4. Engagement

1738 Words
"Entahlah, tapi rasanya sangat berat menjalani pertunangan ini. Aku tidak menginginkannya" *****   Edwin termenung menatap jari manisnya yang kini telah dilingkari sebuah cincin berwarna perak dengan berlian kecil di atasnya. Tampak berkilau dengan indah. Tapi berbeda untuk Edwin, baginya kilau di cincin itu sangat menyakitkan. Ia dan Arsenia telah resmi bertunangan sejak 2 jam yang lalu. Seluruh keluarganya tampak sangat bahagia dan menyukai Arsenia, tapi tidak dengan dirinya. Sepanjang prosesi tunangan yang dilangsungkan dengan sangat sederhana yakni ruang perawatan Elena di rumah sakit, pandangannya tidak terlepas dari sosok Alleta. Wanita itu sangat cantik dengan balutan dress sederhana berwarna merah maroon, sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Dan tanpa ia sadari, hal itu diketahui oleh Arsenia. Edwin merasa guncangan di sampingnya, ternyata Arsenia telah duduk di sebelahnya dengan senyum semringah. Saat ini mereka berada di area taman rumah sakit. Edwin menatapnya dengan setengah hati. "Ed, cincinnya indah sekali ya? Tampak sederhana namun sangat pas dan tidak mencolok. Aku tidak tau ternyata kau sangat pintar memilih model cincin tunangan untuk kita, dan ukurannya juga sangat pas di jari-jariku yang bulat ini. Kau tau tidak Ed, waktu sekolah aku sering di-bully oleh teman-temanku. Mereka bilang jari-jariku ibu jari semua saking bulatnya, awalnya aku kesal.. tapi saat aku perhatikan lagi ternyata benar hahaha..", ujar Arsenia. Astaga! Aku tidak tau ditunangkan dengan wanita yang bicaranya sulit berhenti, mom lihat wanita yang kau bilang tepat untukku ini, geram Edwin dalam pikirannya. "Ed, kenapa diam saja? Oh ya, kapan-kapan aku ingin mengajakmu ke makam kedua orang tuaku, dulu sebelum tiada mereka pernah bilang ingin melihatku bersanding dengan pria yang baik untukku. Karena mereka telah tiada jadinya aku ingin mengajakmu ke sana, tidak sekarang sih.. terserah kau bisanya kapan, aku akan mengajakmu ke sana. Pasti mama dan papaku senang melihatku sudah bertunangan. Oh ya! Aku juga punya sepupu jauh, tapi tidak tinggal di Jakarta. Ia tinggal di pulau seberang. Dan kau tau Ed? Dia marah padaku saat kukatakan aku bertunangan denganmu, dia marah kenapa tidak mengabarinya terlebih dahulu. Ya.. kubilang saja kalau pertunangan ini mendadak. Dan..." "Arsenia, kau ini cerewet sekali. Apa tidak capek berbicara terus tanpa henti seperti itu? Aku ingin suasana tenang, please", Arsenia terdiam mendapati Edwin yang kesal padanya. "Baiklah, maafkan aku”, ucap Arsenia. Edwin menghela nafasnya dengan gusar. "Sorry, sudah kukatakan di awal bukan? Aku tidak menginginkan pertunangan ini”, saut Edwin. "Ya, ironis sekali ya nasib diriku, tunangan dengan orang yang tidak mau bertunangan. Hihihi... bahasaku rumit sekali ya, Ed. Oh ya, tapi aku tak keberatan jika kau seperti ini, kan sudah kubilang aku akan membuatmu menyukai pertunangan ini dan..." "Jatuh cinta kepadamu, yayaya kau sudah mengatakan hal itu tadi pagi, tidak bisakah kau mengurangi kalimatmu ketika bicara? Kau itu berisik sekali, Arsenia",jelas Edwin "Halaah, nantinya juga kau akan merindukan kebawelanku, Ed. Percayalah, aku hanya menunjukkan kebawelanku ini dengan orang yang kusukai. Karena aku suka kau jadi ya aku menunjukkanmu bagaimana diriku sebenarnya”, balas Arsenia. "Sudah kubilang 'kan, jangan pakai perasaan dalam pertunangan ini. Aku..." "Kau tidak menginginkan pertunangan ini jadi kau sudah memastikan akan berakhir seperti apa pertunangan ini, yayaya... aku sudah mendengarnya berkali-kali dan jawabanku tetap sama bahwa aku akan membuatmu berpaling kepadaku". Wow. Arsenia membuat Edwin terdiam tak bisa membalas kata-katanya. Wanita ini menyebalkan. Dan cerewet, pikir Edwin. "Terserah kau saja, aku lelah berdebat denganmu”, ucap Edwin. "No..no..no.. kita tidak sedang berdebat, kita kan masih dalam perkenalan. Kau itu lucu, bagaimana kita bisa saling kenal kalau diam-diaman terus, Ed. Kau harus ingat mommy menyukaiku loh!”, ungkap Arsenia. Edwin menoleh ke arahnya dan bergidik saat Arsenia mengerling genit kepadanya. Dengan segera ia memalingkan kembali wajahnya. "Hentikan, kau mengerikan jika menatap genit seperti itu" Arsenia tak kuat menahan tawanya, ia tergelak melihat tingkah Edwin yang menurutnya lucu. "Ayo kita saling bertanya tentang pribadi masing-masing”, ajak Arsenia. "Baiklah, kurasa tidak masalah”, jawab Edwin. Arsenia mengangguk dengan mantap. "Bagaimana jika dimulai darimu. Ceritakan tentang dirimu padaku”, pinta Arsenia. Edwin menarik alisnya ke atas seraya mengangkat bahu. "Tidak banyak, aku anak kedua dari mom dan dad. Kakakku Edward telah menikah dengan wanita pujaannya yaitu kak Alleta. Aku memegang salah satu perusahaan Angkasa Corps, dan aku menyukai hidupku”, ungkap Edwin. "Lalu?”, tanya Arsenia "Lalu apa?”, tanya Edwin balik. "Bagaimana kisah cintamu sebelumnya?", tanya Arsenia. "Well, berhubung kita harus saling terbuka aku akan jujur. Aku belum pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun”, jawab Edwin. "Benarkah? Jangan-jangan kau bukan..." "Aku pria normal. 100% normal. Jangan sekali-kali berpikir aku bukan pria normal. Aku menyukai wanita”, ketus Edwin membuat Arsenia terkekeh geli. "Itulah kenapa mommy menyuruhmu segera mencari calon istri, benarkan?", tanya Arsenia. Edwin mengangguk. "Dan, sialnya eh salah.. dan untungnya gadis yang dipilih mommy adalah aku”, ujar Arsenia bangga. Edwin mendengus lalu menatap Arsenia. "Bagaimana denganmu?", tanya Edwin. "Tidak semenarik dirimu, aku adalah anak tunggal. Orang tuaku wafat 3 tahun yang lalu karena kecelakaan mobil. Dulu aku sempat terpuruk, tapi kemudian aku bangkit. Aku tau orang tuaku ingin hidupku berjalan sebagaimana mestinya. Aku dibesarkan dengan hidup sederhana namun penuh cinta. Orang tuaku mempunyai Heaven Florist. Itulah sumber kehidupan kami dulu. Aku seorang lulusan akademi sekretaris, aku sempat bekerja di salah satu bank swasta dan ketika mama dan papa meninggal aku memutuskan untuk resign dan meneruskan usaha mereka”, jelas Arsenia. "Aku turut berduka mengenai orang tuamu”, ucap Edwin tulus. Arsenia tersenyum manis menatapnya. Selama beberapa detik Edwin terpana melihat senyum gadis di depannya. Tapi dengan cepat ia musnahkan. "Lalu?”, tanya Edwin "Lalu apa?”, tanya Arsenia balik. "Kau selalu membalikkan kalimatku, Ar”, kesal Edwin. Arsenia tergelak mendengarnya. "Salah sendiri kau bertanya dengan pertanyaan yang sama denganku sebelumnya”, balas Arsenia. "Yayaya, terserah kau saja. Bagaimana kisah percintaanmu?", tanya Edwin to the point. "Tidak berbeda jauh sepertimu, kau pria pertama yang menjalin hubungan denganku”, jawab Arsenia. "Kenapa?”, tanya Edwin heran. "Kenapa? Are you kidding me? Look at me, tidak ada yang suka dengan gadis gemuk sepertiku”, jawab Arsenia. Edwin tersenyum sendu. "Dulu kak Alleta juga gemuk. Sama sepertimu”, saut Edwin. Arsenia membelalak tak percaya. "Benarkah? Kak Alleta pernah gemuk seperti aku?! Astaga dia adalah wanita yang paling cantik yang pernah kutemui, tak kusangka ia pernah bertubuh plus size sepertiku. Bagaimana caranya dia berdiet?", tanya Arsenia antusias. Edwin terkekeh. "Dia tidak berdiet, ia menjadi langsing seperti itu akibat dari kehamilannya. Ketika hamil ia hanya mau makan buah semangka, kami selalu sedia satu keranjang besar semangka merah segar setiap harinya. Benar-benar monster semangka. Lucu kan? Ia benar-benar menggemaskan”, jelas Edwin dengan wajah berseri-seri. "Kalau begitu Kak Edward adalah pria yang beruntung ya?”, saut Arsenia. "Sangat. Ia pria yang sangat beruntung karena bisa memiliki wanita sehebat kak Alleta”, ungkap Edwin dengan mantap. "Semoga saja saat hamil nanti tubuhku bisa menyusut seperti kak Alleta”, ucap Arsenia. "Yang jelas bukan denganku”, ujar Edwin. "Kenapa bukan denganmu?", tanya Arsenia. "Karena kita tidak akan pernah menikah”, jawab Edwin. "Lihat jari manismu, kita sudah bertunangan”, balas Arsenia. "Aku tidak menginginkan pertunangan ini”, balas Edwin tak mau kalah. "Tapi pada kenyataannya kau tunanganku dan aku tunanganmu”, ucap Arsenia. "Aku tak merasa begitu”, balas Edwin dingin. "Apa karena kakak iparmu?", tanya Arsenia. Sontak Edwin terkaget mendengar pertanyaan Arsenia. "A.. apa maksudmu?!",tanpa sadar nada suara pria itu meninggi. "Kau mencintai kakak iparmu kan? Aku bisa melihatnya dari tatapanmu”, balas Arsenia geram. "Lalu kenapa kalau aku mencintainya? Bukan urusanmu!", ujar Edwin setengah membentak. "Tentu saja urusanku, kau tunanganku. Dan tunanganku mencintai kakak iparnya sendiri. Kau gila, Ed! Dia jauh lebih tua darimu! Apa yang kau pikirkan?”, balas Arsenia. "Tidak. Dia hanya 12 tahun lebih tua dariku. Dan hal itu masih dalam batas wajar”, elak Edwin. "Kau tidak mencintainya, Ed. Kau hanya mengaguminya dan kau salah mengartikan kekagumanmu padanya. Kau.." "Jangan sok tau denganku! Kau hanya wanita asing yang baru masuk di kehidupanku!", sentakan Edwin membuat Arsenia bungkam. Gadis itu menggigit bibirnya. Sejujurnya ia ingin menangis saat ini. Ia tidak pernah dibentak seperti itu. Ia menatap Edwin dengan tajam. "Ah iya, aku lupa kalau aku hanya figuran di sini. Baiklah, aku tak akan menyerah. Aku akan menjadi pemeran utama wanita. Dan kau pemeran utama pria. Aku pulang dulu, sampaikan salam pada mom, dad, kak Edward, dan kak Alleta-mu tercinta”, ucap Arsenia seraya beranjak dari bangku taman. "Akan kuantar”, ujar Edwin. "Nope, tak perlu. Kau pasti sudah merindukan wanita pujaanmu, untuk hari ini kau kuberi kesempatan. Tapi mulai besok aku akan berusaha membuatmu berpaling padaku. Secepatnya. See you, my Fiance", balas Arsenia seraya mengecup pipi Edwin. Pria itu membeku. Ia tak bisa membalas kalimat gadis yang sudah menjadi tunangannya itu. Dengan langkah gontai ia kembali ke ruang perawatan Elena. "Ed, di mana tunanganmu?", tanya Elena. "Dia sudah pulang, mom. Katanya ia lelah”, jawab Edwin sekenanya. "Yaah, padahal kakak ingin mengajaknya bicara”, saut Alleta. Edwin tersenyum melihat ekspresi lucu Alleta. "Besok-besok kan bisa kak”, ucap Edwin. "Ya sudah, lebih baik kalian istirahat di rumah, Daddy yang akan menjaga mommy di sini”, perintah George yang dituruti oleh anak-anaknya. ***** Arsenia menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya. Ia telah sampai di rumahnya. Rasanya ia ingin menangis. Tapi... rasanya sulit untuk mengeluarkan air matanya, ia terbiasa menahan rasa sakit hati akibat bullying yang dilakukan teman-temannya semasa sekolah. Sehingga ia menjadi gadis yang tidak mudah mengeluarkan air mata. Ia melangkah menuju akuarium yang berisi ikan-ikan koi dengan perut buncit kesayangannya. "Hai, apa kabar kalian hari ini? Benarkan kataku kemarin, hidupku akan berubah. Huft.. bebanku jadi bertambah, koi. Tunanganku berulah, astaga! Masa dia mencintai kakak iparnya sendiri. Itu hal gila bukan? Tapi kalian tenang saja, aku akan membuatnya jatuh cinta kepadaku. Karena aku pun telah jatuh cinta kepadanya sejak pertama kali bertemu di taman. Hmm.. dia itu sangat tampan, wajahnya tenang dan berwibawa. Tapi juga ramah dan hangat. Pokoknya dia itu tipeku banget deh koi!! Hihihi.. aduh aku jadi malu, doakan aku ya agar aku bisa bahagia dengan orang yang aku cintai" Arsenia memeluk akuarium tersebut. Itulah kebiasaannya. Mencurahkan segala kegundahan hatinya dengan ikan koi peliharaannya. Baginya ikan-ikan itu bukan cuma sekedar peliharaan, melainkan tempat ia berkeluh kesah tanpa adanya pengkhianatan. Dan Arsenia menanggap ikannya adalah sahabat baiknya. *****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD