3. Deal With It

1253 Words
"Rasanya sedikit sakit, tapi tak apa. Karena aku menyukai pertunangan ini" ***** Arsenia Tunangan? Dengan guling eh.. Edwin? Astaga! Aku memang menyukainya tetapi kenapa secepat ini? Bagaimana jika aku tak menyukai kepribadiannya? Bagaimana jika sebaliknya? Huft.. Aku melirik bingkai foto yang terpajang indah disudut kamar. Aku tersenyum sendu. "Mama.. papa.. anakmu akan bertunangan, aku harap kalian bahagia di atas sana. Aku.. aku belum mengenal calon suamiku. Sepertinya ia belum sepenuhnya menerima pertunangan ini. Tapi aku berjanji akan membuatnya jatuh cinta kepadaku. Aku janji" Kukecup foto mendiang kedua orang tuaku. Aku merindukan mereka. Sangat. Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah 3 tahun semenjak kepergian papa dan mama. Oh tidak, aku akan menangis lagi. Tidak boleh, papa dan mama sudah tenang di sana. Aku tak boleh membuat mereka sedih. "Aku akan menjadi wanita yang menyenangkan pa, ma", janjiku. Kulirik jam di nakas tempat tidurku. Masih pukul 06.30. Edwin bilang akan menjemputku pukul 8. Sebaiknya aku segera mandi dan bersiap. Tapi, aku pakai baju apa ya? Aku kan tidak punya baju yang cocok untuk pertunangan ini. Deg.. deg.. Astagaaa, rasanya jantungku berdegup sangat kencang! Aku tak menyangka akan bertunangan dengan pria setampan Edwin. Aku melompat ke atas kasur dan berjingkrak layaknya anak kecil. Merentangkan tanganku sehingga tubuhku membentuk seperti bintang besar di atas kasur. "Oke cukup, Ar.. nanti kau kelelahan”, ucapku memperingati diriku sendiri. Oh ya, hari ini Heaven Florist tutup. Jadi aku tidak harus membagi waktu susah payah. Lagi pula hari ini kan hari spesial untukku. Ah sudahlah! Aku mau mandi dan bersiap. ***** "Hmm.. sepertinya ini tidak terlalu norak. Aku akan minta Edwin untuk mengantar ke butik”, gumamku. Aku merias wajah sedikit, aku sangat bangga dengan alisku yang tebal. Sehingga aku tak harus repot-repot membentuk alis lagi. Ting! Tong! Dan benar saja, pukul 08.00 teng! Edwin tiba. Dengan segera aku melangkah keluar membukakan pintu untuknya. Cklek! Edwin. Dengan wajah hangat tersenyum melihatku. Ini dia, seperti Edwin yang kemarin di taman. Ramah dan hangat. Dan dia saaaangat tampan, mengenakan kemeja putih dan dasi merah. Ya Tuhan rasanya aku tak sebanding dengannya. "Hai”, sapanya. "Hai, silakan masuk”, jawabku sedikit grogi. Edwin memperhatikan penampilanku dari atas ke bawah. Mungkin dia bingung, aku hanya pakai tanktop putih yang ditutupi jaket denim dan rok hitam. Oh dan rambut panjangku juga sedikit kubuat sedikit bergelombang. Aku berdeham menetralkan jantungku yang tidak bekerja sama dengan baik. "Ehm.. aku tidak punya baju yang pas untuk ke acara pertunangan ini. Bisakah kau mengantarku ke butik terlebih dahulu aku ingin beli gaun yang cocok”, pintaku hati-hati. Ia tersenyum. Astaga! Mataku silau! "Tentu saja, aku memang berencana begitu. Tapi sebelum itu bisa kita berbicara?”, pintanya. Aku mengangguk. "Tentu" Aku berjalan membimbingnya ke arah ruang keluarga rumahku. Ia duduk bersebelahan denganku. Oke. Aku makin gugup dengan jarak sedekat ini dengannya. "Baik, aku akan mulai berbicara. Aku tau kau kaget dengan pertunangan ini. Begitu pun aku. Tapi kuharap kau mau mengerti aku melakukan ini semua untuk mommy-ku. Kondisi kesehatannya menurun dan mom ingin aku memiliki calon istri dengan segera. Aku menyetujui permintaan mom karena mom menyukaimu Arsenia. Tapi.. bisakah kau bekerja sama denganku?", tanyanya. "Bekerja sama dalam hal apa itu?" "Bisakah kau menjadi tunanganku hanya di depan keluargaku? Jujur saja aku tak menginginkan pertunangan ini. Dan aku ingin minta maaf karena kau adalah korban di sini" Apa katanya? Jadi ini pura-pura? Hatiku tercubit mendengarnya, tapi aku tidak akan menyerah. Aku tersenyum menatapnya. "Maaf Edwin tapi aku tak bisa menuruti permintaanmu”, ucapku. Ia mengernyit. "Kenapa?" Kenapa katanya? "Aku tidak akan mempermainkan komitmen yang kubuat. Jika kau memang tidak menyukai pertunangan ini maka aku akan membuatmu menyukainya dan mencintaiku. Atau tidak ada pertunangan sama sekali. Aku bukan korban dan tidak ingin menjadi korban". Edwin tampak terkejut mendengar pernyataanku. Aku pun sebenarnya terkejut dengan kalimatku yang lancar tanpa direncanakan. Dan aku serius dengan perkataanku. Aku tidak akan main-main dengan sebuah komitmen. "Well, terserah. Tapi nantinya justru kau yang akan tersiksa karena aku, aku tidak mau menjadikanmu sebagai korban. Dan pertunangan ini harus ada, semua demi mommy”, sergahnya. Aku tetap menggeleng. "Tidak, Ed. Kita baru saja bertemu. Aku belum mengenalmu. Dan kamu belum mengenalku. Kita berdua sama-sama buta sekarang. Dan tidak ada salahnya mencoba. Jika memang pada akhirnya kita tidak memiliki pemikiran yang sejalan, maka aku bersedia membatalkan pertunangan ini”, bantahku. Ia tampak berpikir. Tiba-tiba senyum di wajah tampannya muncul kembali. "Baiklah, walau sebenarnya sudah bisa kupastikan kita akan berakhir seperti apa”, ujarnya. Aku tergelak. "Jangan terlalu percaya diri, aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku”, ucapku dengan lantang. "Never", balasnya merendahkan. Well, we'll see Ed. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumahku. "Ke mana orang tuamu? Kau tak mengajaknya?", tanyanya. Ah, sudah kuduga pertanyaan ini akan muncul. "Orang tuaku sudah tiada sejak 3 tahun yang lalu, aku anak tunggal dan sekarang aku hidup sendiri mengurus bisnis yang ditinggalkan orang tuaku. Heaven Florist", jawabku tenang. Tampak keterkejutan di wajah tampan Edwin. "Maaf aku tak tau jika.." "It's oke. Kita dalam tahap saling mengenal bukan?”, potongku. Ia tersenyum dan mengangguk. "Kita jalan sekarang?”, tanyanya. Aku tersenyum menganggukkan kepalaku. Pertunangan ini... rasanya sedikit menyakitkan. Tapi tak apa, aku menyukai pertunangan ini. ***** Edwin sedikit terperangah menatap Arsenia yang telah selesai dirias oleh butik langganan Elena. Dia terlihat... berbeda, pikir Edwin. Terdengar suara Arsenia berdeham, wajahnya sedikit merona ditatap calon tunangannya seperti itu. Ia merasa beruntung menemukan gaun yang tepat untuk acara pertunangannya. Tampak sederhana namun cantik. Tapi ia sedikit kesal saat sang designer memaksanya memakai korset agar tubuhnya lebih berbentuk. Dan akhirnya seperti itulah tubuhnya, terlihat sedikit mengecil biarpun ia sedikit susah untuk bernafas. "Bagaimana? Bagus tidak?”, tanya Arsenia. "Lumayan. Ayo, kita harus segera sampai rumah sakit”, ujarnya. Lumayan? Aku sudah tersiksa dengan korset ini masih saja dibilang lumayan? Kau minta dicium ya, Ed? Eh.. kalau itu sih aku mau hahaha, batin Arsenia. Ia memperhatikan Edwin yang telah memakai jasnya. Dia terlihat semakin menawan. Entah Arsenia harus merasa beruntung atau sial karena akan bertunangan dengan pria yang disukai banyak wanita. Apalagi saat Edwin menatapnya dengan tatapan serius, membuat tubuh Arsenia terasa lemas tak bertulang. Ia memutuskan untuk bercerita sepanjang perjalanan kepada Edwin tentang dirinya. "Ed, kau tau tidak dulu itu aku pernah bekerja di kantoran selama 2 tahun loh! Hanya saja sejak orang tuaku meninggal aku keluar dari pekerjaanku dan menjalankan usaha orang tuaku. Aku itu suka sekali makan pasta, apa pun jenisnya pasti aku suka. Aku juga punya beberapa peliharaan ikan koi di akuarium yang ada di kamarku. Aku itu suka warna hitam, terkadang aku juga suka membuat kue dan pastry. Aku tidak punya banyak teman aku.." "Arsenia, bisakah kau berhenti berbicara sebentar saja? Aku tidak mau kita kecelakaan hanya karena aku kehilangan fokus mendengar omonganmu yang seperti tidak bernafas itu”, potong Edwin. Dengan otomatis gadis itu menutup mulutnya dengan tangan kanannya agar berhenti berbicara. "^+€÷*÷£÷€×*" "Kau bicara apa? Kenapa kau bicara dengan menutup mulut seperti itu?”, tanya Edwin heran. Akhirnya Arsenia membuka mulutnya sedikit dan bicara.. "Sorry, aku hanya ingin bercerita agar sedikit banyak kau mengetahui tentangku dan tetapi sepertinya kau tidak terlalu ..." "Lebih baik kau menutup mulutmu dengan tanganmu lagi”, potong Edwin. Dengan patuh Arsenia langsung menutup mulutnya dan mengangguk dengan tatapan polosnya. Diam-diam Edwin menahan tawanya, lalu dengan segera menetralkan lagi wajahnya dan kembali fokus ke jalan di hadapannya. Sedangkan Arsenia, masih setia menutup mulut dengan tangannya sendiri. *****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD