10. Sweat

1144 Words
"Bagaimana jika aku yang pergi suatu saat nanti?" *****   "Sudah sampai, kau masuklah ambil beberapa baju untuk menginap. Aku juga ingin berganti baju, bajuku penuh keringat seharian ini”, ucap Edwin. "Oke”, jawab Arsenia. Edwin dan Arsenia. Kini mereka sudah sampai di rumah Arsenia. Seperti yang Edwin katakan, Elena meminta gadis itu untuk menginap di mansion mereka. Edwin meraih baju yang selalu ia sediakan di dalam mobil untuk berjaga-jaga. Dan benar saja, ia butuh baju ganti setelah seharian menemani Arsenia jalan-jalan. Huft! Melelahkan sekali hari ini, belum lagi mom mengajaknya menginap di mansion. Sudah kupastikan tidurku tidak akan tenang, keluh Edwin. Ia mengeluh, namun tanpa ia sadari sudut bibirnya selalu terangkat sejak tadi. Edwin memutuskan untuk keluar dari mobil dan bersandar pada mobil kesayangannya. Ia mengambil ponselnya dan mendapati dua chat dari asisten sekaligus sahabatnya, Antony. Antony: Boss, bukankah kau bilang ingin ke tempatku hari ini? Antony: ????? Anybody’s there? Tumben sekali kau lama membalas pesanku Pria itu terkekeh membaca chat tersebut. Kau berisik sekali sih, dan jangan memanggilku boss diluar jam kerja tonton! Aku tidak jadi ke rumahmu, sorry. Aku sedang pergi dengan tunanganku. Tring! Aish! Cepat sekali balasnya, gumam Edwin. Antony: Aha! Senangnya mendengar sahabatku jalan-jalan dengan wanita, apalagi tunangannya. Jangan cepat-cepat memberiku keponakan ya, bro! Hahaha Btw, kau masih punya hutang penjelasan kepadaku soal pertunanganmu Antony: Tapi aku jadi kesepian :( Edwin semakin terkekeh membaca chat dari Antony. Suka-suka aku dong! Kan aku yang buat, LOL! Ya, nanti akan kuceritakan, jangan jadi tukang gosip Please, jangan ucapkan kalimat menjijikan itu Tring! Antony: Wah.. mencurigakan Antony: Edwinkuuu Edwin bergidik ngeri membaca chat terakhir Antony. Eewh! Menjijikan, ton! Kudepak kau besok di kantor! Tring! Antony: Uuh takuut Edwin tergelak tak kuasa menahan rasa geli membaca chat sahabatnya yang gila. Tanpa ia sadari, Arsenia tengah terpaku melihat dirinya yang memesona dengan jaket hoodie dan celana denim hitam lengkap dengan kacamata hitam. Astaga, kenapa tunanganku minta di cubit sih? Gemas sekali lihat senyumnya ituu! Pekik Arsenia dalam hatinya. Edwin yang menyadari kehadiran Arsenia mengangkat kepalanya dan seketika mengernyit dibalik kacamata hitamnya. Ia berdecap sebal. "Ck! Kenapa selalu pakai dress sependek itu? Itu terlalu pendek, Arsenia",kesalnya. Gadis itu menampilkan senyum tak berdosanya. "Ehehe kan sudah kubilang bajuku seperti ini semua, my fiancé",jawab Arsenia. "Tapi itu terlalu pendek, bagaimana kalau ada p****************g yang melihatmu? Pikiran kotor mereka pasti ke mana-mana!", balas Edwin. Arsenia mengikik geli. "Apa kau juga salah satu p****************g itu, Ed? Kalau iya aku tidak keberatan”, goda Arsenia. "Ti.. tidak mungkin, aku bukan p****************g. Lihat hidungku putih mulus tidak belang kan! Sudah ayo cepat masuk, nanti kau masuk angin terlalu lama di luar”, ketus pria tersebut dan masuk ke dalam mobilnya. "Iiih, gemas sekali wajahnya!!",seru Arsenia seraya berjalan ke arah mobil Edwin. ***** Kini Arsenia telah berada di mansion Edwin, ia tersenyum mengingat tingkah laku Alleta dan Elena mendapati wajah Edwin yang merona di sampingnya ketika datang. Menurutnya pasangan memantu dan mertua tersebut sangat kompak, ia tidak bisa membayangkan jika nantinya ia benar-benar menikah dengan Edwin. Menikah? Benarkah aku akan menikah dengannya? Pikir Arsenia. Gadis itu menghela nafasnya dan melangkah menuju balkon kamar tempatnya menginap, merasakan angin sejuk sambil menatap halaman belakang mansion yang dipenuhi dengan berbagai tanaman. Rambut panjangnya melambai mengikuti angin. "Kau sedang memikirkan apa?" Arsenia hampir memekik mendapati Edwin telah berdiri di sampingnya dan ikut memandang ke arah pandangan mata Arsenia. Gadis itu tersenyum menerawang. "Hanya berpikir hal yang tidak penting”, jawab Arsenia. "Hal yang tidak penting itu apa?”, tanya Edwin. "Entahlah, aku hanya berpikir seperti apa akhir dari hubungan ini, tidak penting kan?”, jawab Arsenia tanpa menoleh pada Edwin. Pria tersebut menatap tunangannya dari samping, ia memperhatikan wajah gadis di sampingnya. Cantik. Kata tersebut yang hinggap di benaknya. "Kita jalani saja”, ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Ya.. jalani saja”, lirih Arsenia. Hening kembali melanda. Baik Arsenia maupun Edwin sama-sama diam menikmati suasana senja yang entah kenapa terasa begitu berbeda hari ini. Tangan Edwin menangkup tangan Arsenia yang bersandar pada balkon tanpa suara, sungguh suasana yang hikmat diiringi kicauan burung dari atas pepohonan. Merasakan detik demi detik hentaian angin yang terasa begitu nyaman untuk keduanya. Arsenia menoleh kepada Edwin. "Ed, kau percaya takdir tidak?”, tanyanya. Edwin mengangguk tanpa menoleh. "Ya, aku sangat mempercayai hal itu”, jawabnya. "Boleh aku bertanya sesuatu?”, tanya Arsenia lagi. "Bertanyalah”, jawab Edwin. "Bagaimana jika suatu saat kak Edward pergi meninggalkan kita semua? Apakah kau akan memperjuangkan cintamu pada kak Alleta?", tanyanya dengan suara pelan. Edwin menatapnya dengan intens, manik coklatnya mau tidak mau membuat tubuh Arsenia sedikit berkeringat karena gugup. "Kenapa kau bertanya seperti itu?”, tanyanya. Arsenia menggerakkan tangannya untuk menyugar rambut Edwin yang jatuh ke dahi karena tertiup angin. Edwin yang kaget menerima sentuhan tersebut tanpa sadar memejamkan matanya merasakan kelembutan belaian dari Arsenia. "Kita tidak tau sampai kapan umur manusia, dan kita tidak pernah tau seperti apa rencana Tuhan. Bagaimana jika hal itu terjadi, apa kau akan langsung membuangku?, tanya Arsenia lembut tapi penuh penekanan. Manik indah pria di hadapannya terbuka dan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Bisakah tidak bertanya seperti itu? Kau bukan sampah”,tanya Edwin. Arsenia menarik tangannya dari rambut Edwin, ia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Aku harus menanyakannya”, jawab Arsenia. "Aku tak tau jawaban dari pertanyaanmu”, bisik Edwin. "Lalu bagaimana jika terbalik?”, tanya Arsenia. Edwin mengernyit. "Bagaimana jika aku yang pergi dari kehidupan ini? Apakah kau akan melupakanku dengan mudah dan mencari gadis lain atau tetap mengagumi kak Alleta?", tanya Arsenia. Ia tidak tau, yang jelas ia ingin mendengar jawaban dari kata hatinya. "Aku tidak tau...",ucap Edwin menggantung seraya menarik tubuh Arsenia ke pelukannya. Tangan kirinya melingkar dengan sempurna di pinggang tunangannya. Tangan kanannya menyingkirkan helaian rambut panjang Arsenia yang menutupi wajah gadisnya. Entah kenapa perasaan takut muncul dari dalam hati pria tersebut. Ia menyatukan keningnya dengan Arsenia, menatap gadis itu dengan lekat. "Aku tak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi, dan aku tidak mau membayangkannya”, lanjutnya. Entah siapa yang memulai, bibir keduanya sudah menyatu merasakan kelembutan masing-masing. Mereka saling mencecap dengan perasaan yang bercampur aduk, mata keduanya terpejam menikmati bibir mereka yang saling melumat dengan penuh perasaan. Arsenia melingkarkan tangannya pada leher Edwin dan dengan lembut membelai tengkuk prianya. Edwin semakin memperdalam ciuman mereka, rasanya tak ingin lepas, ia tak ingin ciuman ini berakhir dengan cepat. Bukan ciuman yang penuh gairah, melainkan ciuman yang penuh rasa akan kelembutan dan luapan perasaan yang terpendam. "I love you", bisik keduanya bersamaan hampir tak terdengar di sela-sela ciuman mereka. Kalimat itu. Kalimat yang keluar bagai angin surga bagi keduanya. Kalimat yang tertahan oleh perasaan dan situasi masing-masing akhirnya terucap dengan sangat manis. Pria itu tanpa sadar mengucapkan perasaan terdalam dari dalam hatinya. *****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD