sepertinya kita salah datang kemari." Vania memukul kepalanya sendiri setelah balik badan. Namun tangannya dicekal saat hendak melangkahkan kaki. "Masuk…! Aku tahu kau ingin bicara padaku." Leo memicing ke arah Alice. "Kau kembali ke rumahmu." Alice lari terbirit-b***t ketakutan membuat Vania terheran. "Kenapa kau mengusirnya?" tanya gadis dengan pipi menggembung. Leo menarik lengan Vania untuk masuk ke dalam rumah, takut ada orang yang melihat wajah gadis itu. Betapa menggemaskan dia, dilihat dari sisi manapun. "Karena tidak ada hubungan dengannya." Suara pintu tertutup rapat membuat Vania sadar bahwa dia dijebak. "Hey…, kau membawaku masuk begitu saja?" Salahkan dia karena terlalu terpesona oleh ketampanan Leo. Terlihat lebih matang dan juga dewasa. Sampai tak menyadari bahwa Vania menurut saja dibawa masuk kedalam rumah. "Tapi, kau berjalan dengan kakimu. Itu pun tidak ada hubungannya denganku." Perkataan itu ada benarnya juga, sehingga Vania tidak bisa menyangkalnya. "Apa tujuanmu kemari?" Nah, gadis itu terlihat salah tingkah, bingung mau minta maaf dengan cara apa. "Sebentar…," kata Vania sambil mempersiapkan diri. Leo melipat kedua tangannya ingin melihat apa yang dilakukan Vania. Sungguh menyenangkan dan juga mendebarkan. Rasanya pria itu sudah tidak sabar ingin menantikan kelanjutan dari tingkah gadisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD