34. Kena Pukul

1060 Words
Vania berlari sekuat tenaga setelah memberikan masalah kepada Dennis. Semoga dengan kejadian barusan, dia kapok dan tak akan mendekatinya lagi. Jujur saja, dia sangat risih kalau ada orang yang sok dekat padahal baru kenal. Meskipun mereka sekelas, tapi tetap saja. "Aku bisa kurus mendadak," kata Vania menghentikan larinya. Tenggorokannya kering karena banyak melakukan aktivitas lari. Akhirnya ia memutuskan untuk istirahat sejenak di taman kompleks. Saat hendak mengambil air minum yang sudah dibeli. Mata Vania tanpa sengaja menangkap seseorang. Dia adalah Adam. Bagaimana bisa pria itu ada di sekitar perumahannya. "Bukan urusanku." Vania acuh, segera menyelesaikan rasa hausnya detik itu juga. Satu botol berukuran empat ratus lima puluh mili liter habis seketika di teguk tanpa jeda. Padahal udara dingin, tapi tubuh Vania terasa panas. "Apakah karena efek obat?" Terkadang Vania kebingungan dengan tubuhnya. Karena saat sakit pun butuh waktu sebentar untuk sembuh. Manusia atau monster, dia sendiri tak tahu. "Masa bodoh!" Vania balik badan, tersentak kaget saat melihat Adam berdiri di depannya. "Kau! Sejak kapan kau berada di sini!" "Sejak kau mengomel tidak jelas." Adam adalah orang bermulut tajam, pedas dan juga menyakitkan. "Hais…, menyingkir dari hadapanku." "Masih ada jalan lebar. Kenapa aku harus menyingkir?" Berdebat dengan Adam membuat darah Vania semakin mendidih. Otaknya terasa terbakar oleh api amarah. "Adam, jangan membuatku ingin menendang pantatmu." "Maka aku akan tendang balik." Sudahlah, lebih baik mengalah. Dari pada emosi. Vania pun memilih menyudahi acara perdebatan mereka. Namun siapa yang menyangka bahwa Adam berjalan beriringan tanpa berkata apapun. "Sialan! Aku sangat kesal!" erang Vania cukup keras. "Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin pergi ke rumah seseorang." Adam berjalan mendahului Vania. Sungguh cecunguk itu membuat emosinya naik. "Biarkan dia berjalan dulu," kata Vania melambat langkah kakinya. "Kau seperti siput. Lambat dan juga banyak lemak." Astaga, Vania sudah tak tahan ingin sekali memukul kepala Adam. "Oh…, kau juga seperti siput karena selalu tidur dimanapun." Adam punya kelemahan dalam hidupnya. Jika ia lelah, detik itu juga dirinya akan terlelap meski di jalan sekalipun. "Jangan mengusikku, Vania." "Kau sendiri yang mengusikku." Gadis itu menyenggol bahu Adam cukup keras lalu pergi mendahuluinya. Adam hanya menggeleng karena Vania tidak berubah sama sekali sejak dulu. Yang dilakukan pria itu hanya mengikuti dari belakang. Merasa Adam berjalan terus tanpa arah dan tujuan, Vania yakin kalau dia menang sengaja mengikutinya. Sampai gadis itu berhenti tepat di depan rumah Leo. "Kenapa kau mengikutiku?" hardik Vania balik badan. "Percaya diri sekali. Kau bukan bunga yang di ikuti banyak kumbang." Adam memang begitu orangnya. Suka mencela orang dengan mulut pedas layaknya cabai. Pria itu pun belok ke rumah Leo membuat Vania melongo di tempat. Asli sumpah, malunya tak terkira. "Kau harus mengaca lebih dulu," ejek Adam mengangkat alis sebelah kanan. Dia benar-benar membuat Vania naik pitam. "Menyebalkan!" Tak ingin berlama-lama, ia bergegas kembali masuk rumah. "Vania…, Vania…, kau sama seperti dulu," gumamnya sambil tersenyum. Karena hanyut dalam suasana hati, Adam tak menyadari kalau Leo menatapnya dengan penuh permusuhan. Hingga akhirnya ia tersentak kaget bukan kepalang. "Tuan…," panggil Adam dengan nada lirih. "Masuk!" titah Leo. Adam menelan ludahnya kepayahan. Pintu belum ditutup, sebuah pukulan mendarat sempurna di pipinya. Pria muda itu langsung tersungkur di lantai akibat dari pukulan keras tersebut. "Tuan…." Adam tak mengerti apa kesalahannya. "Ben….!" panggil Leo cukup keras. Ben yang masih di dalam kamar mandi bergegas keluar menemui sang tuan. "Ada apa, Tuan?" "Kau bawa bocah ini ke dalam ruanganku!" Leo pergi meninggalkan mereka berdua dengan amarah yang meluap. Adam heran, apa sih salahnya sampai harus dapat pukulan. "Aku disambut dengan pukulan," gumam Adam didengar oleh Ben. "Pasti kau punya salah," kata Ben sambil membantu Adam berdiri. Pria tua itu mengajaknya masuk ke ruangan Leo. Kali ini sebuah cangkir teh melayang ke arah Adam. Refleks dia menghindar dengan cepat. "Ben…! Keluar!" teriak Leo. Ben undur diri karena tak mau terlibat dengan permasalahan Adam. "Apa maksudnya, Tuan?" "Kenapa kau bisa bersama dengan Vania? Bahkan kau berdebat dengannya?" Mata Leo seperti hewan buas, siap menyerang Adam kapan saja. Inilah sosok asli dari majikannya. Pantas saja ayah tak berkutik sama sekali. "Kami adalah teman," jawab Adam dengan jujur karena masih sayang nyawa. Leo lama terdiam, mengetuk meja dengan jarinya beberapa kali. Pria itu kesal karena melihat keakraban mereka berdua layaknya pasangan. "Dunia begitu sempit," ujar Leo sambil bangkit dari kursi, menuju ke tempat Adam berdiri. "Aku harap kau menjaga sikap dengan tidak terlalu banyak bicara kepada Vania." Adam menatap Leo tanpa rasa takut, meskipun begitu aura permusuhan terus terpancar. "Saya tak memiliki perasaan apapun terhadapnya." Adam hanya mengangguk Vania, bukan menyukai. Gadis seperti Vania jarang adanya, mungkin satu diantara sejuta orang. "Jujur, aku cemburu. Aku bahkan ingin mencabik mu sekarang," geram Leo terdengar menakutkan. Pemuda itu menelan ludahnya dengan kasar. Kedatangan nya ke rumah Leo adalah ingin mengecek kesehatan pria itu. Karena sebagai dokter pribadi, dia harus terus memantau kesehatan majikan. "Saya tidak akan mengulangi lagi, Tuan." Adam membungkuk hormat, mencoba untuk membujuk Leo agar mau memaafkannya. "Sekali lagi mulutmu langkah, maka lidahmu akan aku potong!" ancam Leo tak main-main. Adam mengangguk patuh karena tidak ingin membuat masalah. Jika ia bertindak gegabah, maka nyawa seluruh keluarganya bisa melayang. "Ijinkan saya melakukan pemeriksaan rutin." Leo diam, melewati Adam untuk duduk di belakang pemuda itu. Jujur emosinya kian memuncak setiap harinya. Itu karena banyak pria yang berada di sekitar Vania. Karena Adam dokter yang biasa merawat atau memeriksa pasien, dia tampak menanganinya dengan baik. Jika orang lain, pasti sudah gemetar duluan. Kesehatan Leo cukup baik, hanya saja dia terlihat stres. "Saya harap, Anda beristirahat lebih lama dari jadwal." Bahkan Leo selalu saja tidur sangat singkat. Hanya Vania yang bisa membuat tidurnya nyaman. "Saya akan memberikan obat tidur yang berkualitas." Leo acuh saja dengan perkataan Adam, seperti angin lalu baginya. Sampai pria muda itu pergi, ia tak beranjak dari kursi. "Aku harus segera memiliki dia. Bagaimanapun caranya!" geram Leo tertahan, mengepalkan tangan cukup kuat hingga seluruh bagian otot mengeras. Takutnya pria lain akan mengambil Vania dari tangannya. Karena saat ini, gadis itu tak bisa digenggam atau direngkuh. "Sialan!" Teriakan Leo cukup keras sehingga terdengar sampai rumah Vania. Gadis itu bahkan sampai kaget hingga menjatuhkan kemoceng. "Si tetangga sedang marah. Pasti terjadi sesuatu." Karena penasaran, Vania melakukan penginapan lewat jendela. Gadis itu melihat Adam dengan tatapan tajam. "Ada apa dengan sudut bibirnya? Dia habis dipukul." Baru kali ini, Vania melihat Adam memiliki wajah lebam bekas pukulan. "Dia pasti dianiaya oleh Leo." Vania manggut-manggut karena pendapatnya itu. "Menyeramkan…," ujar Vania bergidik ngeri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD