Makan yang ada di atas meja sudah disiapkan oleh Raul untuk kedua gadis yang sedang berada di dalam kamar.
Suara tertawa memenuhi kamar, membuat pria itu tersenyum. Artinya Vania sudah sembuh seperti sedia kala. Memang dari dulu gadis itu memiliki proses penyembuhan tubuh yang cukup cepat.
"Keluar! Kalau tidak keluar kamar maka akan aku lahab sampai habis."
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk keluar kamar, masih dalam kesenangan cerita satu sama lain.
"Jadi, mejanya terbalik karena ulah orang lain!" seru Vania tidak percaya.
"Iya…, untung saja bos tidak datang. Katanya dia sakit."
Michael, sakit! Siapa yang percaya? Hanya dua gadis itu dan para staf kafe yang percaya pria itu sedang sakit.
Faktanya dia mengurung diri di salah satu ruangan apartemen miliknya. Kenapa demikian? Untuk menghindari Leo.
Segitu takutnya Michael dengan Leo sampai tidak mampu untuk keluar rumah.
Bunyi ponsel terus berdering, tapi diabaikan olehnya. Setelah ponsel mati, Leo memberanikan diri untuk melirik sebentar. Beberapa pesan telah berada di layar. Matanya membulat saat melihat pesan dari Leo.
"Uh…, sialan! Dia benar-benar yama."
Michael bangkit dari ranjang, berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Menyesal dia kenal Leo, seorang pria berwajah tampan, tapi bisa membuat keberadaan seseorang lenyap dalam hitungan detik.
"Aku hanya perlu memberikan apa yang dia minta."
Jika Leo mendapatkan Vania, mungkin kegilaannya akan berkurang. Saat melihat mereka berdua bertemu, dia terlihat bahagia seperti manusia pada umumnya.
Michael pun membasuh seluruh wajah dengan air cukup kasar untuk menghilangkan wajah kusut nya. Tanpa mandi, dia memakai jaket yang biasa dikenakan.
Dalam pesan singkat yang dikirim Leo, ia diminta untuk berkunjung ke rumahnya. Apa yang direncanakan pria itu? Jelas Michael tak paham.
Sementara itu, Leo berjalan menuruni anak tangga. Ben terlihat sedang memandu dua pelayan yang bekerja di rumah itu.
"Michael akan datang. Siapkan berkas nya, Ben."
Ben mengusir dua pelayan tadi, lalu menoleh, "Apa rencana, Tuan?"
"Tentu saja mengambil alih kafe. Aku sebagai bosnya, bukan Michael."
Beberapa waktu lalu, Leo memberikan investasi kepada Michael yang baru saja membeli kafe. Entah itu keberuntungan, pria tersebut tak tahu. Yang jelas keinginannya terpenuhi.
"Saya akan mempersiapkannya," kata Ben undur diri.
Seharusnya Leo menghukum Michael karena telah membawanya Vania masuk ke klub malam. Alih-alih menghukumnya, malah meminta kafe dijual padanya.
"Pikiranku tak bisa sejernih dulu."
leo berjalan keluar rumah, melirik sekilas ke rumah Vania. Kapan Raul pergi? Seharusnya dia kerja di jam seperti ini.
Tidak lama kemudian, Raul keluar rumah. Leo langsung masuk ke dalam rumah lalu mengintip ke arah jendela.
Langkah kaki Raul berhenti karena merasa ada yang janggal. Orang tua yang tinggal di samping rumahnya terlihat biasa, tapi mobilnya sangat mewah dan bagus.
"Apakah ada orang lain di dalam rumah ini?"
Lama termenung, Raul dikagetkan oleh suara klakson mobil. Dia pun menyingkir lantas bergegas pergi.
Itu mobil Michael. Pria tersebut keluar mobil dengan wajah suram. Jujurlah, dia enggan untuk datang.
Michael pun hendak mengetuk pintu, namun Leo sudah membukanya.
"Masuk…! Aku perlu bicara."
Sangat beresiko mengundang Michael ke rumah karena keberadaan Vania.
Tidak ada suara dari Michael, karena dia tak ingin membuat Leo marah.
"Kau sangat tegang."
Jelas tegang, karena suasana ruangan begitu dingin membuat Michael tercekik tak bisa bernafas. Ia heran dengan Ben yang betah bekerja di bawah Leo.
"Jual kafemu padaku."
Wajah Michael langsung cerah seketika, "Aku akan menjualnya."
Kafe itu kecil, tidak banyak menguntungkan. Kalau bukan karena keluarganya, ia malas menjalankan kafe tersebut.
"Kau tetap menjadi bos. Tapi segala tanggung jawab kafe ada padaku."
Akhirnya Michael bisa bebas mengelola klub malam mewah miliknya.
"Aku sangat ingin menjualnya dari dulu."
Senang rasanya kalau beban terangkat. Ngomong-ngomong, Leo juga sudah tak marah padanya.
"Tunggu saja sebentar, Ben masih mengurus berkas untuk kita." Leo bangkit dari sofa, ingin keluar rumah. Tujuannya yaitu bertemu dengan Vania.
"Kemana dia pergi?" Michael hendak mengikuti Leo, sayangnya Ben menegurnya.
Karena Raul sudah berangkat kerja, jadi Leo berani bertindak bebas. Dia bahkan sudah berada di depan rumah Vania.
"Harusnya aku membawa oleh-oleh." Pria itu mengetuk pintu beberapa kali. Sontak ada orang rumah yang membuka pintu itu, ternyata adalah Alice.
"Siapa Alice?" tanya Vania dengan keras.alice terdiam, menundukkan kepala.
"Katakan padanya itu aku!" geram Leo tertahan karena Alice tidak membiarkannya masuk.
"Tetangga samping rumah!"
"Bawa masuk!"
Alice mundur beberapa langkah ke belakang saat Leo masuk ke dalam rumah Vania. Aroma tubuh gadis itu menyebar begitu kuat. Inilah yang membuatnya candu siang dan malam.
"Pergi dari rumah ini!" usir Leo dengan suara dinginnya. Alice mengangguk patuh, mengambil tas yang ada di sofa. Lalu bergegas pamit kepada Vania.
Gadis yang masih mencuci piring itu tampak terkejut hingga menjatuhkan gelas.
"Astaga…! Tanganku licin."
"Hais…, kau selalu saja ceroboh, Vania."
"Itu karena kepulanganmu tanpa alasan."
"Orang tuanya sedang menunggu. Temanmu baru saja menerima telepon," dusta Leo dengan lancar, bersandar di kayu pintu.
Vania terlihat sangat terkejut melihat Leo datang berkunjung. Ada perasaan senang saat bertemu dengan pria itu.
Dia sudah tidak marah padaku, batin Vania kegirangan.
"Aku tak bisa membantumu membersihkan nya. Aku harus pergi."
Alice lari seribu langkah untuk keduanya. Namun Vania tidak marah sama sekali karena tingkah temannya itu.
"Biarkan aku yang membantumu."
Kapan Leo berjalan mendekat, Vania tidak mendengar suara langkah kakinya. Apa dia terlalu fokus dengan segala pemikiran yang ada di otak kecil itu.
"Kau tamu," kata Vania mencegah Leo melakukannya. Kedua tangan mereka bersentuhan. Sumpah seperti ada sengatan listrik.
Leo pun tersenyum senang karena jantungnya terasa berdetak. Selama ini, jantung itu tak pernah hidup lagi setelah kepergian Vanya. Dan kali ini, gadis kecil yang ada di hadapannya telah membuat hidup pria itu berubah.
Sama halnya dengan Vania. Entah kenapa ada getaran aneh yang menggelitik perut. Lihat wajah tampan Leo tanpa goresan membuat jantung berpacu liar.
Ups…, dia kan bukan tipeku. Aku tidak suka yang tua, selak Vania di dalam hati.
Faktanya, mata gadis itu tidak berpindah tempat. Yang ada malah menatap Leo tiada henti, seolah menandai miliknya.
Tataplah diriku, aku akan berpura-pura tidak tahu. Sepertinya, Vania mulai menerima kehadiranku.
Ah sungguh menyenangkan, bersama dengan Vania menjadi indah. Kehidupan membosankan perlahan mulai hilang.
"Sampai kapan kau akan menatapku?" tanya Leo sambil tersenyum setelah selesai memunguti pecahan kaca. Tanpa sadar, ada goresan kecil di jari manis pria itu.
Vania tersentak, lalu meraih tangan Leo. Entah dorongan dari iblis mana, dia lancang menaruh jari manis pria itu ke dalam mulutnya.
Astaga, Leo tidak menyangka bahwa tindakan kecil itu mampu mendorong hasrat yang lama terpendam di dalam dirinya.