Vania menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut saat Raul mengoceh tanda henti. Padahal, fisiknya baru saja menderita sakit, tapi dia dengan tega memarahinya.
Memang kakak laknat. Kenapa juga tak ada yang mengendalikan ocehan mercon Raul di dalam ruangan itu.
"Aku sangat kesal," kata Raul setelah berceramah tiada henti. "Kenapa kau memperlakukan dirimu dengan buruk?"
Mulai lagi, pria itu bicara mengenai tubuh. Oke Vania salah dan ceroboh sehingga menderita sakit.
"Aku berpikir negatif, takut kehilanganmu."
Sikap Raul tidak bisa disalahkan karena Vania keluarga satu-satunya yang dimiliki. Akhirnya gadis itu bersikap lunak.
"Maafkan aku, Raul," ujar Vania sambil membuka selimut. "Aku tak akan mengulanginya lagi di masa depan."
Pria itu tersenyum lembut, mengelus sayang rambut Vania. Mungkin perkataan Adam memang kejam, tapi benar adanya.
"Siapa yang menyangka kalau dokter itu kenal dirimu? Sayangnya lidah pria itu sangat tajam."
"Adam memang seperti itu. Dia jenius, Raul. Makanya sudah dapat lisensi kedokteran."
Vania dan Adam sudah mengenal dari pertama masuk ke Universitas. Mereka berdua saling bersaing. Hingga suatu hari, tanpa ada alasan yang jelas, pria muda itu pindah jurusan.
Dan kabarnya, sebentar lagi gelar kedokteran akan disandang. Tapi sebelum lulus, dia sudah mendapatkan ijin praktek.
"Jika dia muncul lagi, aku akan menjahit mulutnya."
Tawa Vania pecah. Hal itu membuat Raul sangat lega. Beberapa jam lalu, gadis tersebut sangat pucat pasi dengan tubuh menggigil. Namun sekarang dia kembali ceria seperti sebelumnya.
"Aku akan mempersiapkan kepulangan kita. Jadi aku mengurus administrasi terlebih dulu." Raul bangkit dari kursi. "Jangan kemana-kemana!"
Vania mengangguk, kemudian menoleh ke arah jendela. Kedua tangannya diangkat, seraya mengingat mimpi yang baru-baru ini terjadi.
"Apa mungkin Leo datang?"
Entah kenapa firasatnya kuat kalau Leo datang berkunjung. Vania pun memilih berjalan menuju ke jendela kaca.
Matanya melihat ada mobil yang mencolok perhatian. Ia tahu betul siapa pemilik mobil itu.
"Apa dia ada di sana?"
Leo pun juga memandang Vania tanpa henti. "Kau sudah membaik. Aku sangat bahagia."
Cukup lama Vania berdiri di depan jendela, terus menatap mobil Leo.
"Mungkin bukan dia!" Dengan kasar, Vania menutup gorden jendela itu. Ketika balik badan, Adam sudah berada di depannya.
"Astaga…!" pekik Vania tertahan.
"Ada apa? Seperti melihat hantu saja."
"Kau seperti hantu!"
"Aku datang untuk melihat perkembanganmu. Pergi ke tempat tidur!" Wajah Adam tak berekspresi sama sekali.
"Huh, dasar robot!" olok Vania terang-terangan. Adam tidak peduli sama sekali, memilih mencabut infus milik gadis itu.
"Jangan sakit lagi," ujar Adam tanpa menatap Vania.
"Memangnya kenapa? Terus saja mengejekku! Aku punya muka tebal."
Bukan itu maksud Adam. Memang lidahnya tajam, tapi sebenarnya dia khawatir. Setelah tahu pasien yang dirawat adalah Vania, pria itu pun merasa gemetar untuk pertama kalinya.
"Sudahlah…, kau terlalu acuh."
"Peduli padaku…," ejek Vania terang-terangan. "Kita kan saingan. Jangan bilang kau menaruh hati padaku."
Sialan, Adam tak pernah berpikir sejauh itu. Bersaing dengan Vania sangat menyenangkan. Hanya saja waktu kesenangan itu hanya berlalu begitu saja.
"Aku hanya menganggapmu sebagai teman."
Tawa Vania pecah. Lagi pula gadis itu juga tak berharap Adam menyukainya.
"Lama tidak bertemu. Kau semakin ahli mengolok dengan mulut pedas itu."
Adam membuang muka ke arah lain, sesekali membenarkan kacamatanya.
"Aku begitu tak ada maksud lain." Setelah selesai dengan aktivitasnya, Adam balik badan. "Senang kau baik-baik saja. Aku pergi dulu."
Hah, Adam menghela nafas panjang tatkala keluar dari kamar Vania. Kenapa gadis seceria itu harus berurusan dengan iblis seperti Leo Zang.
"Aku harap dia baik-baik saja." Adam berjalan menuju ke ruangannya. Siapa yang mengira kalau saat masuk ke dalam privasi ada orang yang berdiri di depan jendela.
"Tuan Zang," sapa Adam sambil menutup pintu dengan rapat. Takutnya ada seseorang yang mengetahui keberadaan orang itu.
"Aku rasa rumah sakit ini akan diwarisi olehmu."
Leo balik badan menatap tajam ke arah Adam.
"Tidak sia-sia kau jadi dokter."
Uh, Adam semakin tertekan dengan aura d******i milik Leo. Sungguh dia seperti Chetan yang siap memangsa siapa saja.
"Tuan sangat berlebihan."
"Adam Chade. Aku suka denganmu. Di masa depan jadilah dokter pribadiku."
"Suatu kehormatan melayani anda, Tuan." Adam membungkuk dengan hormat karena diminta Leo menjadi dokter pribadinya.
"Investasi rumah sakit ini akan aku tambah. Kali ini, kau berjasa bagi keluargamu."
Leo berjalan mendekati Adam. Keluarga Chade yang terkenal ilmu kedokteran sudah berada di bawah kuasa Zang sejak dulu.
"Ayahmu sudah pensiun. Kau yang akan melanjutkan tugasnya."
"Saya mengerti," jawab Adam patuh.
Leo menepuk bahu Adam karena senang, "Jangan bilang apapun pada Vania. Tutup mulutmu dengan rapat."
Leo keluar dari ruangan itu, melewati jalur rahasia. Kekuasaan nya yang tidak terbatas bisa merangkul apa saja.
"Dia selalu dalam genggamanku," kata Leo sambil masuk mobil. Karena Vania sudah souman, pria itu memutuskan untuk kembali ke rumah.
Matahari pun muncul bersamaan dengan kepergian pria itu dari parkiran rumah sakit. Vania pun juga sudah diperbolehkan pulang.
"Aku akan membantumu," kata Raul sambil menuntun Vania. Gadis itu melepas pegangan Raul, menggeleng kepala beberapa kali.
"Aku bukan nenek tua, Raul."
Raul pun tertawa menggelegar karena tingkah Vania yang lucu menurutnya.
"Aku pulang sendiri!" kesal gadis itu bergegas pergi.
"Ayolah…, maafkan aku. Aku janji tidak akan mengejekmu."
Bohong, Raul pembohong besar. Dari dulu ia suka mengejek Vania.
"Aku lelah berdebat denganmu." Vania masuk taxi yang sudah dipesan oleh Raul.
Dalam perjalanan pulang, mereka berdua saling diam satu sama lain. Sesekali Raul melirik ke arahnya.
"Kau masih marah?" tanya Raul.
Vania diam, lebih memilih menatap ke arah jalan raya.
"Oke…, aku minta maaf. Bukankah sudah dua kali aku minta maaf?"
Gadis itu pun menoleh, "Belikan aku tas bermerk. Maka aku akan memaafkanmu."
Sejujurnya Raul sudah membelikan Vania hadiah, tapi bukan tas bermerek.
"Aku hanya bercanda!" Vania terlihat sarkas dan menyebalkan di mata Raul.
Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di rumah. Ternyata ada Alice yang menunggu dalam keadaan cemas.
"Vania…!" panggil gadis itu sambil menghampiri mereka berdua. "Apakah kau baik-baik saja? Aku menghubungimu beberapa kali, dan aku tak mengangkat ponselmu."
"Aku baik."
"Maafkan aku tak bergegas datang karena kafe sangat rame."
Alice sangat kewalahan dan bahkan mendapatkan jatah lembur. Dia baru saja kembali dari kafe.
"Kita harus masuk! Diluar sangat dingin." Raul. Pun membuka pintu rumahnya.
"Katakan padaku, apa yang terjadi?" tanya Alice tak sabaran.
Sebenarnya Raul juga penasaran, hanya saja dia tak berani tanya karena takut menyinggung.
"Emmm…, itu," jawab Vania berkelit. Gadis itu nampak kurang nyaman dengan keberadaan Raul.
Aku tak bisa bicara terus terang kalau Raul ada di sini. Ah…, bagaimana caranya mengusir si kakak yang kepo ini?