29. Tumbang Sementara

1064 Words
Raul memutuskan untuk menerima tawaran pria tua tetangga rumahnya. Karena kondisi Vania sangat butuh pertolongan. Sampai di rumah sakit, pria tua itu tetap menunggu dengan tenang. Raul merasa tidak enak hati membiarkan dia berada di rumah sakit dini hari. "Terimakasih, saya berhutang budi pada, Anda," kata Raul dengan sopan. "Kebetulan saya mengenal Nona Vania." Ben bangkit dari kursi tunggu. "Saya ingin melihat kondisi melihatnya." Dahi Raul berkerut, ternyata tetangga yang dibicarakan oleh Vania ada orang tua tersebut. "Silahkan…!" Untung saja Vania segera dapat pertolongan pertama. Kalau tidak, Raul akan menyalahkan dirinya sendiri seumur hidup. "Anda saudara pasien?" tanya seorang dokter setelah memeriksa Vania. Raul pun mengangguk. "Ikut saya ke ruangan. Saya ingin bicara secara pribadi." Raul pun meminta Ben untuk tinggal sebentar menjaga Vania. Lantas pria itu pun pergi mengikuti sang dokter. "Ada apa, Dok?" tanya Raul. "Sebenarnya apa yang dilakukan pasien hampir mengalami hipotermia seperti ini? Jika anda menunda waktu, pasti nyawanya tidak akan terselamatkan." Raul cukup terlambat menyadari kalau Vania sakit. Dia merasa gagal menjadi seorang kakak. "Saya berhak disalahkan." Dokter itu mengambil nafas panjang, "Anda tidak sepenuhnya salah. Pasien sendiri tidak mengganti pakaian basahnya." Namun tetap saja, Raul merasa bersalah atas apa yang terjadi dengan Vania. Tadi pagi, dia baik-baik saja. Tapi kenapa bisa pulang dalam kondisi buruk? "Di masa depan, jangan sampai dia mengalami kehujanan lagi." "Baik, Dok." Raul menggeser kursinya. "Permisi." Dia pun segera keluar dari ruangan sang dokter. Saat hendak masuk ke kamar rawat inap Vania, perawat datang mendekatinya." "Tolong tebus obat atas nama Nona Vania Kimberly!" Mendengar suara perawat, Ben memasang telinganya lebar-lebar. "Terimakasih. Saya akan menebusnya." Ben mendekat ke arah pintu, mengintip kepergian Raul. Beberapa kali, dia menghela nafas panjang. "Ini terlalu berisiko, Tuan," kata Ben terlihat lega. Leo tak merespon, terus menatap wajah pucat Vania. Rasa bersalah pun menyerbu tiada henti. Andai saja dia tak keras kepala, pasti gadis itu tidak tergolek lemah seperti sekarang. "Kunci pintunya!" titah Leo. Pria itu tadi mengikuti arah mobil Ben pergi. Dia melihat semuanya dari jauh. Begitu Raul tidak berada di tempat, pria itu bergegas menemui Vania. "Buka matamu, Vania." Leo menyentuh tangan gadis itu dengan wajah melembut. Dalam hidupnya, hanya dua orang yang bisa membalikkan hati pria itu dengan mudah. "Maafkan aku." Suara permintaan maaf itu baru pertama kali didengar oleh Ben. Sepertinya memang benar, Leo begitu mencintai Vania. Namun perjuangan pria itu masih panjang. Apakah dia masih menggunakan cara licik untuk menaklukan gadis itu? Tidak ada yang tahu, tapi Ben berharap Leo mengurungkan niatnya. "Tuan, anda harus kembali." Sebenarnya Leo enggan untuk pergi karena tidak ingin melewati kesempatan untuk bersama dengan Vania. Saat hendak bangkit dari kursi, tangan Vania meraih lengan pria itu. "Akhirnya aku bertemu denganmu. Maafkan aku, Leo." Senyum gadis itu lembut, membuat hati Leo meleleh. "Istirahatlah," kata pria itu menutup kedua mata Vania. Gadis itu pun kembali ke alam bawah sadarnya. Leo pun bergegas pergi, takutnya Raul datang mempergoki dirinya. Benar saja, selang beberapa menit, dia sudah kembali. "Terima Kasih, Tuan. Saya berhutang budi kepada Anda untuk kesekian kalinya." "Anda terlalu berlebihan." Ben pun menengok sebentar ke arah Vania. "Kalau begitu saya pamit pergi." Setelah Ben keluar dari ruangan, wajah Raul menggelap karena mencium aroma parfum asing di sekitar Vania. "Ada yang tidak beres," ujar Raul tampak waspada. Ben belum beranjak dari depan pintu ruangan. Dia menyadari kalau Raul curiga kepadanya. "Aku kurang hati-hati." Sampai di parkiran, Ben menemui Leo. "Tuan, anda belum pulang." "Aku akan menunggu di parkiran. Kau pulang saja." Leo tidak tega meninggalkan Vania sendirian. Ia akan mencari kesempatan untuk menemani gadis itu. "Saya harap tuan berhati-hati karena Tuan Anderson menaruh kecurigaan besar." "Aku tahu." Leo masuk ke dalam mobil, terus menatap ruangan Vania. Pria itu mengabaikan Ben yang sedang pamit. Ah, kenapa juga dirinya keras kepala membiarkan gadis itu di luar saat cuaca dingin. "Aku harap kau cepat sembuh." Iya, Vania adalah gadis kuat. Proses penyembuhan nya cukup cepat. Setelah perawat menyuntikkan vitamin dan juga obat ke selang infus, gadis itu membuka kedua matanya. "Anda sudah sadar," kata perawat itu. Vania tahu kalau dirinya berada di rumah sakit. Bau obat yang khas dan juga suasana serba putih. "Dimana kakakku?" "Beliau ada di luar." Vania berusaha bangun, tapi dicegah oleh perawat itu. "Aku baik-baik saja," kata Vania. Meskipun sedikit pusing, tapi cukup mendingan. Demamnya juga turun. Raul terlalu heboh membawanya ke rumah sakit. "Tolong panggilkan dia." Perawat itu pun keluar ruangan. Raul yang mendengar kabar Vania siuman bergegas menghampiri gadis itu. "Vania…!" Raul memeluk erat Vania, seolah tak ada hari esok. "Aku tak bisa bernafas." "Maafkan aku. Apakah ada yang sakit? Mana yang sakit?" "Jangan berlebihan. Kita pulang sekarang. Aku baik-baik saja." Raul malah meneteskan air mata, membuat Vania terkejut. "Ada apa denganmu?" Memang dasar Vania kurang peka. "Aku takut kehilanganmu." "Ayolah, Raul…, aku hanya demam saja. Jangan berlebihan. Kau buang-buang uang telah membawaku ke rumah sakit." "Hanya kau saudara yang aku punya, Vania." Benar sekali, Vania tidak menyangkalnya. Mereka berdua saling bergantung satu sama lain, saling menguatkan dalam menghadapi cobaan hidup. "Aku membuatmu khawatir," ujar Vania mengusap air mata Raul. Meskipun terkadang mengesalkan, Raul adalah bagian dari hidup Vania. Keduanya adalah saudara yang tidak terpisahkan. "Kita pulang sekarang. Aku baik-baik saja." "Aku akan memanggil dokter." "Tidak perlu," sela seseorang dari ujung pintu. Ternyata perawat tadi telah memanggil dokter untuk memeriksa Vania. "Pasien yang tidak sayang diri sendiri," cela dokter dengan kejam. Vania terperangah, syok ingin sekali meninju wajah dokter itu. "Nona, jika kau ingin kehilangan nyawa lebih awal, sebaiknya tidur di bathup saja." Apa-apaan dia? Jelas pria itu bukanlah seorang dokter. Melainkan pria pencemooh. "Kenapa dokter berkata kasar?" kesal Raul sudah di ujung tanduk. "Diamlah…, Raul…! Dia benar." Faktanya Vania memang salah, tidak melepas pakaian basah dan malah berbaring di atas ranjang. "Ya Tuhan…, aku bisa gila!" erang Raul dengan sangat frustasi. Bagaimana bisa ada dokter gila yang mengolok pasiennya? "Berbaringlah…, aku akan memeriksamu." Vania terlihat kesal, tapi ia menurut begitu saja. Raul pun tak bisa berkata-kata melihat dokter yang tadinya sopan sekarang malah bersikap kurang ajar. "Kau menyebalkan, Adam…!" teriak Vania memenuhi ruangan. Suasana menjadi sunyi seketika karena Vania mengenal dokter itu. Sungguh Raul tidak percaya gadis yang sakit bisa teriak sangat kencang. "Telinga bisa tuli, bahkan perawat pun enggan membantumu," kata Adam dengan kasar. Sumpah Vania kehilangan energinya, memilih diam saja. "Dia sudah baik, Tuan. Habiskan infus lalu boleh pulang." Adam melengos pergi, setelah dua langkah dia balik badan menjulurkan lidahnya mengejek Vania. "Sialan!" geram Vania cukup kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD