"Hampa. Itulah yang kau rasakan saat disandingkan dengan orang yang tidak kau cintai"
*****
"Good morning, My Ed”, sapa Alleta.
Edwin tersenyum. Wajahnya sedikit merona mendengar sapaan dari wanita yang dicintainya diam-diam. Semalam ia berakhir dengan mendengarkan musik hingga tertidur, malangnya.
"Morning, kak”, jawabnya berusaha senormal mungkin agar kegugupannya tidak terlihat.
Seluruh keluarga Edward tersenyum memandangnya. Edward memperhatikan penampilan adiknya dari kepala sampai kaki, setelan jas berwarna dark blue lengkap dengan kemeja abu-abu gelap dan dasi berwarna hitam membalut tubuh Edwin dengan nyaris sempurna. Ia tersenyum bangga melihat adiknya yang kini tampak dewasa dan bisa diandalkan.
"You look gorgeous today, Ed”, saut Edward.
Edwin terkekeh.
"Aneh rasanya dipuji seperti itu oleh sesama pria”, ujarnya. Alleta tergelak mendengar celetukan adik iparnya yang tampan.
"Oh astaga, Ed.. kau tetap saja menggemaskan!", seru Alleta.
Catat baik-baik, Ed. Meng-ge-mas-kan, pikir Edwin.
Ia tersenyum kikuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Uncle Ed”, panggil Satria, anak sulung Edward dan Alleta.
"Yes, boy", jawab Edwin.
"Tidak, aku hanya ingin memanggil saja hahaha", Satria tergelak kencang melihat wajah pamannya yang menurutnya lucu ketika kesal.
"Kau ini benar-benar, sudah mau SMA tetap saja jahil. Sangat persis dengan ayahmu”, desis Edwin.
"Of course, like father like son", saut Edward.
"Yek bader yek syen"
Seluruh penghuni ruang makan menatap Audrey, kembaran Sam. Putri ke empat Edward dan Alleta. Mereka tergelak mendengar Audrey berusaha menirukan ucapan ayahnya dengan kosakata yang lucu.
"Oh, adikku sangat menggemaskan!", seru Aleyna memeluk Audrey dengan gemas.
Edwin masih meredakan tawanya, ia sangat menyayangi keponakan-keponakannya. Entahlah, hal yang ia bingungkan adalah dirinya yang mencintai Alleta, namun ia juga sangat bahagia melihat keluarga Edward.
"By the way, bagaimana mom dan dad?", tanya Alleta.
Edwin mendengus.
"Masih berusaha memaksaku mencari wanita sebagai calon istri, padahal hal itu tidak mudah kan kak? Mencari jodoh tidak seperti membeli kacang goreng kau tau itu”, keluh Edwin.
"Hmm... memang benar, tapi tidak ada salahnya mencoba membuka hatimu untuk wanita yang menyukaimu, Ed. Itu menurut kakak”, ucap Alleta.
Kau yang harus bertanggungjawab karena membuat hatiku tak bisa menerima wanita lain, kak. Jawab Edwin dalam hatinya.
"Ya, Alleta benar, Ed. Setidaknya pikirkanlah keinginan dad dan mom”, tambah Edward.
Edwin menghela nafasnya lelah, tangannya tergerak menyugar rambut coklatnya.
"Akan kucoba. Tapi aku tidak janji”, jawabnya yang ditanggapi oleh anggukan dari Edward dan Alleta.
*****
Edwin Darian Allan. Berdiri menatap pemandangan kota dari balik dinding kaca ruang kerjanya. Ia menyugar rambutnya. Kebiasaannya ketika memikirkan sesuatu maka ia akan sering menyugar rambutnya. Dan tentunya disertai pekikan dari wanita yang ada di sekitarnya jika ia melakukannya di area kantornya maupun tempat umum lainnya.
Ia sedang berpikir, bagaimana caranya menghindari kemauan orang tuanya. Ia benar-benar tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun dalam waktu dekat ini. Ia ingin menikmati perasaannya pada Alleta. Baginya cukup seperti itu untuk saat ini.
Edwin memalingkan pandangannya menuju ponselnya yang berdering di atas meja.
Daddy's Calling..
Huft, apa lagi kali ini, pikir Edwin sebelum menjawab panggilan dari ayahnya.
"Yes, dad?", sapanya.
"Ed, where are you?", tanya George dengan tergesa-gesa di seberang sana. Edwin mengerutkan dahinya.
"Di kantor, dad. Ada apa? Dad terdengar panik", jawabnya.
"Mommy..", ucap George tergantung. Seketika jantung Edwin berdegup tak karuan.
"Ada apa dengan mom, dad ?",tanyanya.
"Mommy pingsan, sekarang dad sedang di rumah sakit”, jawab George lirih.
"What!? Bagaimana bisa? Aku akan segera kesana. Tunggu aku, dad”, ujar Edwin.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung menyambar kunci mobilnya dan melaju secepat yang ia bisa.
Mom, please.. lirih Edwin dalam hati.
Dering ponsel kembali mengusik perjalanan Edwin. Kali ini dari Edward. Ia menjawab dan mengaktifkan loud speaker agar bisa tetap fokis pada jalan.
"Halo, kak”, sapanya.
"Ed, kau ada di mana sekarang?"
"Dijalan kak, sebentar lagi aku sampai kak. Bagaimana keadaan mommy?",tanya Edwin
"Syukurlah, cepatlah sampai. Barusan mom siuman, ia mencarimu”, jawab Edward.
Perasaan dan pikiran Edwin semakin berkecamuk tak karuan, ia takut. Sangat takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada Elena.
"5 menit lagi aku sampai kak”, ucapnya lalu memutus panggilan tersebut.
Sesampainya di rumah sakit, ia melangkah dengan kencang menuju ruang perawatan Elena. Terlihat Edward yang tengah menenangkan Alleta dalam pelukannya. Dan George yang menyandar ke pintu ruang perawatan Elena dengan wajah sedih.
Astaga, ada apa ini? Pikirnya.
"Dad, ada apa dengan mom?", serbu Edwin pada George.
"Mommy mu pingsan, ia stres berat dan berdampak ke jantungnya”, lirih George.
"ASTAGA!", Seru Edwin. Tenggorokannya terasa sakit menahan kabar buruk yang diterimanya.
"Temuilah mom, Ed. Ia ingin bicara kepadamu”, ucap George. Edwin mengangguk, ia segera melangkah membuka pintu ruang perawatan ibunya. Hatinya mencelus melihat selang oksigen yang terpasang ditubuh ibunya. Tetapi ia kaget melihat sosok yang tengah duduk di sofa ruangan tersebut. Dia gadis yang telah menyelamatkan ibunya kemarin.
Sedang apa dia di sini? Diakan... ehm.. siapa namanya ya aku lupa, pikir Edwin.
"Ehm.. hai, Edwin. Kalau begitu aku permisi dulu. Mari tante”, ucap Arsenia yang kemudian melangkah keluar.
Ia kembali fokus kepada Elena yang terbaring lemah. Elena menoleh dan tersenyum lemah menatap putra bungsunya.
"Hai, honey", sapa Elena.
Edwin mendekat dan menggenggam tangan Elena yang bebas dari jarum infus.
"Mom, apa yang terjadi? Kenapa mom bisa sampai seperti ini?”, tanya Edwin.
Elena kembali tersenyum.
"Mom tidak apa-apa sayang, hanya banyak pikiran saja”, jawab Elena.
Edwin memejamkan matanya menahan rasa sakit yang menohok hatinya. Ingin rasanya ia menangis saat ini juga. Tapi ia tidak mau membuat ibunya semakin terbebani.
"Mom, kumohon jaga kesehatan mommy. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan mommy", pinta Edwin.
"Iya, Ed. Mom akan menjaga kesehatan setelah sehat nanti”, jawab Elena.
Edwin melihat tatapan ibunya yang sepertinya ingin membicarakan sesuatu namun masih ragu untuk menyampaikannya.
"Ada apa, mom? Sepertinya ada yang ingin mommy katakan?”, tanya Edwin.
"Entahlah, Ed. Mom hanya menyadari sesuatu bahwa mungkin waktuku dan ayahmu sudah tidak sepanjang dulu. Kami sudah tua, dan penyakit mulai menyapa kami berdua. Mom hanya ingin melihatmu bersanding dengan seseorang yang pantas untukmu”, ucap Elena.
Sakit. Itulah yang dirasakan oleh Edwin. Ia merasa seperti tertampar mendengar penuturan dari ibunya. Ia akan melakukan apa saja demi Elena. Sungguh. Tapi jika berurusan dengan wanita, dia...
"Mom, aku mau saja menjalin hubungan dengan seorang wanita. Tetapi aku.. aku belum menemukan wanita yang tepat untukku”, jelas Edwin berusaha memberi pengertian kepada Elena.
"Mom sudah menemukan gadis yang tepat untukmu, sayang”, ucapan Elena terdengar sebagai alarm pertanda buruk oleh Edwin. Ya. Edwin benci perjodohan.
"Maksud mom?", Tanyanya hati-hati.
"Menikahlah dengan Arsenia, tapi untuk sekarang kau bisa bertunangan terlebih dahulu untuk mengenalnya lebih dekat. Dia gadis yang spesial di mata mommy, dan mommy menyayanginya”, ujar Elena.
Edwin membelalak kaget.
"Apa!? Aku? Bertunangan ? Tapi mom.."
"Kumohon, Ed. Demi mommy, bersediakah kamu bertunangan dengan calon menantu yang mommy inginkan?”, ucap Elena memohon pada Edwin.
Astaga. Astaga. Astaga!!! Dari sekian banyak wanita kenapa harus dia?
"Tapi mom..."
"Please, Ed. I beg you", potong Elena dengan tatapan memohon.
Edwin menghela nafas. Ia menyerah. Ia kalah. Ia tidak mau menentang ibunya sampai kapan pun.
"Baiklah, aku akan memanggilnya untuk meminta kesediaannya menjadi tunanganku”, ucap Edwin lemah.
Sontak Elena mengembangkan senyumnya, ia bahagia. Akhirnya putranya mau menjalin hubungan dengan gadis pilihannya. Edwin berjalan ke arah pintu ruangan. Seluruh keluarganya memandangnya dengan penuh tanda tanya, namun tak dihiraukan olehnya. Matanya fokus pada Arsenia yang tengah duduk di ujung kursi. Edwin menghela nafasnya sirat akan beban.
"Arsenia", panggil Edwin
"Ya?”, saut Arsenia.
"Bisa ikut aku ke dalam?”, ujar Edwin dengan nada datar. Arsenia menatapnya dengan bingung. Ia berubah menjadi gugup ketika semua mata tertuju padanya.
"Aku?”, tanyanya bingung.
"Ya. Kau. Bisa ikut denganku ke dalam? Akan kujelaskan di dalam”, jawab Edwin dingin.
Akhirnya Arsenia mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya mengikuti Edwin.
"Mom, aku membawa Arsenia", ucap Edwin.
Arsenia mengernyit tak mengerti arah pembicaraan di hadapannya.
"Maaf, sa.. saya tidak paham maksud pembicaraan ini. Kenapa saya dipanggil ke dalam? Apa ada yang bisa saya bantu?”, tanya Arsenia. Elena menjawabnya dengan senyuman.
"Arsenia", saut Edwin.
"Ya?"
"Maukah.. maukah kau menjadi tunanganku?"
Sontak Arsenia terbelalak menatap Edwin tak percaya.
"APA!?", Seru Arsenia.
"Ayo kita tunangan”, ulang Edwin dengan tenang.
Arsenia gelagapan mendengar betapa tenang pria di hadapannya.
"Kau bercanda? Kau dan aku baru berjumpa untuk yang kedua kalinya. Bahkan tidak berbicara apa pun. Apa yang mendorongmu untuk mengajakku..."
"Arsenia"
Ucapan gadis itu terhenti saat Elena memanggil namanya. Kini gadis itu berpaling pada wanita di hadapannya.
"Tante ingin kau menjadi menantuku, maukah kau menjadi pendamping hidup putraku? Maaf ini pasti sangat mengejutkanmu. Tapi aku yang menginginkannya. Aku melamarmu untuk bersedia menikah dengan putraku”, ujar Elena.
Hening.
Arsenia diam. Ia bungkam seribu bahasa. Ia terlalu bingung dengan situasi yang dihadapinya. Tunangan!? Semudah inikah mereka mengucapkan kata menikah!? Gila. Ini. GILA!
"A.. aku.. aku tidak tau harus menjawab apa”, ucapnya pelan.
"Arsenia. Kumohon terimalah lamaran ini. Kita tidak akan langsung menikah. Dan di pertunangan ini kita akan saling mengenalkan diri lebih dalam lagi. Jadi, aku mohon.. terimalah lamaranku", entah kenapa, Arsenia merasakan ketulusan di ucapan Edwin. Ia tau, Edwin tidak menyukainya sama sekali.
Tapi.. ada nada yang tersirat akan ketulusan untuk membahagiakan orang tuanya. Dan ia tersentuh.
Akhirnya..
"Baiklah, aku terima lamaranmu”, jawab Arsenia lemah.
Elena tersenyum bahagia, dan senyum tersebut menular pada Edwin.
"Besok kita akan tunangan, di sini. Sekarang kau kuantar pulang dan besok akan kujemput untuk bersiap”, ucap Edwin.
“Besok?!”, pekik Arsenia.
Edwin mengangguk, “Ya. Besok”, tegasnya.
“Tapi, apakah tidak terlalu cepat? Kita belum mengenal satu sama lain dan kamu..”
“Setelah tunangan, kita akan mulai untuk mengenal lebih dekat. Tidak ada bedanya bukan?”, sela Edwin dengan tenang.
Beda! Itu sangat beda! Kau tidak menyukaiku sama sekali!, pekik Arsenia dalam pikirannya.
“Tapi..”
“Aku akan menghargai semua keputusanmu, tapi kumohon bertunanganlah denganku besok, please”, ujar Edwin.
Percuma. Arsenia tidak akan menang melawan pendapatnya. Akhirnya ia mengangguk pasrah, semoga firasatnya tidak benar. Edwin tersenyum puas layaknya seorang pebisnis yang baru memenangkan proyeknya.
“Kalau begitu lebih baik kita pulang dan mempersiapkan hari esok”, ajak Edwin.
Lagi-lagi Arsenia hanya mengangguk lemah. Ia tidak mengerti kenapa harus terjebak dalam kondisi seperti ini?
"Mom, kami pulang dulu ya”, pamit Edwin.
Elena mengangguk semangat.
"Hati-hati di jalan sayang. Dan Arsen, terima kasih sayang, kau telah mengabulkan keinginanku”, ucap Elena.
Gadis itu hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Masih terlalu kaget dengan apa yang terjadi.
*****
"George, apa mereka sudah pulang?”, tanya Elena.
"Ya, mereka sudah pulang, sayang”, jawab George seraya membelai rambut istrinya.
Elena tersenyum, ia duduk dengan tegak dan merenggangkan tubuhnya. Melepas selang oksigen dihidungnya.
"Ternyata cukup lelah bersandiwara seperti ini”, ujar Elena. George terkekeh.
"Salah sendiri kau melakukan hal ini”, saut George.
"Hhh.. aku sudah lelah meyakinkannya. Akhirnya dia luluh dengan cara buruk seperti ini, aku tak suka seperti ini, George. Hanya saja kau tau kalau putra kita yang satu itu semakin mengkhawatirkan”, ungkap Elena.
George ikut menghela nafasnya.
"Ya, aku pun tidak ingin ia terperangkap di kesendiriannya, aku yakin suatu saat Ed akan bersyukur dengan keputusan ini”, balas George.
"Ya, sayang. Aku juga berharap begitu”, ucap Elena seraya menyandarkan kepalanya di d**a bidang suaminya.
*****
"Belok ke kiri di pertigaan depan”, saut Arsenia memberi arahan pada pria yang sejak tadi hanya diam.
"Di situ, rumah dengan rumah kaca di depannya. Itu rumahku”, ucap Arsenia lagi.
Tanpa kata Edwin memberhentikan mobilnya.
"Well, terima kasih sudah mengantar”, ucap Arsenia.
"Besok kujemput jam 8 pagi. Jangan terlambat”, saut Edwin dingin.
Sesuatu telah menohok hati Arsenia, Edwin beda. Sangat berbeda. Ia menjadi pria yang dingin dengannya. Firasatnya benar, pria itu hanya akan baik di depan keluarganya.
"Baiklah, sampai jumpa. Hati-hati di jalan”, ucap Arsenia seraya membuka pintu mobil Edwin. Tanpa kata lagi, Edwin langsung melajukan mobilnya sesaat setelah Arsenia menutup pintu mobilnya.
Gadis itu hanya menatap mobil tersebut dalam diam.
Setelah ini, hidupmu akan berubah, Ar, ucap Arsenia dalam hatinya.
*****