11. Astaga! Tetanggaku....

1055 Words
Vania menutup pintu kafe karena semua karyawan yang lain sudah pulang terlebih dulu. Kuncinya dia masukan ke dalam tas. Gadis itu menatap bulan sabit yang bersinar. Pandangan matanya pun beralih pada lalu lalang kendaraan. Jalan trotoar yang dihiasi banyak lampu membuatnya semangat untuk berjalan kaki. Jarak antara kafe dan rumah tidaklah jauh, sekitar beberapa blok saja. Maka dari itu, ia memutuskan untuk berjalan kaki. "Aku harus cepat pulang…," kata Vania penuh semangat yang membara. Vania tidak menyadari kalau Leo sedang mengawasinya di dalam mobil. Dia meminta Ben untuk menjemputnya ke kafe, sambil menunggu tempat itu tutup. "Ben…, jangan terlalu dekat," ucap Leo seraya tersenyum. Bagaimanapun melihat gadisnya begitu ceria merupakan pemandangan yang indah. "Ben, hentikan mobilnya. Aku akan turun." Kali ini, Leo tak akan berbuat kesalahan seperti sebelumnya. "Apakah tuan yakin?" "Cepat…, kau masih menolak perintahku." Akhirnya mobil itu berhenti, Leo pun bergegas turun dari mobil segera menghampiri Vania. "Ehem…!" Suara Leo begitu keras, tapi Vania tetap acuh dan tak peduli sama sekali. Karena tidak mendapatkan respon, pria itu berjalan tepat di samping gadis tersebut. Karena hidung Vania mencium aroma parfum orang, lantas dia menoleh. Betapa terkejutnya Vania melihat Leo tepat berjalan di sampingnya. "m***m…!" tunjuk Vania sambil menutup mulutnya sendiri. Leo bergegas membungkam mulut gadis itu agar tidak mencoreng nama baiknya. Ketika tangan menyentuh bibir, badan pria itu terasa panas. Vania langsung menghempas tangan Leo dengan cepat, "Biarkan aku bernafas." Dia terlihat terengah-engah. "Sangat tidak sopan. Aku ini pria terhormat." Terhormat apanya. Mana ada pria terhormat sangat m***m, pikir Vania tak percaya. "Apa tujuanmu?" tuding Vania menutup sebagian tubuhnya dengan kedua tangan. "Tidak ada," dusta Leo. Vania mempercepat laju kakinya, begitu juga Leo. "Jangan mengikutiku!" "Rumahku lewat jalan ini." "Bohong…! Pakaianmu mahal…, tidak mungkin rumahmu berada di perumahan sederhana!" "Aku bisa membuktikannya. Jika aku berbohong, kau bebas mengusirku. Tapi sebaliknya, jika aku benar turuti semua perkataanku." Leo mengangkat alisnya sebelah kanan, tanda menggoda Vania. Gadis itu sangat kesal dibuatnya. "Cih, siapa takut!" Vania yakin kalau pria itu mengada-ada. Bagaimanapun sekelas dia pasti punya apartemen mewah dan megah. Akhirnya mereka berjalan dengan diam setelah taruhan itu. Tidak lama kemudian, mereka masung gang. Vania merasa ada yang tidak beres dengan pria yang ada disampingnya. Satpam yang bertugas pun malah mengangguk hormat. Apa aku salah tebak ya? Tapi tidak mungkin. Kini Leo merasa menang di atas awan karena melihat Vania khawatir. Ternyata, dia bisa mengendalikan sesuatu yang hendak meledak di jantungnya. Vania…, Vania…, kau milikku. "Kenapa kau tetap mengikutiku? Rumahku hampir sampai!" geram Vania tertahan. Leo masuk ke dalam halaman rumah tepat di samping rumah Vania. Seketika itu pula, gadis tersebut melongo tak percaya atas apa yang dilihat. Faktanya, Leo benar-benar tinggal di rumah itu. Dan juga dia menjadi tetangganya. "Jangan lupa, kau harus menurut kepadaku!" "Sialan!" umpat gadis itu berlari masuk ke dalam rumah langsung melempar sepatunya begitu saja. "Raul…!" teriak Vania langsung mendobrak pintu. Raul yang sedang istirahat pun duduk seketika. "Ada apa?" "Kau tidur…!" "Tidak, aku hanya barbaring saja." Vania bergegas mendekati Raul. "Kau tahu, siapa tetangga kita?" Raul beranjak pergi ke ruang makan karena berita dari Vania tidak bermutu. "Masak sana! Jangan bergosip. Apa kau lupa janjimu tadi?" "Dengarkan aku dulu…," kata Vania setengah merengek. Raul menggeleng beberapa kali. "Kak…, ayolah…!" Bisa dilihat, kalau memanggil dengan sopan seperti ini, Vania pasti ada maunya. "Taruh tasmu di kamar, dan bergegaslah memasak." "Hais… kau menyebalkan!" Akhirnya Vania pergi ke kamar sambil menutup jendela. Dan kesalnya, ia melihat Leo yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. "Dia…!" geramnya tertahan melempar tas ke sembarang tempat. Leo tersenyum bahagia karena bisa menggoda gadis itu. Segala ekspresi tersebut diperhatikan oleh Ben. "Tuan terlihat senang," kata Ben sambil menyerahkan berkas. "Hidupku berwarna lagi, Ben," jawab Leo dengan wajah berseri. Akhir-akhir ini, ekspresi wajahnya sedikit menghangat. Apalagi kalau bersama dengan Vania. Iblis berhati dingin itu ternyata bisa kembali merasakan cinta yang sudah dibuang jauh-jauh. "Apakah kau sudah menyelidiki semuanya?" "Sudah, Tuan. Dennis Durent merupakan anak tunggal dari Tuan Durent. Semua keponakannya tidak ada yang dekat dengan keluarga itu." Leo duduk di kursi kesayangannya. "Sepertinya mereka bentrok." "Karena hak waris, Tuan. Rumor beredar Tuan Durent mengambil alih paksa semua warisan dari beberapa saudaranya." Berarti tahta keluarga Durent bisa jatuh dengan menggunakan ahli waris sesungguhnya. "Cari tahu ahli waris keluarga itu." Ben terdiam, membuat Leo kembali mengeluarkan titahnya lagi. "Maaf, Tuan. Ahli waris syah sudah meninggal." Leo menggebrak meja, sebab tak mungkin ahli waris itu meninggal begitu saja. "Kau cari tau sedetail mungkin! Jangan sampai ada yang ketinggalan." Ben mengangguk dan bergegas keluar dari ruangan itu. Sejujurnya, ia sangat lelah berurusan dengan Leo. Tapi mau bagaimana lagi, setelah permasalahan Vania selesai, ia akan pensiun. "Aku sudah sangat tua bekerja terlalu keras. Untung punya anak buah handal. Sehingga tinggal Terima bersih," gerutu Ben tiada henti. Rumah Vania Bukan Vania namanya kalau tidak berbuat ulah terhadap Raul. Bisa-bisanya dia membuat s**u dicampur dengan garam. Hasilnya, Raul langsung menyemburkan s**u yang ada di mulutnya. Tawa Vania pun pecah seketika karena tingkah kocak itu. "Dasar bocah bedugal…!" teriak Raul kesal. "Itu balasan karena kau tak mau mendengar perkataanku," ujar Vania sambil berkacak pinggang. Hais, berurusan dengan Vania tidak ada hentinya. Lebih baik Raul menikmati makanan dengan tenang. "Ngomong-ngomong, ada bunga di kursi depan. Apakah kau tak melihatnya?" Vania bergegas menuju ke depan rumah. Benar, ternyata ada sebuket bunga mawar merah lagi. "Dari siapa sih bunga ini?" Kemarin Vania juga mendapatkan bunga tak jelas. Dan akhirnya ditaruh di kafe untuk jadi hiasan. Kali ini, bunga sebanyak itu mau di apakan? "Raul…, apakah kau tau siapa yang mengirim bunga?" "Mungkin penggemarmu?" Raul bangkit dari kursi setelah mengingat pria yang duduk di kafe tadi. "Jangan bilang dari pria aneh yang ada di kafemu." "Jelas bukan. Karena kemarin aku juga dapat bunga sama seperti ini." Vania menaruh bunga itu di sofa, lalu berbaring santai. "Aku sudah masak. Cuci piring sana!" Memang dasar bocah menyebalkan. Kenapa juga Raul punya adik seperti Vania? "Kapan kau dewasa?" "Aku sudah bekerja. Tentu sudah dewasa," jawabnya cepat. Raul menggeleng, beranjak melakukan tugasnya yaitu mencuci piring. Matanya tanpa sengaja menatap bayangan orang yang sedang berdiri di depan jendela rumah di samping mananya, alias rumah tetangga. "Van…, apakah kau sudah bertemu dengan tetangga baru kita?" Pasalnya ada yang aneh dengan tetangga itu karena gelagatnya tampak mencurigakan. "Jangan bahas itu, aku malas menjawab." Vania sudah tidak mood lagi membahas tetangga baru mereka yang tak lain adalah mantan kekasih aunty nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD