Raul berkacak pinggang menatap Alice dan Vania satu persatu di ruang tamu. Mereka berdua hendak sekongkol untuk menyingkirkan dirinya.
Kenapa Raul bisa tahu? Itu karena gelagat aneh mereka berdua. Dengan mata telanjang pun semua orang yang melihat pasti paham.
"Jadi, apa yang kau sembunyikan, Vania?" tanya Raul.
Vania menyenggol bahu Alice untuk minta pertolongan. Tapi percuma saja karena gadis itu mati kutu, lebih memilih menunduk. Lagi pula ia tak tahu apa-apa.
"Aku yakin kalau Alice tak tahu sama sekali." Kini Raul menatap tajam ke arah Alice. Sumpah, seluruh tubuhnya seperti tertusuk banyak jarum. Alhasil yang dilakukan hanya mengangguk beberapa kali.
Oke, sekarang Alice aman. Raul pun memutuskan untuk menyuruh gadis itu menunggu di luar.
Tapi ada kendala, yaitu tangan Vania yang meraih lengan temannya itu.
"Vania, duduklah dengan santai."
Mau tidak mau, Vania merelakan Alice pergi untuk sementara waktu.
"Fine, apa yang terjadi, Vania?" tanya Raul kembali setelah Alice benar-benar berada di luar rumah.
"Tidak ada," jawab Vania buang muka ke arah lain.
"Apakah aku saudaramu?"
"Tentu saja. Kau adalah satu-satunya saudara yang kumiliki," jawab Vania dengan tegas.
"Lantas, kenapa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"
Vania menghela nafas panjang. Dia benar-benar terpuruk dan mengakui kesalahannya.
"Aku datang berkunjung ke rumah tetanggaku untuk minta maaf, tapi dia membiarkan aku di luar sendirian hingga kehujanan."
Raul melongo mendengar perkataan jujur Vania. Mana mungkin orang tua baik itu melakukan kejahatan.
"Apakah benar adanya? Tuan tetangga sebelah itu telah membantu kita pergi ke rumah sakit!" Sumpah, Raul tak percaya perkataan Vania.
"Aku tak berbohong, Raul," bela Vania dengan nada sedikit meninggi.
Raul tahu, Vania bukanlah orang yang suka berbohong, menyepelekan kesehatan begitu saja untuk hal yang tidak berguna.
"Aku sendiri yang akan datang ke rumah tetangga dan bertanya mengenai kejadian sesungguhnya."
Vania menggigit bibirnya cemas. Artinya Raul akan mengomeli Leo karena masalah tersebut.
"Jangan memperpanjang masalah, Raul. Karena dia sudah memaafkanku," bujuk Vania dengan nada manis.
Pria itu memegang dagunya karena merasakan aneh. Namun ya sudahlah, toh Vania baik-baik saja sekarang.
"Kapan-kapan pergi ke rumah tetangga dengan membawa makanan."
Yes, akhirnya Raul bisa diatasi. Sekarang Vania merasa aman. Jika pria itu berurusan dengan Leo, gadis tersebut yakin akan runyam.
Wajah lega Vania terlihat jelas di mata Raul. Pria itu menggeleng pelan, lalu berjalan menuju dapur.
"Aku akan siapkan makanan. Suruh Alice masuk rumah."
Kalau dipikir kasihan juga gadis itu harus menunggu diluar rumah. Vania pun bergegas menghampirinya
"Alice, cuaca dingin…, cepat masuk!"
Akhirnya Alice diperbolehkan masuk rumah. Mereka menuju ke dalam kamar.
"Aku selamat, Alice," kata Vania lega.
"Katakan padaku, kenapa kau bisa sakit!?" pekik Alice tak percaya.
"Kemarin malam tetanggaku datang mengusik lagi. Karena kesal, aku mengatai c***l di depan semua orang."
Nyali Vania begitu berani memperlakukan Leo dengan buruk. Apakah gadis itu kurang peka, tidak tahu kalau hidupnya bisa saja terancam kapan saja.
"Lalu, bagaimana kelanjutannya?"
"Karena merasa bersalah, aku minta maaf kepadanya. Sayang sekali dia enggan memaafkanku. Jadi, aku tetap menunggu bahkan hujan sekalipun."
Gila, Vania benar-benar pantang menyerah. Tapi, Alice menanggapi dengan memeluk gadis itu.
Andai saja kemarin malam ia tak pergi dengan alasan kembali ke kafe, keadaan Vania tidak seburuk itu.
Jujur, Alice merasa bersalah telah melakukan perbuatan memalukan di belakang Vania.
Kapan aku bisa jujur padamu, Vania, batin Alice sambil menepuk pelan bahu gadis itu.
"Alice, aku baik-baik saja. Jangan khawatir," ujar Vania melepas pelukan itu. Alice malah menangis karena rasa bersalahnya.
"Hey…, kenapa kau jadi cengeng? Aku sudah sehat sekarang. Kau jangan bersedih."
Vania tidak tahu kalau kesedihan Alice karena rasa bersalah yang terus menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit.
Gadis itu mengusap air mata Alice, "Tersenyumlah…"
Alice langsung tersenyum kala melihat wajah lucu milik Vania. Kedua gadis itu pun tertawa satu sama lain, hingga terdengar sampai ke telinga Leo.
"Sepertinya dia sudah baikan," gumam Leo sambil membalikkan berkas.
Leo tidak sendirian di ruangan itu. Ada Ben yang berdiri di depan meja kerjanya.
"Ben, kontrak Petrucci sudah kau tangani."
"Sudah, Tuan. Hanya saja Tuan Petrucci ingin bertemu dengan anda."
Leo malas membuang waktu untuk pria serakah itu. Apalagi dia punya banyak hutang padanya.
"Kau urus saja. Aku tak mau terlibat."
"Baik, Tuan." Ben pun pergi, tapi sebelum itu Leo memintanya untuk mengirim sesuatu kepada Vania. Tentu saja menunggu Raul tidak ada di rumah.
"Sampai kapan aku harus bermain kucing dan tikus dengan Vania."
Saat ini, identitasnya tidak boleh terbongkar. Takutnya Raul akan bertindak nekat. Selama masih dibawah kendalinya, dia bisa melakukan apa saja.
"Vania…," kata Leo menatap ke arah jendela. Kebetulan gadis itu sedang membuka jendela kamarnya.
Melihat Leo menatap ke arahnya, Vania pun ikut menatap. Maka terjadilah saling pandang satu sama lain.
Sejak kapan pria itu terlihat tampan? Auranya sangat luar biasa.
"Ada apa?" tanya Alice baru saja keluar kamar mandi.
"Tetanggaku…, aku merasa ada yang berubah darinya."
Alice ikut menatap Leo. Menurut gadis itu, pria tersebut terlihat menyeramkan. Ibarat dia ular, maka orang yang ada di hadapannya adalah tikus.
Tidak tahan dengan situasi itu, Alice memilih duduk di tepi ranjang. Tubuhnya merinding mendadak karena tatap tajam milik Leo.
"Apa yang dilihat Vania? Kenapa dia sangat betah menatap Tuan Zang? Apa dia tak merasa kalau pria itu berbahaya?" gerutu Alice dengan suara pelan.
Alice tak mengerti cara pandang gadis itu. "Sampai kapan kau akan berdiri di depan jendela?" tanyanya sambil mendesis.
Vania balik badan, "Tetanggaku menatap hingga seluruh tubuhku berlubang. Aku penasaran dengan pola pikirnya."
"Sebaiknya kau tidak terlibat dengannya, Vania," peringkat Alice dengan tulus.
"Kau benar. Dia seperti hewan buas." Anehnya Vania tidak takut sama sekali karena Leo tidak menjadi ancaman.
Alice kira Vania sangat polos dan naif, ternyata dia bisa membedakan sesuatu yang sangat berbahaya.
"Kau tahu tetanggamu seperti itu, tapi kau tetap berdebat dengannya?" Sungguh Alice tak percaya dengan jalan pikiran Vania yang menggali lubang sendiri. Dia benar-benar tak memiliki rasa takut sedikitpun.
"Sebenarnya aku penasaran. Pada dasarnya ada alasan orang membuat benteng dalam hidupnya. Kemungkinan ada yang disembunyikan."
Pernyataan Vania benar adanya. Kenapa Alice tidak berpikir demikian? Memang pendapat orang pintar selalu saja berbeda dengan pendapat otak biasa sepertinya.
"Jangan bilang kalau kau ingin menggali semua tentang tetanggamu itu," tebak Alice dengan cemas.
"Tidak!" tolak Vania mentah-mentah. "Karena tidak ada untungnya sama sekali. Setelah ini, aku tak ingin terlibat dengannya."
Alice menghela nafas lega karena Vania benar-benar mengambil keputusan yang tepat. Tugasnya hanya mengawasi, bukan memberi nasihat. Jadi rasa bersalahnya akan dibayar dengan berbagai nasehat yang baik.
Vania pun menaruh tubuhnya di atas ranjang sambil tengkurap.
"Mulai besok, aku akan menghindarinya," gumam Vania didengar oleh Alice.
"Jika kau ingin pergi ke kafe setelah pulang kuliah, aku tahu jalur rahasia," kata Alice.
Gadis itu sangat tertarik dengan topik pembicaraan mereka. Kapan lagi coba tidak bertemu dengan Leo selama sehari penuh. Pasti hidupnya akan bebas.
"Katakan padaku jalur tersembunyi itu." Vania memohon kepada Alice yang sedang tersenyum.