35. Aku Pantang Menyerah

1085 Words
Vania duduk di taman untuk menunggu kedatangan Alice di ruang tamu. Karena ia baru saja sakit, diskusi kelompok pun disarankan datang ke rumahnya. Keputusan itu tidak diambil sepihak, melainkan keputusan bersama. "Apa temanmu tak jadi datang?" tanya Raul sambil makan snack di depan gadis itu. "Kemungkinan. Kalua pun tak datang, aku juga tak peduli." Begitulah Vania, jika salah satu anggota tak hadir, ia bisa mengerjakan bagiannya. Tapi ada konsekuensi yang harus diterima, yaitu dikeluarkan dari grup. "Kau terlalu jahat," olok Raul terang-terangan. "Aku hanya melakukan apa yang harus mereka terima.". Raul pun diam karena tak mau berdebat lagi dengan Vania. Tidak lama setelahnya, Alice datang sambil membawa buku di tangan. " Mereka belum sampai," kata Alice sambil. Menaruh buku. "Dennis tak akan sampai," jawab Vania menatap Alice sambil tersenyum "Jangan bilang kau membully nya!" tebak Alice di angguki oleh Vania. Astaga, nyali Vania benar-benar besar. Dennis pun juga terkena imbasnya. "Aku risih dengannya, selalu menempel seperti gurita." "Siapa yang menempel?" tanya Raul dengan tegas. Kedua gadis itu lupa kalau Raul masih ada di ruangan yang sama. "Kau salah dengar," ujar Vania merebut snack yang ada di tangan Raul. "Telingaku masih berfungsi dengan baik, Vania." Raul yakin kalau ada yang disembunyikan Oleh gadis itu. Baik hal buruk sekalipun, ia akan mengorek nya. Sejauh ini, gadis itu masih menjadi penurut. "Raul, aku sudah mengatasinya. Jadi, jangan khawatir." Sebisa mungkin Vania meredakan amarah Raul, supaya tidak terjadi hal buruk di masa depan nanti. Aku akan menguliti pria yang mengusik Vania, batin Raul dengan wajah gelapnya. Pria itu pun bangkit tanpa instruksi. Berjalan ke kamar pu dengan membanting pintu, sampai membuat orang rumah kaget. "Dia seperti datang bulan," cibir Alice menggeleng kepala berulang kali. "Abaikan saja. Raul memang seperti itu." Raul punya tanggung jawab besar terhadap Vania. Semua yang dilakukan hanya untuk kelangsungan hidup sang adik. Apapun itu, demi dia akan dilakukan. "Ibu…, sepertinya Vania sudah dewasa," kata Raul menatap foto mereka sekeluarga. Jumlahnya terdiri dari empat orang. Vania kecil, dirinya dan kedua orang tua yang masih muda. Jika mereka masih hidup, pasti sudah beruban. "Kepentingan Vania lebih diutamakan." Raul membuka laci nakas. Di dalam sana ada sebuah amplop warna coklat. "Kapan aku siap mengatakan fakta tentang masa lalu kehidupan kami?" Raul tak ingin Vania hidup dalam keterpurukan karena masa lalu. Gadis itu hanya tahu bahwa penyebab kecelakaan orang tuanya adalah tanpa sengaja. Andai saja dia tahu kalau orang tuanya meninggal karena orang lain. "Vania…, aku hanya punya kau seorang." Cinta dan kasih sayangnya kepada Vania cukup besar. Tanpa sadar, air matanya menetes. Saat terhanyut oleh perasaan, Raul mendengar gelak tawa dari luar. Tidak lama kemudian, ia mendengar suara seorang pria. Segera dirinya menjadi pendengar yang baik. "Sesuai dugaanku, Dennis tak akan datang," kata Vania cukup percaya diri. "Ya sudah…, kita kerjakan sekarang!" arthur mengeluarkan bukunya satu-persatu. "Kita masuk ke dalam kamar saja. Meskipun kecil, tapi aku punya komputer dan printer," ajak Vania. Mereka berdua mengangguk setuju. Saat keduanya hendak bergegas menuju kamar Vania, Dennis tiba-tiba muncul. "Maaf.., aku terlambat." Semua mata tertuju padanya. Ada lebam di bagian pipi kanan akibat pukulan orang. Tapi, Dennis malah tersenyum. Dia gila! Kenapa dia tidak menyerah? Seharusnya Dennis tak datang! Wajahnya benar-benar sesuatu, batin Vania. Astaga! Ulah Vania, batin Alice sembari menyenggol bahu Vania. "Ada apa dengan wajahmu?" tanya Arthur penasaran. "Dikeroyok masa," jawab Dennis singkat, melirik sekilas ke arah Vania yang acuh. Apakah dia tidak minta maaf padaku? Aku tak akan menyerah, kesal Dennis di dalam hati. Ingin marah karena Vania telah mengerjainya sampai berakhir di kantor polisi. "Ehem…, kita masuk kamar sekarang!" Alice sengaja mencegah Dennis banyak bicara mengenai kejadian barusan. "Tidak boleh!" cegah Raul keluar dari pintu kamarnya. Dennis memicingkan mata, mengamati Raul dari atas sampai bawah. Dia memang hampir mirip dengan Vania. Mungkinkah saudaranya? "Raul…! Bukankah kau ingin tidur?" Vania mendorong tubuh Raul untuk masuk ke dalam kamar lagi, sebelum membuat keributan. "No!" tolak Raul mendorong pelan tubuh Vania ke samping kanan. "Dia kan yang kau maksud?" tunjuk pria itu kepada Dennis. Dennis terlihat kebingungan, menatap mereka satu persatu untuk minta penjelasan. "Kami akan mengerjakan tugas kelompok," kata Alice berusaha membujuk Raul. "Di sini aku adalah kepala keluarga. Semua aturan rumah adalah aku sebagai patokannya." "Ayolah…, Raul!" Vania mulai kesal. "Apa yang kau inginkan?" "Kalian mengerjakan tugas di ruang tamu. Aku yang akan memindahkan komputernya." Keputusan Raul sudah final. Bisa-bisanya Vania mengizinkan dua pria masuk ke dalam kamar seorang gadis? Terkadang otak adiknya terlihat bodoh dan naif secara bersamaan. Belum mendapat jawaban iya dari Vania, Raul sudah membawa keluar komputer dan printer satu-satu. Arthur hendak ikut membantu, tapi dicegah oleh pria itu. "Duduk dan lihat! Keluarkan bahan diskusi!" titah Raul bak seorang dosen. Mereka semua menurut, termasuk Dennis. Karena Raul terlihat menyeramkan seperti beruang. Dia tak ingin mencoreng nama baiknya. Setelah selesai menatap alat-alaf itu, Raul duduk mengawasi mereka semua dengan makan snack. Vania sangat risih melihat suara makan pria itu. "Raul…! Bisa tidak kau kembali ke kamar?" usir Vania terang-terangan. "Cih…, dasar pelit!" Vania hanya melongo saja, menatap Raul yang bangkit dari kursi, lalu masuk kamar. Dia juga membanting pintu dengan keras. "Dia menyebalkan," gumam Vania didengar oleh Alice. "Sudahlah…, biarkan saja dia." Vania pun bangkit menuju ke dapur untuk membuat minuman. Siapa yang menduga kalau Dennis mengikuti nya. "Apa yang kau buat?" "Kau tidak kapok juga," kata Vania dingin. "Kau kejam, Vania. Wajah tampan ku terkena pukulan." Sialan Dennis! Sekali lagi Vania memaki di dalam hati. Pria itu benar-benar tak punya urat malu sama sekali. Diabaikan pun masih saja menempel terus. "Jangan menggangguku," peringat Vania untuk terakhir kali. Tiba-tiba saja, kerah Dennis ditarik dari belakang Oleh seseorang. Ternyata Raul yang melakukannya. "Telinganya tuli!" geram Raul tertahan. Vania balik badan sambil mengusap kasar wajahnya. "Kau mau membuatnya babak belur?" tanya Vania memastikan. Karena terjadi kegaduhan, dua orang di ruang tamu mencari sumber suara. Faktanya adalah Raul mencengkram kerah bagian belakang milik Dennis. Sementara pria itu berusaha melepaskan diri. "Tentu saja, sampai masuk ke rumah sakit," jawab Raul dengan bersemirik. Pria itu menatap Dennis tanpa henti, seolah monster yang siap mengoyak tubuhnya. "S-sepertinya ada kesalahpahaman disini," ucap Dennis dengan nada terbata-bata. Dua orang yang menonton tampak terkejut, tapi kemudian Alice menyarankan Arthur untuk kembali ke ruang tamu. "Kenapa kita tidak melerai mereka?" tanya Arthur merasa khawatir dengan kondisi Dennis. "Bukan urusan kita. Dennis akan aman," jawab Alice santai. Dia sudah tahu kegilaan Raul dan Vania. Makanya Alice tak heran sama sekali. Lagi pula salah Dennis sendiri yang lancang terus mendekati temannya itu. Untung saja Arthur sudah tobat, batin Alice menatap ke arah Arthur yang melanjutkan kerja kelompok mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD