Raul tak akan membiarkan p****************g berada di dekat Vania. Mau itu anak pejabat atau anak konglomerat dia tak peduli sama sekali.
Katakanlah kalau dia brother kompleks. Iya, benar adanya karena memang rasa sayang terhadap Vania begitu besar.
"Raul…, kau bisa bicara baik-baik padanya." Melihat Dennis dengan wajah pucat, Vania merasa sangat kasihan.
"Buaya satu ini harus diberi pelajaran," kata Raul dengan nada dingin. Sungguh Dennis tidak bermaksud apapun. Dia juga tidak mempermainkan Vania.
Pria itu hanya ingin menjadi kekasih Vania. Kenapa segalanya sulit dan rumit?
"Aku tulus terhadap Vania," ucap Dennis dengan jujur.
Raul tak berkutik, masih mencengkram kerah leher bagian belakang milik Dennis. Meskipun pemuda itu bersikeras membela diri, ia tak melembut sedikitpun.
"Apakah aku harus membuat wajahmu cacat?" ancam Raul tak main-main.
Dennis menggeleng dengan cepat, "Sumpah, aku benar-benar tulus."
Melihat Dennis yang sepertinya benar mencintai Vania, Raul menghela nafas panjang. Sepertinya sang adik memang sudah waktunya berkencan.
Dari pada dia sendirian, lebih baik bersama dengan pemuda lain. Kalau dilihat, semua yang ada pada tubuhnya mahal, jelas dia orang kaya. Namun semua butuh pertimbangan lagi.
Raul bukan mata duitan, tapi dia ingin mencari pasangan yang bibit, bebet, dan bobotnya terjamin.
Asalkan Vania hidup bahagia, serta nyaman. Raul tak peduli sama sekali.
"Kau tidak sederajat dengan kami. Kau lebih kaya," ucap Raul melepaskan kerah Dennis.
Akhirnya pria itu bisa bernafas lega, lepas dari monster seperti Raul.
"Jangan membuatku jadi dagangan, Raul." Vania melewati kedua pria itu begitu saja.
"Kau salah paham, Vania," bela Raul. "Dan kau…," tunjuk pria itu kepada Dennis. "Jangan pergi dari sini sampai aku kembali."
Raul mengunci pintu supaya Dennis tidak kabur dari rumahnya. Ia bergegas mengikuti sang adik ke ruang tamu.
"Aku hanya ingin terbaik untukmu," kata Raul lagi dan lagi.
Vania kesal diatur oleh kakaknya. Kapan bisa hidup bebas kalau di kengkang terus?
"Aku bisa memilih pasangan." Vania berkacak pinggang. Mulai dah, dua saudara berdebat satu sama lain. Alice mengajak Arthur menyingkir dari tempat itu supaya aman. Bahkan mereka tak menyadari kepergian dua orang itu.
"Aku adalah kakakmu. Kau adalah adikku satu-satunya," ujar Raul tak mau kalah.
"Tapi bukan berarti kau mengendalikanku!" Nada Vania cukup tinggi sampai Leo yang ada di rumah mendengarnya.
"Lantas apa maumu? Berkeliaran di luar sana mencari kekasih?"
Segitu rendahnya Vania di mata Raul. Kenapa perkataan itu kejam sekali?
"Kau!" tunjuk Vania dengan wajah kesal. "Sepertinya kita harus intropeksi diri, Raul."
Vania pun keluar dari rumahnya. Lantas Raul berteriak. "Kembali…! Kau mau kemana?"
Gadis itu mengabaikan Raul yang terus berteriak memanggil namanya berulang kali. Sungguh, terkadang Vania lelah dengan temperamen pria itu.
"Menyebalkan!" geramnya tertahan. Vania menatap bulan yang ada di langit. Terkadang ia merindukan kedua orang tuanya.
"Bu, bagaimana kabarmu?" Sesekali gadis itu menghela nafas panjang sambil tersenyum.
"Ada kalanya aku merindukan kalian berdua." Vania pun berjalan menuju ke taman untuk membuat otaknya segar.
Berdebat dengan Raul membuatnya banyak berpikir. Ia pasti menjadi beban sang kakak. Seharusnya mereka hidup terpisah, tapi karena dia saudara satu-satunya, Vania masih ingin hidup bersama.
"Kau keluar dari rumah," kata Alice dengan tiba-tiba. Vania menoleh seketika, tersenyum melihat dua orang yang berada di belakangnya.
"Iya, karena aku tidak ingin berdebat dengan Raul," kata Vania dengan jujur.
"Kakakmu sungguh keras." Arthur mulai bicara. "Tapi dia sangat menyayangimu."
"Kau benar, Arthur. Dia sangat sayang padaku hingga takut kehilangan."
Vania tidak marah, malah merasa bersalah karena menjadi beban untuk Raul.
"Sekarang kita kembali saja," usul Alice menepuk bahu Vania.
"Tidak…, kita ke restoran yang ada di ujung jalan. Aku lapar…," ajak Vania menyentuh perutnya sendiri. Begitulah dia, akan memikirkan makanan dimanapun tempatnya.
Mereka pun berjalan menuju ke gang, sesuai dengan keinginan Vania. Tidak ada yang bicara apapun, termasuk Arthur. Hanya saja, perasaan pria itu sedang dilanda tidak enak.
Mungkin hanya perasaanku.
Nyatanya tidak, karena mereka ditatap oleh Leo yang diam-diam mengikuti dari belakang. Dia seperti penguntit c***l.
"Aku tak bisa berdiam diri."
Akhirnya Leo berjalan sambil memegang ponsel untuk dijadikan alasan. Dia akan bersandiwara pura-pura bertemu dengan mereka bertiga.
Sampailah para pemuda itu ditempat sederhana. Restoran dengan gaya rumahan, tidak ramai dan juga memiliki pemilik yang ramah.
"Seperti biasa," kata Vania sambil menunjukkan tiga jari, lalu duduk diikuti oleh dua temannya.
"Siap!" jawab salah satu dari pelayan mereka.
"Apa yang kau pesan?" tanya Arthur penasaran.
Suasana restoran itu membuat Arthur menatap jijik. Wajarlah, dia adalah salah satu pemuda di kampus. Karena kekayaan turun temurun, pria itu tak pernah makan di restoran kelas rendah.
"Ada apa?" tanya Vania mengerti gelagat dari Arthur.
"Tidak ada," jawab pria itu dengan cepat. Ia tak mau menyinggung dua gadis tersebut. Takutnya datang kebencian mereka terhadapnya.
"Ehem!"
Tiba-tiba saja seseorang berdiri di samping meja mereka. Sontak ketiganya mendongak. Dua orang tak penasaran, jelas tahu tujuan pria itu.
Sementara Vania mengerutkan kening. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Makan," jawabnya singkat.
Vania menatap dari atas sampai bawah. Seorang Leo makan di tempat kasta rendah, sungguh tidak masuk akal. Dia benar-benar sesuatu.
"Aku akan makan bersama kalian," ucap Leo duduk begitu saja tanpa persetujuan mereka. Kedua teman Vania tampak acuh tak peduli. Padahal di dalam hati mereka tidak nyaman sama sekali.
"Chef…! Dibungkus saja!" teriak Vania mengubah acara mereka sepihak.
Alice dan Arthur saling pandang satu sama lain. Keduanya mengedikkan bahu lalu berlanjut main ponsel.
"Kau menghindariku." Wajah Leo menggelap sehingga suasana tampak suram.
"Tidak," jawab Vania buang muka ke arah lain. Artinya iya kalau dia sengaja menghindar.
Leo bangkit dari kursi menuju ke dapur, setelah itu balik lagi.
"Pesananmu yang dibawa pulang sudah aku batalkan."
"Apa!" teriak Vania dengan wajah kesal.
Semua orang menatap ke arah meja mereka. Alice dan Arthur terlihat malu, dan akhirnya memilih pindah meja.
"Hai…, mau kemana kalian?"
"Kami tak bisa duduk bersama dengan kalian," kata Arthur tersenyum terpaksa.
Mata Vania pun beralih pada Alice yang mengangguk setuju dengan pendapat Arthur.
Astaga…! Semua temanku berkhianat, geram Vania di dalam hati. Bersamaan dengan itu, ia merasa merinding karena kedinginan.
Lantas penglihatannya beralih pada Leo yang seperti marah padanya.
"Oke…, kita makan di sini sebagai permintaan maaf malam itu."
Akhirnya, Vania mengalah karena merasa bersalah terhadap Leo. Melihat wajah pria itu yang suram, hatinya tidak tega.
Benar-benar gadis yang lembut, meski terkadang keras kepala.
Wajah Leo langsung cerah dalam hitungan detik, bak telapak tangan dibalikkan dengan mudah.
"Maka aku akan menerima dengan senang hati," kata Leo mengekspresikan wajah begitu lembut.
Dug, jantung Vania berdetak cukup kencang, sehingga dia sendiri kebingungan. Karena malu tanpa alasan, gadis itu membuang muka ke arah lain
Segala gerak gerik Vania menimbulkan pertanyaan besar bagi Leo.
Apakah perasaan Vania mulai tumbuh?
Rasanya pria itu tak sabar membuat gadis itu jatuh cinta padanya. Membayangkan menjadi kekasih adalah masa depan terindah dalam hidup pria itu.
melihat wajah Vania yang malu-malu, ia yakin kalau Vania mulai tertarik padanya.